Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Ketiga Belas
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Ketiga Belas
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Pada
artikel Bagian Kedua belas mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan
Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang
yang berilmu hanya pada sudut pandang yang kedelapan puluh dua hingga
sudut pandang kedelapan puluh empat. Berikut ini akan Penulis lanjutkan kembali
dengan kajian pada sudut pandang yang kedelapan puluh lima hingga sudut Pandang
kedelapan puluh delapan, Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Delapan puluh lima. Ibnu Qoyyim al-Jaujiyyah berpandangan bahwa
sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga:
Kebahagiaan
Pertama, kebahagiaan yang berasal
dari luar diri manusia. Kebahagiaan ini dipinjamkan kepada manusia dari luar
dirinya dan hilang apabila si pemberi pinjaman mengambilnya kembali. Inilah
kebahagiaan harta dan kehidupan. Kebahagiaan dan kegembiraan semacam ini seperti
kegembiraan orang yang gundul/botak yang bangga dengan kepala anak pamannya
yang berambut lebat. Kebahagiaan ini juga seperti kebahagiaan seseorang sebab
pakaian dan hiasannya.
Telah dikisahkan dari sebagian ulama bahwa
dia menumpangi sebuah perahu bersama dengan beberapa pedagang, lalu perahu itu
pecah. Oleh sebab itu, mereka menjadi hina dalam kefakiran setelah jaya dengan
kekayaan. Lalu orang yang berilmu itu sampai kepada negeri itu dan dihormati.
Dia dikenal dengan berbagai kelebihan dan qaromah. Tatkala mereka, para
pedagang, ingin kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada orang yang berilmu
itu, "Apakah engkau memiliki surat atau keperluan untuk kaummu?" Dia
menjawab, "Ya, kalian katakan kepada mereka, 'Jika engkau ingin memiliki
harta yang tidak tenggelam di kala perahu pecah, maka ambillah ilmu itu sebagai
barang dagangan.'"
Dikisahkan pula, seorang lelaki berwibawa,
yang memiliki bentuk perawakan baik dan pakaian indah berkumpul dengan seorang
lelaki berilmu. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berilmu itu,
"Bagaimana engkau melihatnya?" Ia menjawab, "Saya melihat sebuah
rumah bagus, dihias indah, tapi tidak ada orang yang mendiaminya."
Kebahagiaan
Kedua, kebahagiaan
jasmani/fisik atau bersifat Jasadiah; seperti fisiknya sehat, seimbang, serasi
antara anggota tubuhnya, kebersihan warna dan kekuatan anggota-anggota tubuh.
Kebahagiaan ini lebih erat melekat pada diri manusia daripada yang pertama.
Tetapi, sebenarnya ia berada di luar zat dan hakekatnya. Sebab manusia
benar-benar menjadi manusia karena ruh dan hatinya, bukan karena jasmani dan
badannya sebagaimana dikatakan, "Wahai
pelayan jasmani, supaya tidak menderita dalam melayaninya, maka engkau adalah
manusia dengan ruh, bukan dengan jasmani."
Sesungguhnya penisbatan jasmani kepada ruh
dan hatinya seperti penisbatan baju dan pakaian kepada badannya. Sesungguhnya
badan itu dipinjamkan kepada ruh dan alat baginya. Badan adalah kendaraan ruh.
Karena itu, kebahagiaan manusia atas kesehatan, keindahan, dan kebaikannya
adalah bentuk kebahagiaan eksternal/luar diri.
Kebahagiaan
ketiga, kebahagiaan hakiki,
yaitu kebahagiaan jiwa, ruhani dan hati. Itulah kebahagiaan ilmu yang
buahnya berguna. Hanya ilmu seperti itu yang akan kekal dalam segala perubahan
dan keadaan. Hanya itu yang akan senantiasa menyertai hamba dalam segala
perjalanan dan tiga fasenya, yaitu fase dunia, alam barzakh, dan tempat
kekekalan (akhirat). Dengan kebahagiaan inilah, manusia menapaki tangga-tangga
keutamaan dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan.
Jenis kebahagiaan pertama hanya akan
menyertainya di wilayah mana ada harta dan jabatan. Sedangkan yang kedua, pasti
hilang dan berganti sejalan dengan berkurang dan melemahnya kondisi penciptaan.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada kebahagiaan kecuali dalam jenis
kebahagiaan yang ketiga dimana ia semakin lama semakin tinggi dan kuat. Apabila
harta dan jabatan hilang, maka kebahagiaan ketiga ini adalah harta dan
kebanggaan hamba yang akan nampak kekuatan dan pengaruhnya sesudah ruh berpisah
dengan badan. Dengan demikian, terputus pulalah dua jenis kebahagiaan pertama.
Kebahagiaan hakiki seperti ini tidak ada yang
mengetahui nilai dan yang mendorong untuk mencarinya kecuali ilmu tentang itu.
Jadi, lagi-lagi semua kebahagiaan kembali kepada ilmu dan apa yang dituntutnya.
Allah akan memberi kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat
menghalangi pemberian-Nya dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang
dihalangi-Nya. Tetapi, sebagian besar makhluk tidak mau mengusahakan dan
memperoleh jenis kebahagiaan ini karena jalannya susah, pahit, dan melelahkan.
Kebahagiaan ini hanya bisa diperoleh dengan kerja keras. Kondisinya jauh
berbeda dengan dua jenis yang pertama. Karena kedua jenis kenikmatan itu
merupakan nasib dan keberuntungan yang bisa didapat tanpa harus mencarinya.
Seperti harta warisan, pemberian atau yang lain. Sedangkan kebahagiaan ilmu,
tidak ada yang akan memberikan kepadamu kecuali dengan kerja keras, kesungguhan
dalam mencari, dan kebenaran niat.
Seseorang telah berkata dengan sangat baik
dalam hal ini, "Katakanlah kepada
orang yang mengharapkan ketinggian dari segala sesuatu, tanpa bekerja keras,
maka engkau mengharapkan kemustahilan." Dan yang lain berkata, "Seandainya bukan karena kesusahan,
maka semua manusia menjadi jaya/ kaya kedermawanan menjadi langka dan
keberanian berarti perang."
Barangsiapa yang memiliki obsesi tentang
hal-hal tinggi ini, maka dia wajib mencintai jalan-jalan agama. Inilah
kebahagiaan yang hakiki; meskipun tak pernah lepas dari kesulitan, kebencian, dan
siksaan. Apabila jiwa dipaksakan dan digiring dalam keadaan patuh serta sabar
terhadap berbagai cobaan yang ada, maka kekerasan ini niscaya akan membawa
menusia menuju taman yang indah, tempat kebenaran dan tempat mulia. Kenikmatan
apa pun kalau belum sampai pada kenikmatan seperti ini hanyalah ibarat
kenikmatan anak-anak yang bermain dengan mainannya. Bandingkan kenikmatan anak
ini dengan kenikmatan 'hakiki' seorang raja. Maka, saat itu keadaan pemilik kebahagiaan ini
menjadi sebagaimana dikatakan, "Dan
aku pernah mengira, aku telah sampai ke puncak cinta sehingga aku tidak
mendapat tempat pergi lagi sesudah itu, Namun ketika kami bertemu dan melihat
kebaikannya dengan mata kepala, saya yakin bahwa saya sebenarnya hanya
bermain."
Dapatlah kita katakan bahwa kemuliaan itu
penuh dengan perjuangan dan hal-hal yang tidak disenangi atau hal yang dibenci.
Kebahagiaan hanya bisa didapat setelah melalui jembatan kesulitan. Anda tidak
akan menyelesaikan jarak perjalanan ke sana kecuali dengan perahu kesungguhan dan
kerja keras. Imam Muslim berkata dalam kitab Shahihnya bahwa Yahya bin Abu
Katsir berkata,"Ilmu tidak dapat
diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula,
"Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus
meninggalkan hidup santai (di dunia)." "Renungkanlah, bagaimana
seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama
sekali."
Seandainya bukan karena ketidaktahuan
sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu
akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, sungguh kebahagiaan
ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan
orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan supaya Allah dapat
mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah
swt Maha Memiliki Keutamaan dan Keagungan.
Delapan puluh enam. Sesungguhnya Allah telah menciptakan segala
yang ada dan memberikan kesempurnaannya masing-masing. Kesempurnaan inilah
puncak dari kemuliaan sesuatu tersebut. Jadi, ketidaksempurnaannya akan
mengakibatkan sesuatu itu berpindah dan turun derajat ke tingkat yang lebih
rendah. Jika pada derajat ini pun tidak ada, maka ia pindah ke derajat yang
lebih rendah lagi. Begitu seterusnya sampai apabila semua kelebihan telah
hilang, maka ia menjadi seperti duri dan kayu bakar yang hanya layak untuk
dipakai sebagai kayu bakar.
Kuda jika masih kuat ditunggangi, ia akan
dipersiapkan untuk menjadi tunggangan raja dan dihormati seperti penghormatan
kepada raja. Tapi apabila keutamaan itu berkurang, maka ia akan dipersiapkan
untuk orang yang lebih rendah daripada raja. Dan jika kekurangannya semakin
buruk, maka ia akan dipakai prajurit biasa. Dan, apabila kelebihan ditunggangi
sudah hilang sama sekali, maka ia akan dipakai seperti himar untuk menarik roda
air atau mengangkut sampah dan semisalnya. Jika kemampuan itu pun sudah hilang,
maka ia akan disembelih seperti kambing.
Sebagaimana yang dikatakan dalam perumpamaan,
ada dua ekor kuda tunggangan, yang pertama di bawah tunggangan raja dan yang
lain di bawah tunggangan pembawa bendera. Kuda raja berkata, "Ketahuilah bahwa engkau adalah sahabat
saya. Saya dan engkau pernah berada di tempat yang sama. Apakah yang membawa
kamu ke tingkatan ini?" Dia menjawab, "Tidak lain sebab engkau
berjalan baik dan aku tidak berjalan baik." Demikian pula halnya
pedang. Jika tidak cocok dengan tujuan dan tidak layak untuk menjadi pedang,
maka ia ditempa menjadi kapak, gergaji, dan semisalnya. Demikian pula rumah
besar dan indah, apabila ia rusak dan hancur, maka ia dijadikan sebagai kandang
kambing atau onta. Demikian pula halnya manusia, apabila ia layak menerima kenabian
dan kerasulan, maka dia akan dipilih Allah sebagai Nabi dan Rasul sebagaimana
firman Allah,
وَإِذَا جَاءَتْهُمْ
آيَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّىٰ نُؤْتَىٰ مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ ۘ
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ ۗ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ
عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ
“Apabila
datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan
beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah
diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia
menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa
kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat
tipu daya”. (al-An'aam: 124)
Jika seseorang kurang dari derajat ini dan
cocok untuk menggantikan kenabian dan mewarisinya, maka Allah mencalonkan dan
menempatkannya ke derajat itu. Apabila kurang dari itu dan layak menerima
derajat kewalian, maka Allah mencalonkannya untuk itu. Dan jika ia layak untuk
bekerja serta beribadah tanpa pengetahuan dan ilmu, maka Allah menjadikan dia
layak untuk itu. Begitu seterusnya hingga sampai pada derajat orang awam.
Apabila derajatnya masih kurang dari itu dan jiwanya tidak dapat menerima
kebaikan sama sekali, maka dia dipakai untuk menjadi kayu bakar neraka.
Dalam riwayat Israel diceritakan bahwa Musa
bertanya kepada Tuhannya tentang keadaan orang-orang yang diazab. Allah
berfirman kepada Musa, "Wahai Musa tanamlah tanaman!" Lalu Musa
menanamnya. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya untuk memetik hasilnya. Lalu
Allah mewahyukan kepadanya untuk menghamburkan dan menaburkan benihnya. Musa
lalu mengerjakannya. Lalu menyisihkan biji sendiri, pohon dan daun sendiri.
Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, "Sesungguhnya Aku memasukkan
hamba-hamba yang tidak ada kebaikannya ke dalam neraka; seperti pohon dan duri
yang tidak layak kecuali menjadi makanan api. Demikian juga manusia. Mereka
mencapai derajat kesempurnaan dari satu fase ke fase lain hingga ia mencapai
tingkatan yang diperoleh orang semisalnya. Betapa jauh perbedaan antara keadaan
awalnya ketika masih dalam bentuk setetes air mani dengan keadaannya di mana
Tuhannya memberikan salam kepada mereka dan manusia pun bisa melihat wajah-Nya
pagi dan malam." Perhatikan pula perbedaan Nabi saw. pada masa awal
tatkala malaikat mendatanginya, dan berkata kepadanya, "Bacalah!"
Nabi menjawab, "Saya tidak dapat membaca." Bandingkan keadaan ini
dengan keadaannya pada masa terakhir dalam firman Allah,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينً
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu
agamamu dan telah Aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku." (al-Maaidah: 3)
Dan firman Allah secara khusus,
وَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
"Dan Dia telah menurunkan kepadamu Kitab,
hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah
kepadamu sangat besar. "(an-Nisaa : 113)
Dikisahkan ada sekelompok orang Nasrani
saling bercerita. Salah seorang dari mereka berkata, "Alangkah rendahnya akal orang-orang muslim yang mengklaim bahwa
Nabi mereka adalah seorang penggembala kambing. Bagaimana seorang penggembala
kambing layak menjadi Nabi?" Yang lain berkata, "Ketahuilah, demi
Allah, mereka lebih berakal daripada kita. Sesungguhnya Allah dengan hikmah-Nya
meminta Nabi menggembala hewan ternak. Apabila dia dapat menggembalanya dan
menjalankan tugas itu dengan baik, maka dengan hikmahnya, Allah akan memilihnya
untuk menggembala hewan berbicara. Itu dimaksudkan sebagai proses latihan bagi
Nabi. Sedangkan kita, orang-orang Nasrani, mendatangi seorang bayi yang keluar
dari seorang perempuan yang makan, minum, kencing, dan menangis, lalu berkata,
'Ini Tuhan kami yang menciptakan langit dan bumi.' Lalu kaum Nasrani itu
menahan orang ini karena perkataannya tersebut." Mengapa orang yang telah
dibersihkan Allah dari segala cacat dan telah diperkenalkan kebahagiaan dan
kesusahan rela menjadi hewan? Padahal ia telah diberi potensi untuk menjadi
seorang raja dalam singgasana kejujuran di hadapan Tuhan, yang mana, malaikat
selalu tunduk setia melayaninya dan mengucapkan keselamatan dari setiap pintu
masuk, "Keselamatan buat kalian, karena telah bersabar. Sungguh,
sebagus-bagus rumah adalah rumah surga."
Kesempurnaan ini hanya dapat diperoleh dengan
ilmu, pemeliharaan ilmu, dan melakukan segala konsekwensinya. Sementara
kekurangan dan kerugian yang paling parah adalah kegagalan orang yang
sebenarnya mampu mencapai kesempurnaan dan penyesalan mereka karena melewatkan
kemampuan itu. Sebagian ulama salaf mengatakan, "Jika jalan kebaikan banyak, maka orang yang berada di luar
jalan-jalan itu adalah orang yang paling merugi." Dan benar ucapan orang
yang mengatakan, "Saya tidak melihat di antara kekurangan manusia yang
menyamai kekurangan orang yang memiliki kemampuan untuk sempurna (lalu dia
tidak menyempurnakan din)."
Jadi terbuti bahwa tidak ada yang lebih buruk
pada manusia melebihi sikap lalai dari hal-hal mulia dalam agama, lalai dari
ilmu bermanfaat dan amal saleh. Barangsiapa yang demikian, maka dia adalah dari
jenis orang-orang hina dan penggembala yang mengeruhkan air dan melebihkan
harga. Apabila dia hidup, maka dia hidup tidak terpuji. Dan apabila dia mati,
dia mati tanpa ada yang merasa kehilangan. Kehilangan orang seperti ini justru
merupakan ketenangan bagi negeri dan manusia. Langit tidak akan menangisinya dan
tanah tidak akan merasa kasihan.
Delapan puluh tujuh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hati
itu didatangi oleh dua penyakit silih berganti. Apabila keduanya
menguasai hati, maka itu adalah kebinasaan dan kematiannya, yaitu penyakit
syahwat dan penyakit syubhat. Kedua hal ini merupakan pangkal penyakit
manusia kecuali mereka yang diselamatkan oleh Allah. Allah SWT telah
menyebutkan kedua penyakit ini dalam Kitab-Nya. Penyakit syahwat merupakan
penyakit yang paling sulit dan paling mematikan hati. Allah berfirman tentang
orang-orang munafik:
فِي قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam
hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”.(Al-Baqarah: 10)
Allah swt pun berfirman,
وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۚ
"Dan
supaya orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir berkata,
'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” (al-Mudatstsir: 31)
Simak pula firman Allah swt berikut ini:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ
"Agar
Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya." (al-Hajj: 53)
Dalam ketiga tempat ini yang dimaksud dengan
penyakit hati, ialah penyakit kebodohan dan syubhat. Adapun penyakit syahwat,
terdapat dalam firman Allah:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ
النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي
فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri
Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, (al-Ahzaab: 32)
Makna ayat tersebut di atas adalah peringatan
Allah swt kepada istri-istri Nabi “Janganlah
kamu lemah lembut dalam berbicara sehingga orang yang ada kejahatan dan nafsu
zina dalam hatinya berkeinginan untuk melakukan hal itu kepadamu. Perempuan
apabila berbicara dengan orang asing hendaklah mengeraskan nada suara dan
menguatkannya, tidak melembutkannya. Karena hal itu bisa menjauhkan kepenasaran
dan keinginan”.
Sesungguhnya Hati juga memiliki penyakit lain
seperti riya, takabur, hasad, bangga diri, congkak, cinta kepemimpinan dan
kedudukan di muka bumi. Penyakit ini bagian dari penyakit syubhat dan syahwat.
Hal ini timbul pasti karena adanya khayalan batil dan keinginan busuk seperti
ujub, bangga, congkak, dan ketakaburan yang terbentuk dari khayalan kebesaran dan
keutamaan, keinginan diagungkan makhluk dan dipuji. Semua penyakit hati, keluar
dari dorongan syahwat atau syubhat atau dari keduanya. Penyakit-penyakit ini
semuanya lahir dari kebodohan. Oleh karena itu, obatnya adalah ilmu sebagaimana
yang disabdakan Nabi saw. dalam hadits pemilik luka di kepala yang diberikan
fatwa untuk mandi, lalu dia mati. Rasul bersabda, "Mereka membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa
tidak bertanya jika tidak tahu? Sesungguhnya obat penyembuh ketidakcakapan
adalah bertanya."
Nabi menjadikan kelemahan hati untuk
mengetahui dan kelemahan lidah untuk mengatakan, sebagai penyakit. Obatnya
adalah bertanya kepada ulama. Jadi penyakit hati lebih sulit disembuhkan
daripada penyakit badan karena puncak dari penyakit badan adalah kematian.
Sedangkan, penyakit hati akan mengantar pemilikinya kepada penderitaan abadi
dan tidak ada obat bagi penyakit ini kecuali ilmu. Karena itu, Allah menamakan
kitab-Nya dengan obat bagi penyakit dada. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang
berada dalam dada dan petunjuk serta rahmah bagi orang-orang yang
beriman." (Yunus: 57)
Oleh karena itulah, bagi hati manusia, ulama
laksana seorang dokter bagi badan. Dan apa yang dikatakan orang bahwa ulama
adalah dokter hati, itu karena mereka mampu memadukan antara keduanya. Kalau
tidak, justru mereka sebenarnya lebih hebat dari itu. Kadang banyak negeri yang
membutuhkan para dokter, tapi hanya ada sedikit dokter pada negeri tersebut.
Dan terkadang ada orang yang menikmati umurnya sementara ia tidak terlalu
membutuhkan seorang dokter. Sedangkan ulama, demi Allah dan perintah-Nya,
mereka adalah kehidupan dan ruh para makhluk. Tidak pernah sekejap mata pun
kita tidak butuh kepada mereka. Kebutuhan hati terhadap ilmu tidak seperti
kebutuhan kepada pernafasan udara, tapi lebih besar dari itu. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa ilmu terhadap hati seperti air bagi ikan. Jika ia
kehilangan air, maka ia akan mati. Oleh karena itulah, Allah menyebut orang
bodoh dengan orang buta, tuli dan bisu. Itu adalah sifat hatinya karena
kehilangan ilmu yang bermanfaat sehingga menetap dalam kebutaan, kebisuan, dan ketulian.
Allah berfirman:
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ
أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
"Dan barangsiapa yang buta hatinya di
dunia ini, niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta (pula) dan lebih
tersesat dari jalan yang benar." (al-lsraa: 72)
Makna “Buta” yang dimaksud adalah buta hati
di dunia. Allah berfirman,
وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ ۖ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا ۖ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ كُلَّمَا
خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
“Dan
barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa
yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong
bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat
(diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman
mereka adalah neraka jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan
padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya”. (al-lsraa':
97)
Sesungguhnya ketika manusia di dunia keadaan
mereka seperti itu, maka ia akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka di
kala hidup. Ada perselisihan tentang kebutaan di akhirat. Ada yang mengatakan
bahwa itu adalah buta hati dengan dalil bahwa Allah mengabarkan tentang
penglihatan orang-orang kafir, malaikat, dan neraka. Ada pula yang mengatakan
bahwa itu adalah buta mata. Pendapat terakhir ini lebih rajih karena pemakaian
kata dalam ayat itu tertuju ke sana dan berdasarkan firman Allah,
قَالَ رَبِّ
لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا
"Dia berkata, 'Ya Tuhan, mengapa Engkau
membangkitkan saya dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat." (Thaahaa: 125)
Konteks pada Ayat di atas tampaknya menunjukkan
kebutaan pada mata. Orang kafir tidak dapat dikatakan melihat/memiliki mata
hati dengan berbagai alasan/hujjah yang mereka kemukakan. Adapun mengenai
penglihatan orang kafir pada hari kiamat, orang-orang yang menganut pendapat
kedua ini mengatakan bahwa orang kafir ketika dikeluarkan dari kubur dengan
mata melihat. Tapi ketika digiring ke neraka, mata mereka buta. Ini yang
dikatakan al-Farra' dan yang lain.
Delapan puluh delapan. Sesungguhnya Allah SWT dengan hikmah-Nya
telah menguasakan atas hamba, seorang musuh yang mengetahui cara-cara dan sebab
kehancuran serta keburukan untuk menjerumuskannya. Musuh itu sangat licik,
lihai, sangat bernafsu melakukan itu semua, dan tak pernah berhenti siang dan
malam. Pasti salah satu dari enam langkah sebagai perangkap
mereka akan menjeratnya. Bisa jadi musuh yang telah dikuasakan Allah itu
menjatuhkannya ke dalam kekafiran. Jika dia berhasil
memenangkan itu, dia akan meninggalkannya dan beristirahat. Jika dia tidak
berhasil dan hamba itu mendapat petunjuk kepada Islam, maka dia akan sangat
berhasrat menjerumuskannya ke dalam bid'ah, temannya kekafiran.
Musuh ini lebih suka menjerumuskan orang pada
hal yang bid'ah daripada kemaksiatan. Itu karena, ketika
seseorang melakukan maksiat, maka ia akan bertaobat. Tapi apabila melakukan
bid'ah, seseorang tidak akan bertaobat; karena ia merasa benar dan berada dalam
hidayah. Dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa Iblis berkata, "Saya membinasakan anak Adam dengan
dosa dan mereka menghancurkan saya dengan istigfar dan dengan kalimat tiada
Tuhan selain Allah. Jika saya menyaksikan itu, maka saya meniupkan kepada
mereka hawa nafsu. Sehingga, mereka
berdosa dan tidak bertaobat, sebab mereka mengira bahwa mereka berbuat baik.”
Jika Iblis berhasil, dia akan menjadikan hawa
nafsu sebagai pemimpin dan penguasa. Jika dia tidak mampu melakukan itu, dia akan menyibukkannya dengan pekerjaan
yang tidak terlalu penting di atas pekerjaan yang lebih utama, untuk
mengacaukannya. Ini adalah langkah
yang kelima. Jika dia tidak mampu melakukannya, dia akan menuju kepada langkah keenam. Yaitu, memerintahkan
kelompoknya untuk menyakiti, mencela,
mendustakan, dan menuduh hamba itu dengan perbuatan dosa besar supaya dia sedih
dan hatinya menjadi sibuk. Sehingga, menjadi jauh dari ilmu, kehendak, dan
seluruh amal perbuatan. Jika demikian, bagaimana mungkin orang yang tidak
memiliki pengetahuan tentang segala persoalan ini dapat terhindar dari iblis?
Bagaimana mungkin, orang yang tidak mengenal
musuhnya dan tidak tahu tentang hal yang dapat membentenginya bisa terhindar
dari iblis? Hamba yang selamat hanyalah mereka yang mengenalnya dan mengenal
cara-cara yang dipakai serta jalur-jalur yang ditempuh pasukan itu. Bagaimana
mungkin orang yang tidak tahu tempat masuk dan keluar, cara memeranginya, cara
mengobati dan dari apa dia mengambil kekuatan untuk memerangi dan menghalanginya
bisa terbebas dari semua itu? Ini semua tidak dapat terwujud kecuali dengan
ilmu.
Orang-orang bodoh biasanya lalai dan buta
dari masalah besar dan luar biasa ini. Karena itulah musuh ini, keadaan,
tentara, dan tipu dayanya banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur'an. Karena,
jiwa sangat butuh untuk tahu kepada musuhnya, cara memerangi dan menghadapinya.
Kalau bukan ilmu, maka tidak ada yang dapat selamat dari cengkeraman musuh ini.
Jadi
hanya dengan ilmu, keselamatan dapat dicapai.
Demikianlah uraian Penulis tentang sudut
pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi
orang-orang yang berilmu pada Bagian ketiga belas ini. Penulis hanya
membahas empat Sudut Pandang dari Imam Ibnu Qoyyim al-Jaujiyyah agar Para
Pembaca dapat mengikutinya dengan seksama. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan
pembahasan Bagian Keempat belas nanti yang akan dimulai dari sudut pandang
kedelapan puluh sembilan hingga selanjutnya, pada postingan artikel
berikutnya.
Komentar
Posting Komentar