Jabatan, antara Anugrah dan Musibah
Jabatan, antara Anugrah dan Musibah
(Oleh : Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Fenomena yang seringkali kita saksikan, saat
seseorang diberi amanah Jabatan, tampak wajahnya yang berseri penuh sukacita
dan rasa bahagia yang tak terhingga. Ia merasakan seakan-akan jabatan yang
diterimanya adalah anugrah. Jarang
sekali seseorang merespon atas jabatan yang diterimanya sebagai sebuah musibah
yang kemudian diresponnya dengan “Menangis” karena dirasakan Jabatan
yang diterimanya sebuah ujian yang sangat berat dan harus dipertanggungjawabkan
di hadapan manusia saat di dunia dan di hadapan Allah swt saat di akhirat nanti.
JIka kita berbicara mengenai bagaimana respon
sesorang saat memperoleh amanah sebuah jabatan, patut kita belajar dari sosok
seorang Pemimpin yang layak menjadi suri tauladan kita, selain sosok Rasulullah
SAW, yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Suatu ketika, setelah diberikan amanah
jabatan, Umar bin Abdul Aziz diketahui sedang menangis di dekat istrinya,
Fatimah. Ketika ditanya mengapa menangis, Beliau menjawab:
"Ya
Fatimah! Saya telah dijadikan penguasa atas kaum Muslimin dan saya memikirkan
nasib kaum miskin yang sedang kelaparan, kaum telanjang yang tidak mampu membeli
pakaian sengsara, kaum tertindas yang
sedang mengalami cobaan berat, kaum tak dikenal dalam penjara, orang-orang tua
renta yang patut diberi hormat, orang yang punya keluarga besar tetapi
penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan serupa di negara-negara
di dunia dan propinsi-propinsi yang jauh. Saya merasa bahwa Tuhanku akan
bertanya tentang mereka pada Hari Kebangkitan dan saya takut bahwa pembelaan
diri yang bagaimanapun tidak akan berguna bagi saya. Hal inilah yang membuat
saya menangis!"
Kisah yang juga paling populer tentang sosok
Umar bin Abdul Aziz adalah ketika Beliau mematikan lampu fasilitas negara saat Putra
Beliau datang untuk urusah pribadi. Beliau tidak mau menggunakanlampu yang
dibiayai atas fasilitas negara untuk kepentingan diri dan keluarganya.Subhanallah….
Umar bin Abdul Azizadalah salah satu profil
teladan pemimpin umat. Simak kembali secara cermat alasannya menangis dekat
istrinya. Beliau menyadari bahwa urusan lahiriah dan batiniah umat menjadi
tanggung jawabnya. Beliau pun sadar, jabatan adalah amanah sekaligus "Musibah
atau Ujian" yang sangat berat pertanggungjawabannya.
Haruslah kita sadari bahwa ujian dari Allah
swt tidak hanya berbentuk musibah atau bencana. Kekuasaan dan jabatan juga
ujian. Allah swt akan melihat siapa yang bersyukur atas amanah Jabatan yang
diembannya dan sebaliknya siapa yang kufur atas amanah jabatan. Jabatan yang
dilandasi rasa syukur oleh orang yang menjalani jabatan tersebut tentunya akan
mendatangkan keberkahan dalam hidup Sang Pejabat tersebut. Indikator keberkahan
atas jabatan yang diembannya adalah “Yuzidukum fittho’ah” akan meningkatkan
keta’atan dan ketaqwaannya kepada Allah swt. Sebaliknya, siapa yang kufur atas jabtan yang
diembannya maka ia akan menjadi Pejabat yang “Fujuroha” dengan indikator menjalani
amanah jabatan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya, dirinya semakin menjauh
dari Allah swt dan kemaksiatan menjadi aktivitas kesehariannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang
Nabi-Nya, Sualiman ‘Alaihis Salam saat melihat istana Bilqis di sisinya,
هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ
أَمْ أَكْفُرُ
“Ini
termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya).” (QS. Al-Naml: 40)
Allah memberi nikmat kepada seseorang agar ia
mensyukurinya, menjaganya, dan menggunakannya untuk kebaikan. Siapa yang
menggunakannya untuk melawan Dzat yang memberikan nikmat itu, ia gunakan untuk
berbuat durhaka kepada-Nya, maka ia terkategori sebagai orang kufur.
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih,” (QS. Ibrahim: 7)
Nikmat merupakan cobaan dan ujian dari Allah.
Dengannya, terlihat orang yang bersyukur dan orang yang kufur. Dan ujian dari
Allah terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa musibah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ
فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ
فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku
menghinakanku’.” (QS. Al-Fajr: 15-16)
Maknanya, tidak setiap orang yang mendapat
rizki, harta melimpah, dan kedudukan, adalah bentuk pemuliaan dari Allah
untuknya. Sebaliknya, tidak setiap orang yang disempitkan rizkinya, jauh dari
tahta, dan mendapat berbagai musibah adalah bentuk kehinaan dari Allah
untuknya.
Sedangkan kekayaan abadi yang akan terus
dinikmati pemiliknya adalah kekayaan yang menghantarkan kepada surga; yaitu
Islam, iman, ihsan, kebaikan, ketakwaan, taubat, dakwah, hijrah, jihad, dan
amal shalih lainnya.
Karenanya, tahta dan kuasa haruslah
menguatkan nikmat-nikmat di atas. Tahta dan kuasa tidak boleh menggeser nikmat
dien dari diri. Dan orang yang buruk adalah orang menjadikan tahta dan kuasanya
sebagai musibah dalam agamanya. Rasulullah saw mengingatkan kita, agar kita
tidak terkena penyakit waham, yaitu besar angan, cinta harta, dan tidak suka
pada kematian atau takut mati. Ketika umat sudah terkena serangan penyakit
tersebut, maka ia akan dengan mudah menggadaikan iman dan dengan sangat mudah
terjebak dalam prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Jabatan
bukanlah peluang untuk memperkaya diri dan menindas bawahan atau rakyat, jelata
tapi justru ada beban di dalamnya untuk melindungi dan menyejahterakan mereka.
Bagaimana dengan sikap kita saat mendapatkan jabatan? Apakah kita menganggap
jabatan yang kita emban sebagai Anugrah ataukah kita rasakan sebgai Ujian atau
Musibah ? Mari kita kita renungkan…..
Komentar
Posting Komentar