Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Ketiga Belas

 

KEMULIAAN ILMU

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Ketiga Belas

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Kedua belas mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu  (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu hanya pada sudut pandang yang kedelapan puluh dua hingga sudut pandang kedelapan puluh empat. Berikut ini akan Penulis lanjutkan kembali dengan kajian pada sudut pandang yang kedelapan puluh lima hingga sudut Pandang kedelapan puluh delapan, Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Delapan puluh lima. Ibnu Qoyyim al-Jaujiyyah berpandangan bahwa sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga:

Kebahagiaan Pertama, kebahagiaan yang berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan ini dipinjamkan kepada manusia dari luar dirinya dan hilang apabila si pemberi pinjaman mengambilnya kembali. Inilah kebahagiaan harta dan kehidupan. Kebahagiaan dan kegembiraan semacam ini seperti kegembiraan orang yang gundul/botak yang bangga dengan kepala anak pamannya yang berambut lebat. Kebahagiaan ini juga seperti kebahagiaan seseorang sebab pakaian dan hiasannya.

Telah dikisahkan dari sebagian ulama bahwa dia menumpangi sebuah perahu bersama dengan beberapa pedagang, lalu perahu itu pecah. Oleh sebab itu, mereka menjadi hina dalam kefakiran setelah jaya dengan kekayaan. Lalu orang yang berilmu itu sampai kepada negeri itu dan dihormati. Dia dikenal dengan berbagai kelebihan dan qaromah. Tatkala mereka, para pedagang, ingin kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada orang yang berilmu itu, "Apakah engkau memiliki surat atau keperluan untuk kaummu?" Dia menjawab, "Ya, kalian katakan kepada mereka, 'Jika engkau ingin memiliki harta yang tidak tenggelam di kala perahu pecah, maka ambillah ilmu itu sebagai barang dagangan.'"

Dikisahkan pula, seorang lelaki berwibawa, yang memiliki bentuk perawakan baik dan pakaian indah berkumpul dengan seorang lelaki berilmu. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berilmu itu, "Bagaimana engkau melihatnya?" Ia menjawab, "Saya melihat sebuah rumah bagus, dihias indah, tapi tidak ada orang yang mendiaminya."

Kebahagiaan Kedua, kebahagiaan jasmani/fisik atau bersifat Jasadiah; seperti fisiknya sehat, seimbang, serasi antara anggota tubuhnya, kebersihan warna dan kekuatan anggota-anggota tubuh. Kebahagiaan ini lebih erat melekat pada diri manusia daripada yang pertama. Tetapi, sebenarnya ia berada di luar zat dan hakekatnya. Sebab manusia benar-benar menjadi manusia karena ruh dan hatinya, bukan karena jasmani dan badannya sebagaimana dikatakan, "Wahai pelayan jasmani, supaya tidak menderita dalam melayaninya, maka engkau adalah manusia dengan ruh, bukan dengan jasmani."

Sesungguhnya penisbatan jasmani kepada ruh dan hatinya seperti penisbatan baju dan pakaian kepada badannya. Sesungguhnya badan itu dipinjamkan kepada ruh dan alat baginya. Badan adalah kendaraan ruh. Karena itu, kebahagiaan manusia atas kesehatan, keindahan, dan kebaikannya adalah bentuk kebahagiaan eksternal/luar diri.

Kebahagiaan ketiga, kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa, ruhani dan hati. Itulah kebahagiaan ilmu yang buahnya berguna. Hanya ilmu seperti itu yang akan kekal dalam segala perubahan dan keadaan. Hanya itu yang akan senantiasa menyertai hamba dalam segala perjalanan dan tiga fasenya, yaitu fase dunia, alam barzakh, dan tempat kekekalan (akhirat). Dengan kebahagiaan inilah, manusia menapaki tangga-tangga keutamaan dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan.

Jenis kebahagiaan pertama hanya akan menyertainya di wilayah mana ada harta dan jabatan. Sedangkan yang kedua, pasti hilang dan berganti sejalan dengan berkurang dan melemahnya kondisi penciptaan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada kebahagiaan kecuali dalam jenis kebahagiaan yang ketiga dimana ia semakin lama semakin tinggi dan kuat. Apabila harta dan jabatan hilang, maka kebahagiaan ketiga ini adalah harta dan kebanggaan hamba yang akan nampak kekuatan dan pengaruhnya sesudah ruh berpisah dengan badan. Dengan demikian, terputus pulalah dua jenis kebahagiaan pertama.

Kebahagiaan hakiki seperti ini tidak ada yang mengetahui nilai dan yang mendorong untuk mencarinya kecuali ilmu tentang itu. Jadi, lagi-lagi semua kebahagiaan kembali kepada ilmu dan apa yang dituntutnya. Allah akan memberi kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menghalangi pemberian-Nya dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang dihalangi-Nya. Tetapi, sebagian besar makhluk tidak mau mengusahakan dan memperoleh jenis kebahagiaan ini karena jalannya susah, pahit, dan melelahkan. Kebahagiaan ini hanya bisa diperoleh dengan kerja keras. Kondisinya jauh berbeda dengan dua jenis yang pertama. Karena kedua jenis kenikmatan itu merupakan nasib dan keberuntungan yang bisa didapat tanpa harus mencarinya. Seperti harta warisan, pemberian atau yang lain. Sedangkan kebahagiaan ilmu, tidak ada yang akan memberikan kepadamu kecuali dengan kerja keras, kesungguhan dalam mencari, dan kebenaran niat.

Seseorang telah berkata dengan sangat baik dalam hal ini, "Katakanlah kepada orang yang mengharapkan ketinggian dari segala sesuatu, tanpa bekerja keras, maka engkau mengharapkan kemustahilan." Dan yang lain berkata, "Seandainya bukan karena kesusahan, maka semua manusia menjadi jaya/ kaya kedermawanan menjadi langka dan keberanian berarti perang."

Barangsiapa yang memiliki obsesi tentang hal-hal tinggi ini, maka dia wajib mencintai jalan-jalan agama. Inilah kebahagiaan yang hakiki; meskipun tak pernah lepas dari kesulitan, kebencian, dan siksaan. Apabila jiwa dipaksakan dan digiring dalam keadaan patuh serta sabar terhadap berbagai cobaan yang ada, maka kekerasan ini niscaya akan membawa menusia menuju taman yang indah, tempat kebenaran dan tempat mulia. Kenikmatan apa pun kalau belum sampai pada kenikmatan seperti ini hanyalah ibarat kenikmatan anak-anak yang bermain dengan mainannya. Bandingkan kenikmatan anak ini dengan kenikmatan 'hakiki' seorang raja.  Maka, saat itu keadaan pemilik kebahagiaan ini menjadi sebagaimana dikatakan, "Dan aku pernah mengira, aku telah sampai ke puncak cinta sehingga aku tidak mendapat tempat pergi lagi sesudah itu, Namun ketika kami bertemu dan melihat kebaikannya dengan mata kepala, saya yakin bahwa saya sebenarnya hanya bermain."

Dapatlah kita katakan bahwa kemuliaan itu penuh dengan perjuangan dan hal-hal yang tidak disenangi atau hal yang dibenci. Kebahagiaan hanya bisa didapat setelah melalui jembatan kesulitan. Anda tidak akan menyelesaikan jarak perjalanan ke sana kecuali dengan perahu kesungguhan dan kerja keras. Imam Muslim berkata dalam kitab Shahihnya bahwa Yahya bin Abu Katsir berkata,"Ilmu tidak dapat diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula, "Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus meninggalkan hidup santai (di dunia)." "Renungkanlah, bagaimana seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama sekali."

Seandainya bukan karena ketidaktahuan sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, sungguh kebahagiaan ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan supaya Allah dapat mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah swt Maha Memiliki Keutamaan dan Keagungan.

Delapan puluh enam. Sesungguhnya Allah telah menciptakan segala yang ada dan memberikan kesempurnaannya masing-masing. Kesempurnaan inilah puncak dari kemuliaan sesuatu tersebut. Jadi, ketidaksempurnaannya akan mengakibatkan sesuatu itu berpindah dan turun derajat ke tingkat yang lebih rendah. Jika pada derajat ini pun tidak ada, maka ia pindah ke derajat yang lebih rendah lagi. Begitu seterusnya sampai apabila semua kelebihan telah hilang, maka ia menjadi seperti duri dan kayu bakar yang hanya layak untuk dipakai sebagai kayu bakar.

Kuda jika masih kuat ditunggangi, ia akan dipersiapkan untuk menjadi tunggangan raja dan dihormati seperti penghormatan kepada raja. Tapi apabila keutamaan itu berkurang, maka ia akan dipersiapkan untuk orang yang lebih rendah daripada raja. Dan jika kekurangannya semakin buruk, maka ia akan dipakai prajurit biasa. Dan, apabila kelebihan ditunggangi sudah hilang sama sekali, maka ia akan dipakai seperti himar untuk menarik roda air atau mengangkut sampah dan semisalnya. Jika kemampuan itu pun sudah hilang, maka ia akan disembelih seperti kambing.

Sebagaimana yang dikatakan dalam perumpamaan, ada dua ekor kuda tunggangan, yang pertama di bawah tunggangan raja dan yang lain di bawah tunggangan pembawa bendera. Kuda raja berkata, "Ketahuilah bahwa engkau adalah sahabat saya. Saya dan engkau pernah berada di tempat yang sama. Apakah yang membawa kamu ke tingkatan ini?" Dia menjawab, "Tidak lain sebab engkau berjalan baik dan aku tidak berjalan baik." Demikian pula halnya pedang. Jika tidak cocok dengan tujuan dan tidak layak untuk menjadi pedang, maka ia ditempa menjadi kapak, gergaji, dan semisalnya. Demikian pula rumah besar dan indah, apabila ia rusak dan hancur, maka ia dijadikan sebagai kandang kambing atau onta. Demikian pula halnya manusia, apabila ia layak menerima kenabian dan kerasulan, maka dia akan dipilih Allah sebagai Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah,

وَإِذَا جَاءَتْهُمْ آيَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّىٰ نُؤْتَىٰ مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ ۘ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ ۗ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ

Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya”. (al-An'aam: 124)

Jika seseorang kurang dari derajat ini dan cocok untuk menggantikan kenabian dan mewarisinya, maka Allah mencalonkan dan menempatkannya ke derajat itu. Apabila kurang dari itu dan layak menerima derajat kewalian, maka Allah mencalonkannya untuk itu. Dan jika ia layak untuk bekerja serta beribadah tanpa pengetahuan dan ilmu, maka Allah menjadikan dia layak untuk itu. Begitu seterusnya hingga sampai pada derajat orang awam. Apabila derajatnya masih kurang dari itu dan jiwanya tidak dapat menerima kebaikan sama sekali, maka dia dipakai untuk menjadi kayu bakar neraka.

Dalam riwayat Israel diceritakan bahwa Musa bertanya kepada Tuhannya tentang keadaan orang-orang yang diazab. Allah berfirman kepada Musa, "Wahai Musa tanamlah tanaman!" Lalu Musa menanamnya. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya untuk memetik hasilnya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya untuk menghamburkan dan menaburkan benihnya. Musa lalu mengerjakannya. Lalu menyisihkan biji sendiri, pohon dan daun sendiri. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, "Sesungguhnya Aku memasukkan hamba-hamba yang tidak ada kebaikannya ke dalam neraka; seperti pohon dan duri yang tidak layak kecuali menjadi makanan api. Demikian juga manusia. Mereka mencapai derajat kesempurnaan dari satu fase ke fase lain hingga ia mencapai tingkatan yang diperoleh orang semisalnya. Betapa jauh perbedaan antara keadaan awalnya ketika masih dalam bentuk setetes air mani dengan keadaannya di mana Tuhannya memberikan salam kepada mereka dan manusia pun bisa melihat wajah-Nya pagi dan malam." Perhatikan pula perbedaan Nabi saw. pada masa awal tatkala malaikat mendatanginya, dan berkata kepadanya, "Bacalah!" Nabi menjawab, "Saya tidak dapat membaca." Bandingkan keadaan ini dengan keadaannya pada masa terakhir dalam firman Allah,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينً

 "Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku." (al-Maaidah: 3)

Dan firman Allah secara khusus,

 وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

 "Dan Dia telah menurunkan kepadamu Kitab, hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu sangat besar. "(an-Nisaa : 113)

Dikisahkan ada sekelompok orang Nasrani saling bercerita. Salah seorang dari mereka berkata, "Alangkah rendahnya akal orang-orang muslim yang mengklaim bahwa Nabi mereka adalah seorang penggembala kambing. Bagaimana seorang penggembala kambing layak menjadi Nabi?" Yang lain berkata, "Ketahuilah, demi Allah, mereka lebih berakal daripada kita. Sesungguhnya Allah dengan hikmah-Nya meminta Nabi menggembala hewan ternak. Apabila dia dapat menggembalanya dan menjalankan tugas itu dengan baik, maka dengan hikmahnya, Allah akan memilihnya untuk menggembala hewan berbicara. Itu dimaksudkan sebagai proses latihan bagi Nabi. Sedangkan kita, orang-orang Nasrani, mendatangi seorang bayi yang keluar dari seorang perempuan yang makan, minum, kencing, dan menangis, lalu berkata, 'Ini Tuhan kami yang menciptakan langit dan bumi.' Lalu kaum Nasrani itu menahan orang ini karena perkataannya tersebut." Mengapa orang yang telah dibersihkan Allah dari segala cacat dan telah diperkenalkan kebahagiaan dan kesusahan rela menjadi hewan? Padahal ia telah diberi potensi untuk menjadi seorang raja dalam singgasana kejujuran di hadapan Tuhan, yang mana, malaikat selalu tunduk setia melayaninya dan mengucapkan keselamatan dari setiap pintu masuk, "Keselamatan buat kalian, karena telah bersabar. Sungguh, sebagus-bagus rumah adalah rumah surga."

Kesempurnaan ini hanya dapat diperoleh dengan ilmu, pemeliharaan ilmu, dan melakukan segala konsekwensinya. Sementara kekurangan dan kerugian yang paling parah adalah kegagalan orang yang sebenarnya mampu mencapai kesempurnaan dan penyesalan mereka karena melewatkan kemampuan itu. Sebagian ulama salaf mengatakan, "Jika jalan kebaikan banyak, maka orang yang berada di luar jalan-jalan itu adalah orang yang paling merugi." Dan benar ucapan orang yang mengatakan, "Saya tidak melihat di antara kekurangan manusia yang menyamai kekurangan orang yang memiliki kemampuan untuk sempurna (lalu dia tidak menyempurnakan din)."

Jadi terbuti bahwa tidak ada yang lebih buruk pada manusia melebihi sikap lalai dari hal-hal mulia dalam agama, lalai dari ilmu bermanfaat dan amal saleh. Barangsiapa yang demikian, maka dia adalah dari jenis orang-orang hina dan penggembala yang mengeruhkan air dan melebihkan harga. Apabila dia hidup, maka dia hidup tidak terpuji. Dan apabila dia mati, dia mati tanpa ada yang merasa kehilangan. Kehilangan orang seperti ini justru merupakan ketenangan bagi negeri dan manusia. Langit tidak akan menangisinya dan tanah tidak akan merasa kasihan.

Delapan puluh tujuh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hati itu didatangi oleh dua penyakit silih berganti. Apabila keduanya menguasai hati, maka itu adalah kebinasaan dan kematiannya, yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Kedua hal ini merupakan pangkal penyakit manusia kecuali mereka yang diselamatkan oleh Allah. Allah SWT telah menyebutkan kedua penyakit ini dalam Kitab-Nya. Penyakit syahwat merupakan penyakit yang paling sulit dan paling mematikan hati. Allah berfirman tentang orang-orang munafik:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”.(Al-Baqarah: 10)

Allah swt pun berfirman,

 وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۚ

"Dan supaya orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir berkata, 'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” (al-Mudatstsir: 31)

Simak pula firman Allah swt berikut ini:

لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ

"Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya." (al-Hajj: 53)

Dalam ketiga tempat ini yang dimaksud dengan penyakit hati, ialah penyakit kebodohan dan syubhat. Adapun penyakit syahwat, terdapat dalam firman Allah:


يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, (al-Ahzaab: 32)

Makna ayat tersebut di atas adalah peringatan Allah swt kepada istri-istri Nabi “Janganlah kamu lemah lembut dalam berbicara sehingga orang yang ada kejahatan dan nafsu zina dalam hatinya berkeinginan untuk melakukan hal itu kepadamu. Perempuan apabila berbicara dengan orang asing hendaklah mengeraskan nada suara dan menguatkannya, tidak melembutkannya. Karena hal itu bisa menjauhkan kepenasaran dan keinginan”.

Sesungguhnya Hati juga memiliki penyakit lain seperti riya, takabur, hasad, bangga diri, congkak, cinta kepemimpinan dan kedudukan di muka bumi. Penyakit ini bagian dari penyakit syubhat dan syahwat. Hal ini timbul pasti karena adanya khayalan batil dan keinginan busuk seperti ujub, bangga, congkak, dan ketakaburan yang terbentuk dari khayalan kebesaran dan keutamaan, keinginan diagungkan makhluk dan dipuji. Semua penyakit hati, keluar dari dorongan syahwat atau syubhat atau dari keduanya. Penyakit-penyakit ini semuanya lahir dari kebodohan. Oleh karena itu, obatnya adalah ilmu sebagaimana yang disabdakan Nabi saw. dalam hadits pemilik luka di kepala yang diberikan fatwa untuk mandi, lalu dia mati. Rasul bersabda, "Mereka membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa tidak bertanya jika tidak tahu? Sesungguhnya obat penyembuh ketidakcakapan adalah bertanya."

Nabi menjadikan kelemahan hati untuk mengetahui dan kelemahan lidah untuk mengatakan, sebagai penyakit. Obatnya adalah bertanya kepada ulama. Jadi penyakit hati lebih sulit disembuhkan daripada penyakit badan karena puncak dari penyakit badan adalah kematian. Sedangkan, penyakit hati akan mengantar pemilikinya kepada penderitaan abadi dan tidak ada obat bagi penyakit ini kecuali ilmu. Karena itu, Allah menamakan kitab-Nya dengan obat bagi penyakit dada. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

 "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmah bagi orang-orang yang beriman." (Yunus: 57)

Oleh karena itulah, bagi hati manusia, ulama laksana seorang dokter bagi badan. Dan apa yang dikatakan orang bahwa ulama adalah dokter hati, itu karena mereka mampu memadukan antara keduanya. Kalau tidak, justru mereka sebenarnya lebih hebat dari itu. Kadang banyak negeri yang membutuhkan para dokter, tapi hanya ada sedikit dokter pada negeri tersebut. Dan terkadang ada orang yang menikmati umurnya sementara ia tidak terlalu membutuhkan seorang dokter. Sedangkan ulama, demi Allah dan perintah-Nya, mereka adalah kehidupan dan ruh para makhluk. Tidak pernah sekejap mata pun kita tidak butuh kepada mereka. Kebutuhan hati terhadap ilmu tidak seperti kebutuhan kepada pernafasan udara, tapi lebih besar dari itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu terhadap hati seperti air bagi ikan. Jika ia kehilangan air, maka ia akan mati. Oleh karena itulah, Allah menyebut orang bodoh dengan orang buta, tuli dan bisu. Itu adalah sifat hatinya karena kehilangan ilmu yang bermanfaat sehingga menetap dalam kebutaan, kebisuan, dan ketulian. Allah berfirman:

وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

 "Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar." (al-lsraa: 72)

Makna “Buta” yang dimaksud adalah buta hati di dunia. Allah berfirman,

وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ ۖ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا ۖ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا

“Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya”.  (al-lsraa': 97)

Sesungguhnya ketika manusia di dunia keadaan mereka seperti itu, maka ia akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka di kala hidup. Ada perselisihan tentang kebutaan di akhirat. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah buta hati dengan dalil bahwa Allah mengabarkan tentang penglihatan orang-orang kafir, malaikat, dan neraka. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah buta mata. Pendapat terakhir ini lebih rajih karena pemakaian kata dalam ayat itu tertuju ke sana dan berdasarkan firman Allah,

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا

 "Dia berkata, 'Ya Tuhan, mengapa Engkau membangkitkan saya dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat." (Thaahaa: 125)

Konteks pada Ayat di atas tampaknya menunjukkan kebutaan pada mata. Orang kafir tidak dapat dikatakan melihat/memiliki mata hati dengan berbagai alasan/hujjah yang mereka kemukakan. Adapun mengenai penglihatan orang kafir pada hari kiamat, orang-orang yang menganut pendapat kedua ini mengatakan bahwa orang kafir ketika dikeluarkan dari kubur dengan mata melihat. Tapi ketika digiring ke neraka, mata mereka buta. Ini yang dikatakan al-Farra' dan yang lain.

Delapan puluh delapan. Sesungguhnya Allah SWT dengan hikmah-Nya telah menguasakan atas hamba, seorang musuh yang mengetahui cara-cara dan sebab kehancuran serta keburukan untuk menjerumuskannya. Musuh itu sangat licik, lihai, sangat bernafsu melakukan itu semua, dan tak pernah berhenti siang dan malam. Pasti salah satu dari enam langkah sebagai perangkap mereka akan menjeratnya. Bisa jadi musuh yang telah dikuasakan Allah itu menjatuhkannya ke dalam kekafiran. Jika dia berhasil memenangkan itu, dia akan meninggalkannya dan beristirahat. Jika dia tidak berhasil dan hamba itu mendapat petunjuk kepada Islam, maka dia akan sangat berhasrat menjerumuskannya ke dalam bid'ah, temannya kekafiran.

Musuh ini lebih suka menjerumuskan orang pada hal yang bid'ah daripada kemaksiatan. Itu karena, ketika seseorang melakukan maksiat, maka ia akan bertaobat. Tapi apabila melakukan bid'ah, seseorang tidak akan bertaobat; karena ia merasa benar dan berada dalam hidayah. Dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa Iblis berkata, "Saya membinasakan anak Adam dengan dosa dan mereka menghancurkan saya dengan istigfar dan dengan kalimat tiada Tuhan selain Allah. Jika saya menyaksikan itu, maka saya meniupkan kepada mereka hawa nafsu. Sehingga, mereka berdosa dan tidak bertaobat, sebab mereka mengira bahwa mereka berbuat baik.”

Jika Iblis berhasil, dia akan menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpin dan penguasa. Jika dia tidak mampu melakukan itu, dia akan menyibukkannya dengan pekerjaan yang tidak terlalu penting di atas pekerjaan yang lebih utama, untuk mengacaukannya. Ini adalah langkah yang kelima. Jika dia tidak mampu melakukannya, dia akan menuju kepada langkah keenam. Yaitu, memerintahkan kelompoknya untuk menyakiti, mencela, mendustakan, dan menuduh hamba itu dengan perbuatan dosa besar supaya dia sedih dan hatinya menjadi sibuk. Sehingga, menjadi jauh dari ilmu, kehendak, dan seluruh amal perbuatan. Jika demikian, bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang segala persoalan ini dapat terhindar dari iblis?

Bagaimana mungkin, orang yang tidak mengenal musuhnya dan tidak tahu tentang hal yang dapat membentenginya bisa terhindar dari iblis? Hamba yang selamat hanyalah mereka yang mengenalnya dan mengenal cara-cara yang dipakai serta jalur-jalur yang ditempuh pasukan itu. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu tempat masuk dan keluar, cara memeranginya, cara mengobati dan dari apa dia mengambil kekuatan untuk memerangi dan menghalanginya bisa terbebas dari semua itu? Ini semua tidak dapat terwujud kecuali dengan ilmu.

Orang-orang bodoh biasanya lalai dan buta dari masalah besar dan luar biasa ini. Karena itulah musuh ini, keadaan, tentara, dan tipu dayanya banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur'an. Karena, jiwa sangat butuh untuk tahu kepada musuhnya, cara memerangi dan menghadapinya. Kalau bukan ilmu, maka tidak ada yang dapat selamat dari cengkeraman musuh ini. Jadi hanya dengan ilmu, keselamatan dapat dicapai.

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian ketiga belas ini. Penulis hanya membahas empat Sudut Pandang dari Imam Ibnu Qoyyim al-Jaujiyyah agar Para Pembaca dapat mengikutinya dengan seksama. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Keempat belas nanti yang akan dimulai dari sudut pandang kedelapan puluh sembilan hingga selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA