Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedelapan

         

KEMULIAAN ILMU
                 

                   Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Kedelapan

Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.

Pada artikel Bagian Ketujuh mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu  (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu dari sudut pandang kelima puluh satu  hingga sudut pandang yang keenam puluh.  Berikut ini akan Penulis lanjutkan dengan sudut pandang yang keenam puluh satu hingga sudut pandang selanjutnya.

Enam puluh satu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Daud, dari Abdullah bin Sanhabirah, dari Sanhabirah, bahwa Nabi saw. bersabda, "Menuntut ilmu adalah kafarah (penghapus) bagi dosa-dosa yang telah lalu orang yang melakukannya." (HR Tirmidzi)

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena Abu Daud adalah sosok yang tidak terpercaya. Akan tetapi, sebelumnya telah disebutkan hadits yang menerangkan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi akan memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Juga telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan Abu Sufyan ats-Tsauri, dari Abdulkarim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, "Sesungguhnya seorang malaikat ditugaskan menjaga orang yang menuntut ilmu, hingga ia kembali dan dosanya telah diampuni."

Diriwayatkan juga dari Qathr bin Khalifah, dari Abu Thufail, dari Ali r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Seorang hamba yang memakai sandal, khaff dan memakai pakaian untuk pergi mencari ilmu, maka diampuni dosa-dosanya sejak dia melangkah dari pintu rumahnya."

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dan disandarkan kepada Rasulullah saw. Ibnu Adi berkata, "Tidak ada yang meriwayatkannya dari Qathr selain Ismail bin Yahya at-Tamimi." Saya katakan bahwa Ismail bin Yahya telah meriwayatkannya dari Sufyan ats-Tsauri, dari Muhammad bin Ayyub al-Jurjani, dari Mujalid dari asy-Sya'bi, dari al-Aswad, dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang memakai sandal untuk mempelajari kebajikan, maka dia diampuni sebelum melangkah pergi."

Hadits ini  telah diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi dari Qathr bin Abi ath-Thufail, dari Ali r.a.. Walaupun sanad-sanad di atas tidak dapat menjadi hujjah (dasar hukum) secara sendirinya, tetapi menuntut ilmu adalah kebaikan yang paling utama, dan kebaikan menghapuskan dosa-dosa perbuatan buruk. Maka, sangat layak jika menuntut ilmu untuk mencari ridha Allah SWT itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu. Dalam sebuah hadits juga telah disebutkan bahwa melakukan kebajikan setelah melakukan keburukan dapat menghapuskan keburukan tersebut. Maka, tentunya melakukan kebaikan yang paling utama dan ketaatan paling tinggi lebih dapat menghapuskan keburukan tersebut. Maka inilah yang kita pegang, bukan hadits Abu Daud. Wallaahu wa a'lam.

"Dalam sanadnya ada juga Ismail bin Yahya at-Tamimi. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khathab r.a. bahwa ia berkata, "Seorang lelaki yang menipunyai dosa sebesar gunung Tihamah keluar dari rumahnya. Ketika dia mendengarkan ilmu dia merasa takut dan mengingat dosa-dosanya lalu bertaobat. Kemudian dia pulang ke rumahnya tanpa dosa lagi.  Oleh karena itu, janganlah kalian memisahkan diri dari majelis ulama!"

Enam puluh dua. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya. dari Abdullah bin Amru bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. masuk ke masjid dan mendapati ada dua majelis dalam masjid. Satu majelis mempelajari agama tapi yang lain berdoa dan memohon kepada Allah SWT. Rasulullah bersabda, "Masingmasing dari kedua majelis itu adalah baik. Majelis ini berdoa kepada Allah dan majelis yang itu belajar dan mengajar orang bodoh. Maka, majelis yang kedua ini adalah lebih baik karena mengajar dan untuk itulah aku diutus."

Kemudian Rasulullah saw. duduk bersama dengan kelompok yang sedang belajar.

Enam puluh tiga. Sesungguhnya Allah SWT bangga kepada orang-orang yang mengkaji ilmu dan mengingat-Nya serta memuji-Nya terhadap apa yang Allah swt telah karuniakan kepada mereka. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muhammad bin Basyar, dari Marhum bin Abdul-Aziz al-Aththar, dari Abu Na'amah dari Abu Utsman, dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Mu'awiyah keluar ke mesjid lalu bertanya, "Mengapa kalian duduk di sini?"  Kemudian mereka menjawab, "Kami duduk di sini mengingat Allah Azza wa Jalla." Muawiyah berkata lagi, "Demi Allah, benarkah hanya untuk itu kalian duduk di sini?" Mereka pun menjawab, "Demi Allah, tidak ada yang membuat kami duduk di sini kecuali mengingat-Nya." Muawiyah berkata lagi, "Ketahuilah, bukannya saya menyumpahi -kalian karena tidak percaya, tetapi Rasulullah pernah pergi menuju majelis para sahabat beliau seraya berkata, 'Apa yang membuat kalian duduk di sini?' Para sahabat menjawab, 'Kami duduk di sini untuk mengingat Allah SWT dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada kami menuju Islam serta karena Dia mengutus Anda kepada kami.' Lalu Rasulullah saw. bersabda, 'Demi Allah, benarkah hanya untuk itu kalian duduk di sini.' Mereka menjawab, 'Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu.' Mak beliau bersabda, 'Saya menyumpahi kalian bukannya tidak percaya, tetapi Jibril telah mendatangiku dan mengabariku bahwa Allah SWT membanggakan kalian di hadapan para malaikat.'"

Wajarlah apabila orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang semua ini dibanggakan oleh Allah swt. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw. memberitahu seseorang yang suka membaca surah al-Ikhlash dan Beliau berkata, "Saya menyukainya karena ia merupakan sifat Yang Maha Pengasih Azza wa Jalla."  Rasulullah berkata kepada orang itu, "Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada para sahabat agar memberitahukan orang yang suka membaca surah al-Ikhlash tersebut, "Beritahu dia, sesungguhnya Allah mencintainya." Ini menunjukkan bahwa orang yang mencintai sifat-sifat Allah SWT, maka Allah SWT mencintainya dan memasukkannya ke dalam surga.

Enam puluh empat. Posisi kerasulan dan kenabian merupakan kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Sesungguhnya, Allah SWT memilih dari para malaikat dan dari manusia beberapa utusan. Sudah barang tentu mereka menjadi hamba paling mulia di sisi-Nya, karena mereka adalah perantara antara Allah swt dan hamba-hamba-Nya. Mereka menyampaikan risalah, memperkenalkan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum-Nya, keridhaan-Nya, dan pahala serta siksaan kepada hamba-hamba-Nya. Allah SWT mengkhususkan mereka dengan wahyu dan kemurahan-Nya, serta memilih mereka untuk mengemban risalah-Nya kepada hamba-hamba. Juga menjadikan mereka sebagai makhluk yang paling bersih jiwanya, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling indah parasnya, paling diterima oleh manusia. Allah membersihkan mereka dari sifat bodoh, tuli, cacat, dan dari segala sifat yang hina. Allah SWT menjadikan derajat yang paling tinggi sesudah mereka derajat kekhalifahan dan penggantian mereka atas umat. Mereka menggantikan para rasul.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata. '(Yusuf: 108)

Ada dua pendapat tentang makna ayat ini. Pertama, saya dan orang yang mengikutiku berada di atas bukti yang nyata dan saya mengajak kalian kepada Allah. Kedua, saya mengajak kepada Allah dengan bukti nyata. Namun, kedua makna tersebut saling terkait, sebab tidak menjadi pengikut yang hakiki kecuali orang yang menyeru ke jalan Allah dengan argumentasi yang jelas sebagaimana yang dilakukan orang yang diikuti, Muhammad saw.. Mereka itu sungguh-sungguh penerus dan pewaris para nabi bagi manusia. Mereka adalah orang-orang berilmu yang menunaikan, mengajarkan, dan menyampaikan apa yang dibawa Nabi saw. dengan penuh kesabaran. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan para pengikut nabi-nabi yang paling utama. Pemimpin dan imam mereka adalah ash-Shiddiq, Abu Bakar r.a..

Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, ash-shiddiqiin (orang-orang yang keimanannya dijamin selamat), orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman baik yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui." (an-Nisa': 69-70) Jika kita cermati, dalam ayat di atas Allah SWT telah menyebutkan tingkatan-tingkatan orang-orang yang berbahagia. Tingkatan tersebut ada empat, yaitu nabi-nabi, ash-shiddiqiin (orang-orang yang keimanannya dijamin selamat), orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh. Keempat golongan inilah para penghuni surga. Semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk dari golongan ini.

Enam puluh lima. Sesungguhnya manusia berbeda dengan binatang karena keutamaan ilmu dan kemampuan berbicara. Selain karena kedua hal tersebut manusia, tidak ada bedanya dengan binatang. Bahkan, binatang melebihi manusia. Binatang lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak jumlah dan keturunan serta lebih panjang umurnya. Apabila manusia tidak memiliki ilmu, maka yang ada pada dirinya adalah hal-hal yang sama-sama dimiliki oleh binatang, yaitu sifat kebinatangan semata. Jika demikian adanya, maka dia tidak memiliki kelebihan lagi di atas binatang, bahkan bisa jadi lebih buruk lagi.  Allah SWT berfirman tentang golongan ini, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (QS.al-Anfaal: 22)

Dan mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, sebagaimana firman Allah swt dalam QS.al-Anfaal: 23

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ ۖ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ

“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu”.

Artinya, di dalam diri mereka tidak ada tempat untuk menerima kebaikan, karena seandainya dalam diri mereka masih ada tempat untuk menerima kebaikan, pasti Allah SWT akan membuat mereka memahaminya. Maksud mendengar dalam ayat sini adalah mendengar dengan pemahaman. Sebab, mendengar suara semata sudah terjadi pada mereka dan inilah yang akan membuat mereka menerima siksa Allah. Allah SWT berfirman,:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ

“dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan”. (al-Anfaal: 21)

Allah swt pun memberikan sebuah perumpamaan bagi orang yang menyeru orang kafir  layaknya penggembala memanggil binatang gembalaannya, sebagaimana firman-Nya:

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

"Dan perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (al-Baqarah: 171)

Terdapat dua kemungkinan dalam makna ayat terakhir ini. Pertama: perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang dan binatang itu hanya mendengar suara semata. Kedua: perumpamaan orang-orang kafir ketika diseru adalah seperti binatang yang dipanggil, ia tidak mendengar kecuali suara panggilan saja. Kedua pendapat tersebut adalah koheren, bahkan satu, meskipun makna kedua lebih dekat dengan lafal dan lebih tepat dalam maknanya. Berdasarkan hal ini, maka seruan bagi mereka hanya seperti suara panggilan bagi binatang, tanpa ada hasil lainnya yang lebih utama. Maka dalam diri orang-orang tersebut belum terwujud hakikat manusia yang membedakan mereka dari binatang. Dan yang dimaksud dengan pendengaran dalam ayat-ayat di atas adalah mengenali suara dan memahami maknanya, artinya menerima dan memenuhi panggilan itu.

Dalam Al-Qur'an ada tiga ayat yang berhubungan dengan hal ini. Pertama, firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah telah mendengarkan perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (al-Mujadalah: 1)

Ayat ini sangat tegas dalam menetapkan sifat mendengar bagi Allah SWT. Dalam ayat ini disebutkan bentuk madhi (lampau), mudhari' (sekarang dan mendatang) serta isim fa 'il (bentuk kata pelaku) dari kata mendengar, yaitu Aisyah r.a. pernah berkata, "Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi semua suara. Telah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw. dan kala itu saya berada di samping rumah namun sebagian ucapannya tidak dapat saya dengar. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, 'Sesungguhnya Allah telah mendengarkan perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.'

Kedua, mendengar dengan memahami. Allah SWT berfirman, "Kalau Allah mengetahui kebaikan yang ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (al-Anfaal: 23) Artinya, membuat mereka dapat memahami. Dan firman-Nya, "Dan seandainya Allah menjadikan mereka mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari yang mereka dengar itu).''(al-Anfaal: 23)

Faktor penyebabnya karena di dalam hati mereka ada sifat sombong dan keengganan menerima kebenaran. Maka dalam diri mereka ada dua cacat. Pertama; mereka tidak memahami kebenaran karena kebodohannya, kedua; seandainya mereka paham, niscaya mereka enggan menerima kebenaran itu karena kesombongan mereka. Inilah puncak cacat dan kekurangan. Ketiga, mendengar dengan yang menerima dan memenuhi panggilan, seperti dalam firman Allah SWT, "Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka. Dan, tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu. Sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka." (at-Taubah: 47)

Artinya, menerima dan memenuhi ajakan. Di antaranya juga firman Allah SWT, "Amat suka mendengar berita-berita bohong." (al-Maa idah: 41) Mereka menerima dan memenuhinya. Juga seperti ucapan seseorang yang sedang menunaikan shalat, mendengarkan orang yang memuji Allah swt. Artinya, mudah-mudahan Allah menjawab pujian dan doa orang yang memuji dan memohon kepada-Nya. Sabda Nabi saw., "Jika imam berkata, 'Sami'al-Lahu liman hamidah', 'semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya', maka berkatalah, 'Rabbana' wa lakal-hamdu , Wahai Tuhan kami, hanya kepada-Mu kami memuji', niscaya Allah SWT mendengarnya." (HR Bukhari dan Muslim) Maksudnya, niscaya Allah akan menjawabnya. Inti dari poin ini bahwa manusia apabila tidak memiliki ilmu yang memperbaiki kehidupan dunia dan akhiratnya, maka binatang lebih baik daripada dirinya. Karena di akhirat kelak binatang akan selamat dan tidak akan disiksa, tidak seperti manusia-manusia yang bodoh (manusia yang tidak berilmu).

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian kedelapan ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan ini pada postingan artikel berikutnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

BERSAMA KELUARGA TERCINTA DI SURGA DUNIA DAN SURGA AKHIRAT