PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI (Bagian Pertama)

 

PENDIDIKAN AAKHLAK MENURUT IMAM GHAZALI

PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI
(Bagian Pertama)

Oleh : Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.

Mari sekilas kita mengenal sosok Ulama Besar dan dikenal sebagai seorang ahli sufi yaitu Imam Al-Ghazali. Pada masa kehidupan Imam al-Ghazali terdapat kelompok ilmuan yang mengaku sebagai pemilik dari kebenaran. Mereka teridiri dari beberapa kelompok, di antaranya adalah; Pertama, Filosuf, yang menggali ilmu pengetahuan yang dengan berdasarkan pada rasional akal semata. Kedua Kaum Fuqoha, yang menekankan hukum lahiriah. Ketiga, Golongan Sufisme, yang tumbuh berdasarkan ketidak setujuan akan kehidupan para penguasa yang sangat mengagungkan duniawi, juga sebagai anti formalitas agama yang di dengungkan oleh kelompok fuqoha. Pertentangan al-Hallaj dan kaum fuqoha adalah bukti dari kuatnya kesenjangan foqoha dan sufi. Dan Keempat, Kaum Mutakallimun yang membahas ketuhanan dengan pendekatan rasional dan filsafat

Imam al-Ghazali telah memilih sufi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Melalui jalan sufisme pula Beliau menggunakannya sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Imam Al-Ghazali dipandang sebagai figur pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan hakekat.

Selanjutnya, Penulis akan uraikan secara singkat mengenai pandangan Imam al-Ghazali  tentang Pendidikan Akhlak. Imam al-Ghazali memandang Pendidikan Akhlak, dan Beliau mengatakan bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian. Beliau berpandangan bahwa Akhlak bukan merupakan "perbuatan", dan bukan "kekuatan", bukan pula "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah" .Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih, tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu, menyatakan bahwa akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu.

Terkait dengan Tujuan Pendidikan Akhlak,  Bagi Imam al-Ghazali pendidikan akhlak adalah bertujuan untuk mencetak pribadi qur’ani yang mengikuti sunnah rasulullah saw. Sehingga mampu menjadi isan kamil, jauh dari menuruti hawa nafsu serta memiliki semangat beribadah yang tinggi. Sebab ibadah yang intensif tanpa baiknya akhlak adalah ekspresi beragama yang palsu dan tidak mengena pada inti atau hakikat ibadah itu sendiri. Beliau pun berpendapat terkait Metode Pendidikan Akhlak dengan lebih dahulu menjelaskan tentang makna  Metode Pendidikan yang  dapat diartikan sebagai cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.

Dalam upaya menerapkan Metode Pendidikan Akhlak, menurut Imam al-Ghazali, ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; Pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan pertama, jalan memohon karunia Illahi agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu inilah yang disebut juga dengan istilah ladunniah. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. Selain itu perubahan akhlak manusia harus memperhatikan sifat alami manusia bahwa mereka lebih condong pada unsur hewani berupa syahwat dan nafsu. Sehingga dengan mempertimbangkan hal ini akan mampu membuat suatu kebijakan antara mengolah mana yang akan dahulu dilakukan perubahan dan dihilangkan atas sifat-sifat hewaninya tersebut. Sementara itu, untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk . Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah Imam al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.

Dalam hal pembagian materi peddikan akhlak, Imam al-Ghazali mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Pertama ,Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kedua , kekuatan emosional, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, ketiga,kekuatan nafsu syahwat, dan keempat  adalah kekuatan keseimbangan (keadilan). Keempat komponen ini merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah SAW. Maka setiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan sifat Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah swt. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tidaklah diutus ke dunia ini kecuali uniuk menyempurnakan akhlak', sebagaimana Hadits Rasulullah SAW dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW pun bersabda :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)

Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain, akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya. Kriteria yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oleh Ibnu Maskawaih. Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih adalah; kearifan (yang bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance atau wasath).

Sementara itu, untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk . Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.  Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah Imam al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.

Demikianlah uraian tentang Akhlak menurut Pandangan Imam Al-Ghazali (Bagian Pertama), in syaa Allah pada Bagian Kedua nanti akan Penulis lanjutkan dengan uraian tentang Etika menurut Imam al-Ghazali, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan tentang Akhlak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI