Bersihkan Niat yang Ada di Hatimu, Niscaya Akan Berkualitas Amalmu

 

LURUSKAN NIAT

Bersihkan Niat yang Ada di Hatimu, Niscaya Akan Berkualitas Amalmu

(Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Para Pembaca Artikel Islami www.keluargasamara.com yang dirahmati Allah swt, pada postingan kali ini, Penulis ingin mengulas terkait dengan satu hal yang penting yang berhubungan erat dengan hati kita yaitu tentang “Niat”.

Berdasarkan riwayat dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab , ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

Sesungguhnya Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang diniatkannya. Balasan yang akan diperoleh sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah. Akan tetapi, sangat berbeda halnya dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar harta dunia seperti karena mengejar wanita atau hanya ingin dapat pujian dari manusia. Dalam salah satu hadits (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907) tersebut di atas,telah disebutkan contoh amalannya yaitu berhijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Berdasarkan kajian makna kata (Semantik), kata niat  berarti al-qashd (keinginan). Dari tinjauan istilah syar’iah, niat adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati). Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, Contoh dalam hal ini adalah seseorang yang sudah punya kebiasaan shalat jama’ah di masjid akan tetapi ia memiliki uzur atau halangan karena tertidur atau kondisi sakit, maka ia dicatat mendapatkan pahala niatnya. Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits mengenai seseorang yang diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, dan ada seorang miskin yang sangat berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik seperti yang dilakukan oleh si Fulan. Terkait dengan hal ini maka Rasulullah SAW bersabda:

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

 “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kaidah tentang Menggabungkan Niat Ibadah Dalam kitab Qawa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah, Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan: Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka sudah mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari perspektif al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah karena Allah swt ataukah ditujukan kepada selain Allah swt.

Faedah dari Hadits tersebut, diantaranya:

Pertama: Dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hadits ini dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu hadits pokok dalam agama kita (Ushul Al-Islam). Imam Ibnu Daqiq Al- ‘Ied dalam syarahnya menyatakan bahwa Imam Syafi’i berpendapat kalau hadits ini bisa dimasuk dalam 70 bab fikih. Pandangan dari Ulama lainnya menyatakan bahwa hadits ini sebagai Tsulutsul Islam (Sepertiganya Islam).

Kedua: “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala yang ia niatkan.

Mari kita perhatikan dengan seksama dua hadits berikut ini !

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari, no. 1422).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Setiap orang akan diganjar sesuai yang ia niatkan walaupun realita yang terjadi ternyata menyelisihi yang ia maksudkan. Termasuk dalam sedekah, meskipun yang menerima sedekah adalah bukan orang yang berhak.

Hadits kedua, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ » . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ « يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ »

“Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari, no. 2118 dan Muslim, no. 2884, dengan lafal dari Bukhari).

Ketiga: Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Niat terdapat di dalam hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Keempat: Terdapat dua macam niat: (1) Niat pada Siapakah Ditujukan Amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) Niat Amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap ridho dari Allah dan kehidupan akhirat yang baik. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi: (1) untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah, (2) untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah lainnya.

Kelima: Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri atau wilayah yang penuh kekafiran ke negeri atau wilayah yang penuh dengan keislaman. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah dari kemaksiatan kepada ketaatan.

Keenam: Dalam beramal tentunya butuh niat yang ikhlas. Dalam telah hadits disebutkan bahwa terdapat amalan hijrah yang ikhlas dan ada pula amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama akan terpuji, hijrah kedua akan tercela. Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya).” Akan tetapi, hijrah yang didasari bukan karena lillah, semata-mata karena Allah swt dan mencari ridha-Nya, maka tidak akan dibalas oleh Allah swt. Anas bin Malik berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id Al- Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Ketujuah: Manusia akan diganjar secara bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-sama menunaikan shalat, namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama bersedekah, namun pahalanya jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Sebagian ulama menyatakan, “Niat itu bertingkat-tingkat. Bertingkat-tingkatnya ganjaran dilihat dari niatnya, bukan dilihat dari puasa atau shalatnya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam)

Kedelapan: Orang yang berniat melakukan amalan shaleh namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua:

1. Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari,no. 2996)

2). Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Pada bagian akhir dari artikel ini, satu hal yang harus menjadi perhatian kita semua bahwa tidak cukup hanya niat ikhlas, namun dalam pelaksanaannya pun harus mengikuti Sunnah Rasulullah SAW (Harus Ittiba’) sebagaimana Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah telah mengatakan,

إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا وصوابا فالخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة

Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI