Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kesembilan
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kesembilan
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Pada
artikel Bagian Kedelapan mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan
dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang
yang berilmu dari sudut pandang keenam puluh satu hingga
sudut pandang yang keenam puluh lima. Berikut ini akan Penulis
lanjutkan dengan sudut pandang yang keenam puluh satu hingga sudut pandang
selanjutnya.
Enam
puluh enam. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa ilmu
merupakan pemutus dan penentu bagi hal-hal lain, dan tidak ada yang dapat
menjadi pemutus baginya. Hal ini disebabkan segala sesuatu yang
diperselisihkan, baik keberadaannya, kondisi bagus dan kondisi rusaknya,
manfaat dan bahayanya (mudhoratnya), kelebihan dan kekurangannya, kesempurnaan
dan ketidak-sempurnaannya, dipuji atau dicela, derajat kebaikannya, dekat dan
jauhnya, sesuatu yang membuat seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan atau
tidak, semua itu diputuskan dan ditentukan oleh ilmu. Apabila ilmu sudah
memutuskannya, maka semua perselisihan selesai dan keputusan itu wajib diikuti.
Sesungguhnya
Ilmu adalah pengatur bagi kekuasaan, politik, harta benda, dan gerakan pena.
Kekuasaan yang tidak didukung oleh ilmu tidak akan bertahan, senjata tanpa ilmu
akan menjadi alat pemusnah masal yang brutal, pena tanpa ilmu menjadi gerakan
yang sia-sia. Ilmulah yang menguasai semua itu, tidak ada satu pun dari hal itu
yang menguasainya. Orang-orang berbeda pendapat mengenai apakah tinta pena
ulama lebih utama dari darah syuhada, ataukah sebaliknya. Masing-masing
pendapat ini didukung oleh argumentasi. Perselisihan ini sendiri merupakan
bukti keutamaan dan martabat ilmu. Pemutus dalam permasalahan ini juga adalah
ilmu, karena dengannya dan berdasarkan padanya hal itu diputuskan. Maka, yang
diutamakan di antara keduanya adalah orang yang menurut ilmu memiliki
keutamaan.
Apabila
ada pertanyaan, "Bagaimana ilmu menerima hukum untuk dirinya
sendiri?" Jawabnya, ini juga merupakan tanda keutamaan, ketinggian
derajat, dan kemuliaan ilmu. Seorang hakim tidak boleh menetapkan hukum untuk
dirinya sendiri sebab ia bisa dituduh dengan pemalsuan hukum, sedangkan ilmu
tidak bisa dituduh dengan apa pun. Karena, apabila ilmu menetapkan suatu hukum,
maka ia menetapkannya sejalan dengan kesaksian akal, kebenaran nalar yang dapat
diterima, dan hasilnya mustahil mengandung cacat. Dan apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan adanya cacat, maka ilmu akan menjauh darinya dan
martabatnya pun akan jatuh.
Ilmu merupakan
saksi yang bersih dan adil. Ilmu adalah hakim yang tidak zalim dan akan selalu
diikuti. Seseorang bertanya kembali, "Jadi mana yang lebih utama antara
tinta pena ulama dan darah para syuhada?" Maka, Ibnu Qoyyim menjawabnya
bahwa dalam permasalahan ini banyak terjadi perbedaan dan permasalahannya akan
melebar, karena masing-masing pihak mengemukakan argumentasinya. Adapun hal
yang dapat menyelesaikan pertentangan ini dan membawa masalah ini kepada
kesepakatan bersama adalah membicarakan jenis-jenis tingkatan kesempurnaan,
kemudian menganalisa mana yang paling utama dari kedua hal ini. Dengan langkah-langkah
tersebut, dapat diperoleh pendapat yang benar dan dari situlah terjadi
penyelesaian masalah.
Adapun
tingkatan manusia dalam bingkai kesempurnaan ada empat, yaitu para
nabi, orang-orang yang teguh keyakinannya (ash-shiddiiqiin), orang-orang yang
syahid (asy-syuhadaa'), dan orang-orang yang saleh (ash-Shalihiin).
Allah SWT telah menyebutkan keempat hal ini dalam firman-Nya,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ
عَلِيمًا
"Dan barangsiapa yang menaati Allah
dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama[1]sama orang-orang yang dianugerahi nikmat
Allah, yaitu nabi-nabi, orang yang shiddiqiin (orang yang amat teguh
keyakinannya kepada rasul Allah), orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah
karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (an-Nisaa
: 69-70)
Keempat
golongan ini disebutkan pula oleh Allah SWT dalam surah al-Hadiid, di mana
Allah SWT menyebutkan keimanan kepada-Nya, kepada Rasul-Nya dan menganjurkan
orang-orang mukmin agar hatinya khusyu menerima kitab dan wahyu-Nya. Kemudian Allah
menyebutkan tingkatan manusia, yaitu yang menderita dan yang bahagia.
Allah SWT berfirman:
,
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ
لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَٰئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ ۖ وَالشُّهَدَاءُ
عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
"Sesungguhnya orang-orang yang
bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (pahalanya) kepada mereka dan
bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang shiddiqiin dan orang-orang yang menjadi
saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang
kafir dan mendustakan ay at Kami, mereka itulah penghuni neraka."
(al-Hadiid: 18-19)
Sebelum
Allah swt turunkan ayat ini, Allah SWT telah menyinggung tentang orang-orang
munafik, dan ayat ini mencakup orang menderita dan orang bahagia. Dengan
demikian, ayat-ayat di atas menyebutkan empat tingkatan manusia, yaitu para
rasul, orang-orang yang teguh keyakinannya (ash-shiddiiqiin), orang-orang yang
syahid (asy-syuhadaa') dan orang[1]orang
yang saleh (ash-Sholihiin). Yang tertinggi dari derajat ini adalah para nabi
dan para rasul, kemudian disusul oleh orang-orang yang teguh imannya. Para
siddiqiin adalah orang-orang yang teguh dalam mengikuti para rasul. Mereka
adalah golongan yang derajatnya paling tinggi sesudah para rasul.
Enam
puluh tujuh. Dalam beberapa hadits Nabi saw. secara
mutawatir telah menginformasikan bahwa amal perbuatan yang paling mulia adalah
iman kepada Allah SWT. Iman adalah penghulu segala perkara, dan amal perbuatan
datang sesudahnya sesuai dengan tingkatan dan posisinya. Iman kepada Allah
memiliki dua rukun. Pertama,
mengetahui dan mengerti apa yang dibawa Rasulullah saw. Kedua, membenarkannya dengan ucapan dan perbuatan. Perbuatan dan
pembenaran tanpa ilmu adalah mustahil, karena pembenaran adalah cabang dari
pengetahuan terhadap apa yang dibenarkan. Dengan demikian, ilmu bagi iman
laksana ruh bagi jasad.
Sesungguhnya,
pohon iman tidak dapat tegak kecuali di atas landasan ilmu dan pengetahuan.
Jadi ilmu adalah sesuatu yang paling mulia dan anugerah yang paling berharga.
Enam
puluh delapan. Semua sifat kesempurnaan yang terdapat pada
Zat Allah SWT akan berpulang kepada al-Ilmu
(pengetahuan), al-Qudrah dan iraadah (will). Iraadah merupakan cabang dari
al-ilmu, karena al-iraadah itu membutuhkan adanya kecenderungan kepada
sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, al-iraadah ini membutuhkan al-ilmu
(pengetahuan) tentang zat dan hakikat sesuatu. Al-qudrah sendiri tidak akan
mempunyai pengaruh kecuali melalui al-iraadah. Sedangkan, al- 'ilm dalam
keterkaitannya dengan obyek tidak membutuhkan salah satu dari al-iraadah dan
al-qudrah, Al-iraadah dan al-qudrah, masing-masing membutuhkan al- 'ilmu dalam
keterkaitannya dengan obyek. Ini semua menunjukkan keutamaan dan kemuliaan
ilmu.
Enam
puluh sembilan. Patut kita ketahui nahwa sifat al- 'Ilmu
merupakan sifat yang paling umum dan paling luas obyeknya. Ilmu terkait dengan
yang wajib dan yang mungkin terjadi, yang mustahil dan yang bisa terjadi, serta
yang ada dan yang tidak ada. Zat Allah SWT suci, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya
diketahui dengan ilmu. Hamba-hamba-Nya mengetahui sifat-sifat dan nama-nama-Nya
melalui apa yang Dia ajarkan. Sedangkan, sifat Qudrah dan Iradah memiliki obyek
yang khusus. Sifat Qudrah hanya berhubungan dengan hal yang mungkin terjadi,
tidak dengan hal yang mustahil dan wajib terjadi. Dari sisi ini sifat Qudrah
lebih khusus daripada ilmu dan lebih umum dari sifat al-Iraadah. Sedangkan
Iraadah hanya berhubungan dengan sebagian yang mungkin, yaitu hal yang ingin
Allah SWT ciptakan. Dengan demikian, ilmu adalah lebih luas, lebih umum, dan
lebih menyeluruh baik esensinya maupun objeknya.
Tujuh
puluh. Sesunguhnya Allah SWT telah memberitahukan kita bahwa Allah
swt menjadikan orang-orang yang berilmu sebagai para pemimpin yang memberi
petunjuk atas perintah-Nya dan menjadi imam bagi orang-orang sesudah mereka.
Allah SWT berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا
لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka
itu para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami."
(as-Sajdah: 24)
Dalam ayat
yang lain, Allah SWT berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
"Dan orang-orang yang berkata, 'Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami
sebagai penyenang hati. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.' (al-Furqaan: 74)
Makna dari
ayat di atas, jadikanlah kami imam yang menjadi panutan bagi orang-orang
sesudah kami. Allah SWT. memberitakan bahwa ketinggian derajat dalam agama
diperoleh melalui kesabaran dan keyakinan penuh, dan itulah tingkatan
ash-shiddiqiin yang paling tinggi. Keyakinan merupakan kesempurnaan dan tujuan
keimanan. Dengan kesempurnaan derajat ilmu, ketinggian derajat dalam agama akan
terwujud. Allah SWT melimpahkannya kepada orang-orang yang Dia kehendaki.
Tujuh
puluh satu. Perlu kita sadari bahwa kebutuhan manusia akan
ilmu adalah hal yang sangat penting melampaui kebutuhan tubuh akan asupan
makanan, karena tubuh membutuhkan makanan sekali atau dua kali saja dalam
sehari. Sedangkan, kebutuhan manusia kepada ilmu adalah sebanyak jumlah nafas
mereka, karena dalam setiap tarikan nafas manusia membutuhkan ilmu yang
menyertai keimanan. Jika satu tarikan nafas saja berpisah dari keimanan, maka
mereka berada di ambang kebinasaan.
Sesungguhnya
tidak ada jalan memperoleh keimanan kecuali dengan ilmu. Dengan demikian,
kebutuhan manusia kepada ilmu melampaui kebutuhannya kepada makanan dan
minuman. Imam Ahmad telah menyebutkan penjelasan yang senada dengan ini dan Beliau
berkata, "Manusia lebih membutuhkan
ilmu daripada makanan dan minuman. Karena dalam sehari dia hanya membutuhkan
makanan dan minuman sekali atau dua kali. Sedangkan dia membutuhkan ilmu setiap
saat."
Tujuh
puluh dua. Orang berilmu akan lebih sedikit merasakan
lelah dalam melakukan pekerjaan, tetapi ia lebih banyak mendapatkan pahala. Hal
ini dapat dianalogikan dengan para pekerja dan kuli di sebuah pabrik atau kuli
bangunan. Mereka harus melakukan pekerjaan[1]pekerjaan yang berat, sedangkan seorang
pengarahatau mandor (Supervisor) hanya duduk memerintah, melarang, dan
menunjukkan mereka cara bekerja. Walaupun demikian, gaji sang pengarah/Mandor
(supervisor) tersebut memperoleh imbalan berlipat ganda daripada gaji para kuli/
pekerja. Nabi saw. telah mengisyaratkan makna ini ketika beliau bersabda, "Amal yang paling mulia adalah iman
kepada Allah kemudian jihad." (HR Bukhari dan Muslim)
Sungguh
di dalam jihad, seseorang mengorbankan jiwa dan menanggung beban yang sangat
berat. Sedangkan, iman adalah pengetahuan, amalan, dan pembenaran dari hati.
Walaupun demikian, iman adalah amalan yang paling mulia, padahal beban jihad
jauh lebih berat dari keimanan tersebut. Hal ini disebabkan ilmu memberitahukan
kadar dan derajat amal tersebut. Orang yang memiliki ilmu tidak memilih untuk
dirinya kecuali pekerjaan yang terbaik. Orang yang menjalankan suatu pekerjaan
tanpa ilmu menyangka bahwa keutamaan terdapat dalam banyaknya kesulitan.
Mari
kita renungkan tentang sosok sahabat Nabi SAW, Abu Bakar ash-shiddiiq.
Dia adalah orang yang terbaik dalam umat ini, padahal kita ketahui ada orang
yang lebih banyak amalan, lebih banyak menunaikan haji, berpuasa, shalat dan
membaca Al-Qur'an daripada dia. Abu Bakr bin 'Ayyasy pernah berkata, "Abu Bakar ash-shiddiiq tidak melebihi
kalian dalam puasa dan shalat, tetapi dia melampaui kalian dengan sesuatu yang
terpatri di dalam hatinya." Hal
ini sebagaimana diungkapkan dalam syair yang terkenal, "Tidak ada orang yang berjalan gemulai seperti dirimu, Engkau
berjalan berlahan-lahan, namun engkau tiba paling awal."
Tujuh
puluh tiga. Haruslah kita sadari bahwa sesungguhnya ilmu
itu adalah pemimpin dan pembimbing amal. Amal itu ikut dan bermakmum kepada
ilmu. Setiap amal perbuatan yang tidak mengikuti ilmu, maka amal itu tidak
bermanfaat bagi pelakunya, bahkan justru berbahaya bagi dirinya. Sebagaimana
yang dikatakan para kaum salaf, "Barangsiapa
yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka ibadahnya lebih banyak yang salah
daripada yang benar." Sesungguhnya segala amal perbuatan diterima dan
ditolak berdasakan kesesuaian dan pertentangannya dengan ilmu. Amal yang
sejalan dengan ilmulah yang akan diterima dan amal yang bertentangan dengannya
yang akan ditolak. Jadi, ilmu merupakan timbangan dan barometer amal seorang
hamba. Allah SWT berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (al-Mulk: 2)
Al-Fudhail
bin Iyyad berkata, "Amal yang
diterima adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar." Lalu
orang-orang bertanya kepadanya, "Mengapa bisa demikian?" Dia
menjawab, "Suatu amal perbuatan
meskipun dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Dan
apabila amal itu benar namun tidak ikhlas, maka tidak diterima juga. Amal
perbuatan tidak akan diterima hingga dilakukan dengan ikhlas dan dengan
cara yang benar." Amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah
semata
Dengan
demikian, ilmu merupakan petunjuk menuju keikhlasan dan petunjuk dalam mencapai
kebenaran. Allah SWT berfirman,
قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah
hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
(al-Maaidah: 27)
Penafsiran
yang paling tepat terhadap ayat ini adalah bahwa Allah SWT hanya menerima amal
perbuatan orang yang bertakwa. Ketakwaannya dalam perbuatannya tersebut adalah
melakukannya demi Allah semata dan dengan mengikuti perintah-Nya. Semua ini
dapat terwujud hanya dengan ilmu. Jika kedudukan dan posisi ilmu adalah
demikian adanya, maka dapat diketahui bahwa ilmu adalah sesuatu yang paling
mulia dan utama. Wallaahu a'lam.
Tujuh
puluh empat. Sesungguhnya orang yang beramal tanpa ilmu
seperti seorang musafir tanpa petunjuk. Sehingga, dapat dimaklumi bahwa
kebinasaan lebih dekat baginya daripada keselamatan. Walaupun dia bisa selamat
secara kebetulan, tetapi itu jarang terjadi. Sehingga, walaupun selamat ia
tidak mendapatkan pujian melainkan tercela menurut orang yang berilmu. Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, "Orang yang tidak mengikuti petunjuk
pasti akan tersesat, dan tidak ada petunjuk jalan kecuali Sunnah yang dibawa
Rasulullah saw.."
Imam Hasan
al-Basri pernah berkata, "Orang
beramal tanpa ilmu laksana orang yang salah jalan. Amal perbuatan seseorang
tanpa berdasarkan ilmu lebih banyak salahnya daripada benarnya. Maka, tuntutlah
ilmu dengan tidak meninggalkan ibadah dan lakukanlah ibadah dengan tidak
meninggalkan ilmu. Sesungguhnya ada satu kaum yang menunaikan ibadah namun
mereka meninggalkan ilmu, akibatnya mereka memerangi umat Muhammad saw..
Seandainya mereka mau mencari ilmu, tentu mereka tidak melakukan apa yang telah
mereka perbuat."
Perbedaan
antara posisi ilmu pada bagian ke tujuh puluh empat ini dengan yang sebelumnya
adalah bahwa derajat ilmu pada bagian sebelumnya adalah sesuatu yang ditaati
perintahnya, diikuti keputusannya, dan diteladani. Sedangkan, pada bagian ini
ilmu adalah sebagai petunjuk dan pengarah dalam mencapai tujuan yang
diinginkan.
Tujuh
puluh lima. Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dalam kitab Shahih keduannya bahwa Nabi saw. bersabda, "Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan
Israfil. Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang
terlihat, Engkau memutuskan perkara yang diperselisihkan hamba-hamba-Mu. Dengan
izin-Mu tunjukkanlah kepadaku kebenaran dan apa yang mereka perselisihkan.
Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki menuju jalan yang
lurus." (HR Muslim dan Abu Daud) Terdapat dalam beberapa kitab Sunan
diriwayatkan bahwa Nabi saw. melakukan takbiratul’ihram dan membaca doa ini.
Hakikat
dari hidayah adalah mengetahui kebenaran berdasarkan keinginan sendiri dengan
mengutamakannya dari hal-hal yang lain. Orang yang mendapat petunjuk atau
hidayah adalah orang yang melakukan
kebenaran berdasarkan keinginannya. Sesungguhnya hidayah adalah nikmat Allah
yang paling besar bagi hamba-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan
hamba-hamba-Nya agar setiap siang dan malam di saat menunaikan shalat lima
waktu untuk meminta hidayah-Nya guna mendapatkan jalan yang lurus.
Sesungguhnya
dalam setiap gerakan lahir maupun batin, seorang hamba membutuhkan pengetahuan
tentang kebenaran yang diridhai Allah SWT. Apabila dia telah mengetahuinya,
maka dia membutuhkan kepada Zat yang memberinya ilham untuk melakukan kebenaran
tersebut. Maka, Allah SWT menciptakan keinginan di dalam hati hamba tersebut,
dan iapun menunaikannya. Sudah maklum adanya bahwa apa yang tidak diketahui
seorang hamba jauh lebih banyak daripada yang ia ketahui. Dan jika yang perlu
diketahui manusia adalah sesuatu yang baik namun terkadang jiwanya tidak
menghendakinya, ataupun jika menghendakinya dia tidak mampu menggapainya karena
saking banyaknya, maka setiap saat dia sangat membutuhkan hidayah yang
berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang.
Seorang
hamba membutuhkan hidayah yang berkaitan dengan masa lalu, karena dia perlu
melakukan perhitungan (muhaasabah) terhadap dirinya. Apakah dulu ia berada
dalam jalan yang benar sehingga ia harus bersyukur kepada Allah SWT dan memohon
agar ditetapkan di dalamnya, ataukah ia keluar dari jalan yang benar sehingga
ia harus bertaobat kepada-Nya dan memohon ampunan serta bertekad untuk tidak
kembali kepadanya.
Seorang
hamba membutuhkan hidayah yang berkaitan dengan masa sekarang sebab ia hidup
pada masanya itu di mana ia perlu mengetahui hukum dari perbuatan-perbuatannya;
apakah yang ia lakukan benar atau salah.
Sedangkan
di masa mendatang kebutuhannya terhadap hidayah lebih besar lagi, supaya
perjalanannya nanti berada di atas jalan yang lurus. Jika kondisi seorang hamba
terhadap hidayah demikian adanya, tentulah seorang hamba sangat membutuhkannya.
Sedangkan ucapan yang tidak benar yang dikemukakan sebagian orang, yaitu, "Jika kita adalah orang-orang yang
mendapat hidayah, untuk apa lagi kita memintanya kepada Allah, bukankah meminta
hidayah lagi tidak ada gunanya?" Ini adalah pernyataan yang salah dan
sangat jauh dari kebenaran. Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkanya
tidak memahami arti hidayah dan tidak mengetahui hakikat hidayah tersebut. Oleh
karena itu, ada yang bersusah payah menjawab pernyataan di atas, dengan
mengatakan bahwa maksud dari memohon hidayah setelah mendapatkannya adalah, "Teguhkanlah dan kekalkanlah kami di
dalamnya!" Orang yang mengetahui benar hakikat hidayah dan kebutuhan
hamba kepadanya, akan tahu bahwa apa yang belum terwujud dalam dirinya dari
hidayah itu jauh lebih banyak daripada yang telah terwujud. la tahu pula bahwa
setiap waktu dia membutuhkan hidayah. Apalagi bila diingat bahwa Allahlah yang menciptakan
perbuatan hati dan anggota badan manusia. Oleh karena itu, setiap saat seorang
hamba membutuhkan hidayah dari-Nya. Karena seandainya Allah SWT tidak
menghilangkan penghalang dan penghambat yang merintangi sampainya hidayah, maka
dia tidak akan mengambil manfaat dari hidayah itu dan tidak akan mampu
merealisasikan tujuannya.
Sebuah
ketetapan tidak akan terwujud hanya dengan adanya sesuatu yang berimplikasi
kepadanya, tetapi juga harus tidak ada yang menghalangi dan menghambatnya.
Bisikan jahat dan hawa nafsu seorang hamba merupakan penghalang terwujudnya
pengaruh hidayah. Jika Allah tidak menyingkirkan penghalang ini, maka dia tidak
akan mendapatkan petunjuk yang sempurna. Oleh karena itu, kebutuhannya terhadap
petunjuk Allah menyertai setiap tarikan nafasnya, ini adalah kebutuhan hamba
yang paling besar. Dan dalam doa beliau, Rasulullah saw. selalu menyebutkan
beberapa sifat Allah dan kerububiyahan-Nya yang sesuai dengan apa yang beliau
minta. Ketika beliau memohon agar diberi petunjuk sesuai fitrah manusia ketika
diciptakan, beliau bertawassul dengan sifat-Nya sebagai Pencipta langit dan
bumi.
Ketika
Beliau memohon agar diajarkan kebenaran dan diberi taufik, beliau menyebutkan
pengetahuan Allah tentang hal yang gaib dan yang tampak. Karena sudah selayaknya
seorang hamba memohon kepada Zat Yang Maha mengetahui untuk diajari dan diberi
tuntunan serta petunjuk. Hal ini seperti tawasulnya seorang hamba dengan
kekayaan dan kedermawanan Yang Maha Kaya agar diberi sesuatu dari harta-Nya.
Juga seperti tawassulnya seorang hamba dengan keluasan ampunan Yang Maha
Pengampun supaya diampuni, serta memohon kasih sayang dengan rahmat-Nya supaya
dikasihi dan semacamnya. Rasulullah menyebutkan rububiyah (ketuhanan) Allah
atas Jibril, Mikail dan Israfil, karena beliau memohon dari-Nya petunjuk yang
menghidupkan hati.
Patut
diketahui bahwa Hidayah memiliki empat tingkatan sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur'an.
Pertama: hidayah yang bersifat
general (umum), yaitu hidayah untuk setiap makhluk meliputi hewan dan manusia.
Hidayah ini Allah SWT turunkan agar mereka mampu menunaikan tugas yang mereka
emban. Allah SWT berfirman, "Sucikanlah
nama Tuhanmu yang paling tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan
penciptaan-Nya serta yang menentukan kadar masing-masing dan memberikan
petunjuk." (al-A'laa: 1 -3)
Dalam
ayat ini Allah SWT menyebutkan empat perkara: penciptaan, penyempurnaan, penentuan qadar, dan hidayah. Allah
menyempurnakan ciptaan-Nya dan mengaturnya. Lalu Dia menetapkan sebab-sebab
kebaikannya dalam kehidupan. Dia juga memberinya petunjuk kepada kebaikan-kebaikan
itu. Hidayah di sini adalah pengajaran, karena itu Allah SWT menyebutkan bahwa
Dialah yang mencipta dan mengajari sebagaimana yang disebutkan dalam surah
pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
Allah
SWT berfirman tentang kisah Fir'aun, bahwa dia bekata kepada Musa, "Berkata Fir'aun, 'Maka siapakah
Tuhanmu, wahai Musa ? "Musa berkata, 'Tuhan kami ialah Tuhan yang telah
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya
petunjuk.'" (Thaahaa: 49-50) Hidayah
ini adalah hidayah yang paling awal dan paling umum.
Kedua: hidayah yang berupa
penjelasan dan pembuktian yang menjadi argumentasi Allah bagi hamba-hamba-Nya,
dan ini tidak mengharuskan adanya petunjuk secara umum. Allah SWT berfirman,
Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin "Dan adapun kamu
Tsamud, maka mereka telah kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta
(kesesatan) dari petunjuk itu." (Fushshilat: 17) Artinya, Kami telah
menjelaskan, membuktikan, dan memperkenalkan kepada mereka, tetapi mereka masih
tetap mengutamakan kesesatan dan kebutaan. Allah SWT berfirman, "Dan juga
kaum 'Ad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari
(puing-puing) tempat tinggal mereka, menjadikan mereka memandang baik
perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan Allah,
sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam."
(al-'Ankabuut: 38)
Ini
adalah tingkatan yang lebih khusus dari yang pertama dan lebih umum dari yang
kedua. Ini adalah petunjuk yang berupa taufik dan ilham dari-Nya. Allah SWT
berfirman, "Allah menyeru manusia ke
Dar as-Salam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendakinya ke jalan yang
lurus (Islam)." (Yunus: 25)
Allah
SWT mengarahkan dakwah-Nya kepada makhluk-Nya secara umum dan mengkhususkan
hidayah-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya kamu tidak dapat
memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allahlah yang memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki." (al-Qashash: 56)
Ketiga: hidayah yang dengan
pasti membuat seorang hamba mendapatkan petunjuk. Allah SWT berfirman, "jika kamu sangat mengharapkan agar
mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada
orang yang disesatkannya." (an-Nahl: 37)
Artinya,
barangsiapa yang Allah sesatkan, maka dia tidak akan mendapat petunjuk untuk
selamanya. Adapun hidayah yang berupa penjelasan dan pembuktian adalah syarat
yang tidak mewajibkan diperolehnya hidayah. Jadi tidak menutup kemungkinan
hidayah tidak terwujud dengan adanya penjelasan dan pembuktian tersebut. Ini
berbeda dengan hidayah jenis ketiga, karena tidak mungkin dengan adanya hidayah
jenis ini seseorang tidak akan memperoleh petunjuk.
Keempat: hidayah di akhirat
kelak yang menunjukkan jalan ke surga dan neraka. Allah SWT berfirman, "(Kepada malaikat
diperintahkan)/Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman sejawat
mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah. Maka,
tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. ' (ash-Shaffaat: 22-23)
Dan
perkataan penghuni surge telah Allah swt firmankan, "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami jalan ke surga
ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapatkan petunjuk kalau Allah tidak
memberi kami petunjuk." (al-A'raaf: 43)
Terdapat
dua kemungkinan dalam ayat ini, yaitu hidayah di akhirat yang menunjukkan jalan
ke surga atau hidayah di dunia yang membuat manusia kelak masuk surga.
Seandainya dikatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah kedua hidayah
tersebut, yaitu mereka memuji Allah atas petunjuk-Nya di dunia dan petunjuk-Nya
di akhirat yang menunjukkan jalan ke surga, maka ini lebih tepat dan lebih
baik. Allah SWT telah membuat perumpamaan bagi orang yang tidak mengetahui
kebenaran dan tidak mengikutinya dengan sebuah perumpamaan yang sangat sesuai.
Sebagai
penutup pada artikel bagian kesembilan ini, mari kita simak firman Allah SWT, "Katakanlah apakah kita akan menyeru
selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada
kita dan tidak pula mendatangkan kemudharatan kepada kita. Apakah kita akan
dikembalikan ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti
orang yang telah disesatkan oleh setan dipesawangan yang menakutkan dalam
keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya ke jalan yang
lurus dengan mengatakan, 'Marilah ikuti kami.' Katakanlah, 'Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar
menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.'" (al-An'am: 71)
Demikianlah
uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada
Bagian kesembilan ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan ini pada
postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar