Jika Berkualitas Ihsan dalam diri, Niscaya Kita Gapai Ridho dari Illahi Robbi
Jika Berkualitas Ihsan dalam diri, Niscaya
Kita Gapai Ridho dari Illahi Robbi
(Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Setelah
Penulis ulas tentang “Niat” pada postingan
artikel sebelumnya, pada postingan artikel kali ini akan Penulis lanjutkan pada
ulasan tentang “Ihsan” dan tanda kiamat dari hadits Jibril, hadits Al-Arbain
An-Nawawiyah bagian kedua. Ini merupakan pembahasan terakhir dari hadits kedua
tersebut.
Lanjutan
dari hadits Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu,
قَالَ : أَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ ” أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ” قَالَ : صَدَقْتَ , قَالَ :
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ , قَالَ ” أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ” قَالَ , فَأَخْبِرْنِي عَنِ
السَّاعَةِ , قَالَ ” مَا المَسْئُوْلُ بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ” قَالَ
فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا . قَالَ ” أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا
وَأَنْ تَرَى الحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي
البُنْيَانِ ” . ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيَا , ثُمَّ قَالَ ” يَا عُمَر ,
أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟” , قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ , قَالَ ”
فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada
para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat
dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau
benar.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang Ihsan.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia
pasti melihatmu.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang kiamat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Orang yang ditanya
itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi,
“Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jika seorang budak wanita melahirkan majikannya; jika engkau melihat
orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing,
berlomba-lomba mendirikan bangunan.”
Kemudian orang tadi pergi, aku tetap
tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai
Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Ia adalah Jibril, dia datang untuk
mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu.” (HR. Muslim, no. 8)
Hikmah
yang dapat dipetik dari Hadits tersebut adalah :
Pertama
: Hakikat Ihsan itu
berarti berbuat baik yaitu berbuat baik dalam menunaikan kewajiban pada Sang
Khaliq, di mana ibadah dilakukan dengan penuh ikhlas karena-Nya dan ittiba’ (mengikuti
tuntunan) Rasul-Nya. Siapa yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka dialah yang disebut telah berbuat ihsan.
Adapun berbuat ihsan kepada makhluk adalah berbuat baik kepada
sesama melalui harta, tenaga, jabatan/ kedudukan dan lainnya.
Kedua
: Makna Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya” maksudnya ibadah tersebut
dibangun di atas keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti tuntunan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengertian dari “Seakan-akan
melihat-Nya” maksudnya adalah ibadah itu dilakukan atas dasar cinta
kepada Allah. Sebab cinta inilah yang mendorong seseorang melakukan ibadah.
Ketiga: Pengertian
dari kalimat “Jika engkau tidak melihat-Nya, sungguh Allah melihatmu”,
maksudnya beribadahlah kepada Allah atas dasar takut kepada-Nya. Jika kita
menyelisihi hal itu, maka Allah melihat kita yaitu Allah akan memberikan
siksaan.
Keempat: Sebagaimana
yang telah disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, bahwa
derajat ihsan terbagi menjadi ada dua, yaitu: (1) derajat thalab, (2) derajat harb.
Derajat thalab adalah
kita beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Derajat harb adalah kita
beribadah kepada Allah dan yakin Allah melihat kita, maka takutlah akan
siksa-Nya. Derajat thalab lebih tinggi dibandingkan dengan
derajat harb.
Kelima: Dalam
ihsan
ada kadar wajib yang mesti dipenuhi yaitu seorang hamba
harus beribadah dengan baik pada Allah swt, dengan penuh ikhlas dan ittiba’.
Ada pula kadar mustahab (sunnah) yaitu
beribadah kepada Allah pada maqom
muraqabah atau maqom
musyahadah.
Maqom
muraqabah adalah meyakini bahwa Allah melihat kita.
Inilah maqamnya dari kebanyakan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ
قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ
تُفِيضُونَ فِيهِ
“Kamu
tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)
Begitu
pula dalam hadits yang Rasulullah SAW disebutkan sebagai berikut,
إِذَا
قُمْتَ فِى صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ وَلاَ تَكَلَّمْ بِكَلاَمٍ
تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِى النَّاسِ
“Jika
engkau shalat, kerjakanlah seperti shalat orang yang akan berpisah; janganlah
berbicara dengan perkataan yang engkau nanti akan meminta maaf di hari esok,
dan janganlah berharap terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain.” (HR.
Ibnu Majah, no. 4171 dan Ahmad, 5:412; dari Abu Ayyub. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Dilanjutkan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaki dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لَا
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ
غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ
“Shalatlah seperti shalat orang yang akan
berpamitan, maka sesungguhnya Engkau, jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. Dan tak perlu banyak berharap pada sesuatu yang ada
di tangan orang lain, engkau pasti akan menjadi kaya; dan berhati-hatilah dari
yang nanti akan dimintai alasannya.” (HR. Al-Baihaqi dalam
Az-Zuhud Al-Kabir, 2:210. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
karena banyak penguatnya. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
no. 1914.)
Maqom
musyahadah berarti kita beribadah kepada Allah
seakan-akan melihat-Nya yaitu melihat nama dan sifat Allah serta pengaruhnya,
bukan melihat zat Allah secara langsung seperti diyakini oleh kaum sufi. Maqom ini
lebih tinggi dibandingkan maqom muraqabah.
Keenam:
As-saa’ah adalah
waktu saat manusia berdiri keluar dari kuburnya menghadap Rabbul
‘alamin, yaitu hari berbangkit. Disebut as-saa’ah karena
kiamat itu bala’ (musibah) yang besar seperti disebutkan dalam
firman Allah swt berikut ini:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
“Hai
manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (QS. Al-Hajj: 1)
Ketujuh:
Terkait Ilmu tentang hari kiamat, kapan pastinya hari kiamat datang
hanyalah menjadi ilmu Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ditanya saja oleh Malaikat Jibril saja memberikan jawaban bahwa Beliau tidak lebih tahu dari yang
bertanya (Jibril).
Terkait
dengan persoalan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah sampai-sampai
menegaskan, “Wajib bagi kita mendustakan setiap orang yang menyatakan bahwa
batasan umur dunia sekian dan sekian di masa akan datang. Siapa yang berani
menyatakan seperti itu atau membenarkannya, maka ia kafir.” (Syarh
Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 65).
Dalam QS.Al-Ahzab
ayat 63 Allah swt berfirman:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا
عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia
bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya
pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah kamu
(hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS.
Al-Ahzab: 63)
Kedelapan: Sesungguhnya
Kiamat
akan datang dengan melewati tanda-tanda terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman,
فَهَلْ
يَنْظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ
أَشْرَاطُهَا فَأَنَّى لَهُمْ إِذَا جَاءَتْهُمْ ذِكْرَاهُمْ
“Maka
tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya
kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang
tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila
Kiamat sudah datang?” (QS. Muhammad: 18)
Kesembilan: Para
ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membagi
tanda datangnya kiamat menjadi tiga: (1)
tanda yang sudah berlalu dan berakhir, (2) tanda yang akan terus berulang
(tanda wustha), (3) tanda
yang menunjukkan semakin dekatnya hari kiamat (tanda kubra).
Kesepuluh: Tanda
-Tanda Hari Kiamat yang disebutkan dalam hadits, adalah sebagai berikut:
Pertama:
Seorang budak melahirkan majikannya. Hal ini ada dua makna yaitu: (1) semakin
banyak perbudakan di akhir zaman sehingga ada anak perempuan yang dilahirkan
dari seorang budak dan anak perempuan itu merdeka sedangkan budak wanita
sebagai ibunya tetaplah budak; (2) semakin banyak anak yang durhaka di akhir
zaman karena ada anak perempuan yang bertingkah laku sebagai majikan dan ibunya
diperlakukan sebagai budaknya.
Kedua:
Orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing,
berlomba-lomba mendirikan bangunan. Artinya banyak orang miskin yang menjadi
kaya dan berlomba-lomba meninggikan dan memperbagus bangunan.
Kesebelas: Malaikat
bisa berjalan dan bisa berubah bentuk menyerupai manusia.
Keduabelas: Manusia
asalnya tidak bisa melihat malaikat.
Ketigabelas: Seorang
alim boleh mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya tentang berbagai hal yang
belum diketahui.
Keempatbelas: Yang
bertanya suatu ilmu bisa menjadi orang yang mengajarkan ilmu kepada orang-orang
yang mendengar jawabannya.
Kelimabelas: Yang
ditanyakan dalam hadits ini adalah masalah diin (masalah
agama). Diin dalam hal ini ada tiga tingkatan: (1) Islam
memiliki lima rukun, (2) Iman memiliki enam rukun, (3) Ihsan
memiliki satu rukun yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya; jika
tidak melihatnya, yakinlah Allah itu melihat kita.
Keenambelas: Seorang
muslim hendaklah mempelajari agamanya tidak sekedar mengaku sebagai seorang
muslim saja lantas tidak mengetahui dalam ajaran Islam itu terdapat apa saja.
Sehingga penting mempelajari Islam, Iman dan Ihsan. Demikian nasihat dari
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah.
Komentar
Posting Komentar