Jagalah Sikap ‘Iffah Dalam Diri, Niscaya Memperoleh Ridho Illahi (Materi Pertama: Buku "Suami Istri Berkarakter Surgawi")

 

JAGA IFFAH DALAM DIRI

Jagalah Sikap ‘Iffah Dalam Diri, Niscaya Memperoleh Ridho Illahi

(Materi Pertama: Buku "Suami Istri Berkarakter Surgawi")

Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.

Tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan hidup saat ini semakin tinggi. Persaingan yang tinggi memunculkan perilaku umat yang melanggar batasan syariat dan merusak martabat. Tindak korupsi demi memperkaya diri, mencuri harta orang lain, merampok hingga melukai bahkan sampai menghilangkan nyawa korban, telah mewarnai berita di media social (medsos) dan televisi. Termasuk maraknya perilaku kaum hawa (wanita), hanya demi menginginkan hidup glamour dan berkecukupan, mereka rela melakukan perbuatan yang menghilangkan kemuliaan mereka. Padahal agama Islam telah menuntunkan agar mereka senantiasa menjaga kemuliaan (‘Iffah) dalam diri mereka.

Makna Kata ‘Iffah

Berdasarkan kajian lingustik, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah agama, ‘iffah ialah menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan. Dengan demikian, seseorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS.an-Nur ayat 33:

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ

“Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (an-Nur: 33)

Yang termasuk juga dalam lingkup makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (al-Baqarah: 273)

Dalam suatu riwayat, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan Rasulullah SAW berikan hingga habislah apa yang ada pada Beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِْهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala dari meminta kepada selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari no. 6470 & Muslim no. 1053)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan lainnya di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145)

Jadilah Sosok Wanita yang ‘Afifah

Islam mengharuskan seorang muslim untuk memiliki ‘iffah, demikian pula halnya dengan seorang muslimah. Hendaklah seorang muslimah memiliki ‘iffah sehingga menjadi seorang wanita yang ‘afifah. Mengapa harus demikian ? Karena ‘afifah adalah akhlak yang yang tinggi, mulia, dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang saleh/ shalehah, yang senantiasa menghadirkan keagungan-Nya dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.

Berikut ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh  dengan ‘iffah, seorang muslimah untuk menjaga kehormatan diri (‘iffah). Hal-hal tersebut diantaranya:

Pertama: Menundukkan Pandangannya (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka….” (an- Nur: 31)

Kedua: Tidak Melakukan Perjalanan Jauh (safar) Tanpa Didampingi Mahramnya

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُسَافِرِ امرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)

Ketiga: Tidak Berjabatan Tangan dengan Lelaki yang Bukan Mahramnya.

Sebab, bersentuhan dengan lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu condong kepada perbuatan keji dan hina. Sebagaimana perkataan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ,

“Secara mutlak tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda ataupun sudah tua. Sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya itu masih muda atau kakek tua. Sebab, berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan godaan bagi kedua pihak.”

Istri Baginda Rasululah SAW, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا

“Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. al-Bukhari, no. 7214)

Keempat: Tidak Ber-Khalwat (Berduaan) dengan Lelaki yang Bukan Mahram.

Sebagaimana peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam sabdanya,

حْرَمٍلاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَ

“Tidak boleh sama sekali seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)

Kelima: Menjauh Diri dari Hal-Hal Yang Dapat Mendatangkan Keburukan Bagi Dirinya

Sesungguhnya seorang muslimah yang cerdas adalah yang dapat memahami akibat yang ditimbulkan dari suatu perkara yang buruk dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk menyesatkan dan meyimpangkan dirinya. Ia akan menjauhkan diri dari membeli majalah-majalah perusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Sebab, kehormatannya adalah sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu yang sangat berharga.

Haruslah diakui bahwa untuk menjaga sebuah ‘iffah tidaklah ringan. Perlu perjuangan  yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩

“Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar

Bagaimana cara menerapkan sifat ‘Iffah dalam kehidupan kita ? Untuk menerapkan sifat ‘iffah ini dalam kehidupan kita, dapat kita terapkan dalam beberapa hal berikut ini, di antaranya:

Pertama: Tidak gampang meminta-minta dari harta milik orang lain.

Kedua : Menjaga diri dari perbuatan yang telah Allah larang, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Yusuf ayat 23:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini". Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung”.

Ketiga: Menjaga lisan kita dari membicarakan kehormatan dan aib orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ

“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah .” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).
Selain berusaha untuk selalu menahan hawa nafsu agar kehormatan diri kita terjaga dengan mengingat Allah, kita juga harus memperbanyak berdoa, sebagaimana yang biasa dibaca oleh Rasulullah SAW:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sifat ‘iffah dan kecukupan.” (HR. Muslim: 7079)

Pada bagian akhir tulisan sederhana ini, Penulis ingin memberikan kesimpulan dari tulisan terkait ‘Iffah, sebagai berikut:

Pertama: Secara etimologis, ‘iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu-‘iffah, yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Selain itu ‘iffah juga dapat berarti kesucian diri. Sedangkan secara terminologis, ‘iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkan kehormatan diri.

Kedua: Sesungguhnya nilai dan wibawa seseorang bukanlah ditentukan oleh kekayaan dan jabatannya, dan tidak pula ditentukan bentuk wajah atau rupanya. Tetapi, nilai dan wibawa seseorang justru ditentukan oleh kehormatan dirinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga kehormatan diri, setiap orang haruslah menjauhkan dirinya dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang Allah SWT.

Ketiga: Dalam banyak hal, al-Qur’an dan hadits telah memberikan contoh nyata dari ‘iffah. Di antara contoh-contoh tersebut adalah sebagai berikut: 

1.    Untuk menjaga kehormatan diri dari dalam hubungannya dengan masalah seksual, seorang muslim dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan juga pakaiannya. Selain itu juga tidak mengunjungi tempat-tempat yang ada maksiatnya, serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengantarkannya kepada perzinahan. Mari perhatikan beberapa teks firman Allah swt berikut ini

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡ‌ۚ ذَٲلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ  وَقُل  لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”; Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya …” (Q.s. an-Nur [24]: 30-31)

2.    Orang yang belum mampu menikah maka harus menjaga kesuciannya. Sebagaimana firman Allah swt:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya… (Q.s. an-Nur [24]: 33)

3.    Berilah peringatan kepada para istri dan anak perempuan untuk menutup Auratnya. Sebagiamana firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمً

 “Hai Nabi, katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s. al-Ahzab [33]: 59).

4.    Janganlah mendekati Zina. Sebagaimana firman Allah swt:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.s. al-Isra’ [17]: 32).

5.    Jaga Kehormatan di mana pun Anda Berada,

Sebagaimana firmanAllah swt:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.s. al-Furqan [25]: 72).

6.    Menghindari Berdua-duaan dengan yang Bukan Mahramnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya: “Jauhilah berdua-duaan dengan perempuan (yang bukan istri dan mahram). Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berdua-duaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan lain kecuali syaitan masuk di antara mereka berdua” (H.R. Thabrani) 

Berdasarkan teks (nash) di atas, jelaslah bagaimana Allah dan Rasul-Nya memberikan tuntunan tentang cara menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual. Seseorang tidak hanya harus menjauhkan dirinya dari perzinaan, tetapi juga menghindari segala sesuatu yang akan mengantarkannya kepada perzinaan. Kalau dia melakukan perbuatan yang mendekati perzinaan, misalnya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, maka nama baik dan kehormatannya akan tercemar. Sekalipun dia tidak melakukan perzinaan, tetapi masyarakat akan mudah menuduhnya telah melakukan perzinaan.

Di samping tidak bergaul secara bebas, untuk menjaga kehormatan diri dalam masalah seksual ini, Islam mengajarkan kepada kita tentang bagaimana mengatur pandangan terhadap lawan jenis dan bagaimana berpakaian yang sopan dan benar menurut agama. Pakailah pakaian yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menunjukkan kesombongan. Sebab, pakaian menunjukkan identitas diri seseorang.

Keempat, untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah harta, Islam telah mengajarkan untuk tidak menengadahkan tangan (meminta-minta), terutama kepada orang-orang yang miskin. Al-Qur’an telah menganjurkan kepada orang-orang yang berpunya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap ‘iffah mereka. Dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 273, Allah berfirman sebagai berikut:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

 “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui” (Q.s. al-Baqarah [2]: 273).

Orang-orang fakir yang dimaksud dalam ayat di atas adalah orang-orang yang karena menyediakan diri untuk berjihad sampai tidak berusaha mencari nafkah. Orang-orang yang tidak mengerti keadaan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Hal ini disebabkan karena mereka selalu menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta. Tetapi, orang yang melihat mereka dengan teliti akan melihat wajah mereka dalam keadaan pucat dan sangat menyedihkan. Jika ada yang terpaksa meminta, maka ia meminta dengan jalan yang halus tanpa mendesak (Ahmad Muhammad al-Hufi, 1995: 157). Meminta-minta adalah perbuatan yang merendahkan kehormatan diri. Daripada meminta-minta, seseorang akan lebih baik mengerjakan apa saja untuk bisa mendapatkan penghasilan yang halal, sekalipun hanya mengumpulkan kayu api.

Kelima, untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain terhadap dirinya. Dalam melaksanakan usaha ini, seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk ketidakjujuran. Janganlah berkata bohong, mungkir (ingkar) janji, khianat dan lain sebagainya.

Jika seseorang dipercaya mengelola keuangan, kelolalah dengan jujur dan transparan. Lebih-lebih apabila pemilik harta itu tidak dapat mengontrolnya. Sebagai contoh misalnya, mengelola harta anak yatim. Al-Qur’an mengingatkan kepada para wali anak yatim agar dapat menahan diri dan jangan sampai tergoda untuk memakan harta mereka. Bagi wali yang kaya, lebih baik membiayai kehidupan anak yatim itu dengan hartanya sendiri, sebagai wujud dari kasih sayang dan belas kasihnya kepada mereka. Kecuali bagi wali yang miskin, maka boleh baginya untuk mengelola harta itu untuk kepentingan anak yatim tersebut. Bahkan apabila diperlukan, orang tersebut dapat mengelola harta anak yatim.

Terkait dengan hal ini, Allah SWT. berfirman dalam Q.s. an-Nisaa’ [4]: 6 sebagai berikut:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

 “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (Q.s. an-Nisaa’ [4]: 6).

Demikianlah, uraian Penulis terkait sikap ‘iffah yang sangat diperlukan untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri, sehingga tidak ada peluang sedikit pun bagi orang lain (yang tidak senang dengannya) untuk melemparkan tuduhan dan fitnahan. Orang yang mempunyai sikap ‘iffah (biasa disebut ‘afif ) akan dihormati dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dan satu hal yang jauh lebih penting lagi, orang seperti akan mendapatkan ridha dari Allah SWT.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI