URGENSI MUHASABAH
URGENSI
MUHASABAH
(Oleh :Dr.Sukarmawan,
M.Pd.)
Imam Turmudzi setelah
meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan
juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1.
Mengenai muhasabah,
Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang
menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.’
Sebagai sahabat yang
dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini.
Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang
biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar
paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita
menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertaqwa hingga ia menghisab dirinya
sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran
merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H.
Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan
muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga
menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri
orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan
orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha
Ilahi.
Urgensi lain dari
muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang
menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung
jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek
yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai
dan sukses, diantaranya :
1.
Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus
dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan
utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2.
Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering
kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh
kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah
urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara
dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi
Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam
pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia
memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana
pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah
penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan
muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini
juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah
hadits: Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian
siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut
diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki
perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah
orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat,
namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta
orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut
diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya
telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan
dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR.
Muslim)
Melalaikan aspek ini,
dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam
hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu
banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa
dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain;
mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi
dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan
karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka
dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya.
Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat
tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya
sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek;
sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak
orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid,
menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak
istighfar dan taubat dsb. Surat al-Hasyr: (59: 18)
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian
kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah
dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah
al-Husaini al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani: "setiap perbuatan manusia
yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk
persiapan diakhirat kelak. Karena hidup didunia bagaikan satu hari dan keesokan
harinya merupakan hari akherat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan
utamanya".
Jika kita berfikir tujuan utama manusia hidup didunia
ialah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu akherat, lalu
sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan manifestasi kecintaan
kita kepada Allah Swt?.
Cermin yang paling baik adalah masa lalu, setiap individu memiliki masa lalu
yang baik ataupun buruk, dan sebaik-baik manusia adalah selalu mengevaluasi
dengan bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah ia lakukan.
Sebagaimana pesan Sahabat Nabi Amirul Mukminin Umar bin Khottob:
"Evaluasilah (Hisablah) dirimu sebelum kalian
dihisab di hadapan Allah kelak"
Pentingnya setiap individu menghisab dirinya sendiri
untuk selalu mengintrospeksi tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang
hamba Allah Swt. yang segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawabannya
diakherat kelak. Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil hikmah dari
apa yang telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih baik. Sebagaimana
Dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal Rasulullah Saw bersabda, yang
artinya: “Barang siapa yang hari ini, tahun ini lebih baik dari hari dan tahun
yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi siapa yang hari dan tahun ini sama
hari dan tahun kemarin maka dia orang yang tertipu, dan siapa yang hari dan
tahun ini lebih buruk dairpada hari dan tahun kemarin maka dialah orang yang
terlaknat”.
Untuk itu, takwa harus senantiasa menjadi bekal dan
perhiasan kita setiap tahun, ada baiknya kita melihat kembali jalan untuk
menuju takwa. Para ulama menyatakan setidaknya ada lima jalan yang patut kita
renungkan mengawali tahun ini dalam menggapai ketakwaan. Jalan-jalan itu
adalah:
a. Muhasabah
Yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan
selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita.
b. Mu’ahadah
Yaitu mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Setiap saat, setiap shalat kita seringkali bersumpah kepada Allah:
"Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu
kami mohon pertolong. Kemudian kita berjanji; “Sesungguhnya
solatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Rabb semesta
alam”. Dengan demikian, ada baiknya kita kembali mengingat-ingat janji dan
sumpah kita. Semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan
senantiasa menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketakwaan. Inilah yang
disebut dengan mua’ahadah.
c. Mujahadah
Adalah bersungguh-sungguh kepada Allah Swt. Allah
menegaskan dalam firmannya:
Orang-orang yang sungguh (mujahadah) dijalan Kami, Kami
akan berikan hidayah kejalan kami.
Terkadang kita ibadah tidak dibarengi dengan kesungguhan,
hanya menggugurkan kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki
kehidupan beragama asal-asalan. Padahal bagi seorang muslim yang ingin menjadi
orang-orang yang bertakwa, maka mujahadah atau penuh kesungguhan adalah bagian
tak terpisahkan dalam menggapai ketakwaan disamping muhasabah dan mu’ahadah.
d. Muraqabah
Adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali awal tahun dan menutup tahun yang lalu. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan. Artinya: “Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu”.
Muraqabah atau ihsan adalah diantara jalan ketakwaan yang harus kita persiapkan dalam menyongsong dan mengisi lembaran tahun baru. Dulu di masa sahabat, sikap muraqabah tertanam dengan baik dihati setiap kaum muslimin. Kita bisa ambil sebuah contoh kisah. Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Umar berkata kepada anak tersebut: Wahai anak gembala, juallah kepada saya seekor kambingmu! Si anak gembala menjawab: Kambing-kambing ini ada pemliknya, saya hanya sekedar menggembalakannya saja. Umar lalu berkata: Sudahlah, katakan saja kepada tuanmu, mati dimakan serigala kalau hilang satu tidak akan ketahuan. Dengan tegas si anak itu menjawab: Jika demikian, dimanakah Allah itu? Umar demi mendengar jawaban si anak gembala ia pun menangis dan kemudian memerdekakannya.
Lihatlah, seorang anak gembala yang tidak berpendidikan
dan hidup didalam kelas sosial yang rendah tetapi memiliki sifat yang sangat
mulia yaitu sifat merasa selalu diawasi oleh Allah dalam segala hal. Itulah
yang disebut dengan muraqabah. Muraqabah adalah hal yang sangat penting ketika
kita ingin menjadikan takwa sebagai bekal hidup kita ditahun ini dan tahun yang
akan datang. Jika sikap ini dimiliki oleh setiap muslim, insya Allah kita tidak
akan terjerumus pada perbuatan maksiat. Imam Ghazali mengatakan: ‘Aku yakin dan
percaya bahwa Allah selalu melihatku maka aku malu berbuat maksiat kepada-Nya”.
e. Mu’aqobah
Artinya, mencoba memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah kekhilafan, memberikan teguran dan sanksi kepada diri kalau diri melakukan kesalahan. Ini penting dilakukan agar kita senantiasa meningkatkan amal ibadah kita. Manakala kita terlewat shalat subuh berjamaah maka hukumlah diri dengan infak disiang hari, misalnya. Manakala diri terlewat membaca al-Qur’an ‘iqoblah diri dengan memberi bantuan kepada simiskin. Kalau diri melewatkan sebuah amal shaleh maka hukumlah diri kita sendiri dengan melakukan amal shaleh yang lain. Inilah yang disebut mu’aqabah. Jika sikap ini selalu kita budayakan, insya Allah kita akan selalu mampu meningkatkan kualitas ibadah dan diri kita.
Mari takwa harus kita jadikan hiasan diri, bekal diri,
dengan menempuh lima cara tadi. Yaitu muhasabah, muahadah, mujahadah, muraqabah
dan mu’aqabah. Evaluasi diri, mengingat-ingat janji diri, punya kesungguhan
diri, selalu merasa diawasi Allah dan memberikan hukuman terhadap diri kita
sendiri. Jika lima hal ini kita jadikan bekal Insya Allah menapaki hari demi
hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kita akan selalu menapakinya dengan
indah dan selalu meningkat kualitas diri kita, insya Allah.
Komentar
Posting Komentar