Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kesepuluh
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kesepuluh
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Pada artikel Bagian Kesembilan mengenai “Pandangan
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan
llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis
uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan
orang-orang yang berilmu dari sudut pandang keenam puluh enam hingga
sudut pandang yang ketujuh puluh lima. Berikut ini akan Penulis
lanjutkan dengan sudut pandang yang ketujuh puluh enam hingga sudut pandang
selanjutnya.
Tujuh puluh enam. Sesuatu yang
memiliki keutamaan dan kemuliaan terlihat dari besarnya manfaat dan adanya
ketergantungan manusia kepadanya. Semua
ini karena sesuatu itu sangat mereka
butuhkan, mereka cintai, dan mereka sukai. Sehingga, dengan mendapatkannya
mereka merasakan kenikmatan yang tiada tara. Terkadang juga sesuatu yang dianggap
mulia karena besarnya hasil yang diperoleh melaluinya. Yakni kemuliaan sebab
dan keberadaannya yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebutuhan yang
sangat berharga.
Begitu
pula halnya dengan kemuliaan ilmu. Ilmu menggabungkan berbagai aspek kemuliaan
dan keutamaan dalam dirinya beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. Manfaat
ilmu itu yang sangat umum, banyak, dan abadi. Kebutuhan kepadanya melampaui
kebutuhan jasad kepada makanan bahkan di atas kebutuhan bernafas. Sebab,
kerugian yang terjadi dengan hilangnya kemampuan bernafas hanyalah hilangnya
kehidupan jasad. Sedangkan, kehilangan ilmu akan berakibat pada hilangnya
kehidupan hati dan ruh, sehingga seorang hamba tidak bisa lepas darinya walau
sekejap. Oleh karena itu, jika seseorang kehilangan ilmu, maka dia lebih buruk
dari binatang. Bahkan, di sisi Allah ia lebih buruk lagi, sehingga tidak ada
lagi yang lebih buruk darinya. Adapun kebahagiaan dengan adanya ilmu disebabkan
keutamaan yang ada padanya dan kecocokan manusia dengannya. Sedangkan,
kebodohan adalah penyakit dan kesengsaraan yang sangat menyakitkan serta
memilukan jiwa. Barangsiapa yang tidak merasakan kesengsaraan dengan tidak
adanya ilmu, maka ia sudah kehilangan perasaan dan jiwanya, karena orang mati
tidak lagi merasakan perihnya luka.
Apabila
seseorang memperoleh ilmu, maka ia telah mendapatkan apa yang sangat ia cintai.
Inilah puncak kebahagiaan dan kenikmatan. Kebahagiaan serta kenikamatan ini
sesuai dengan apa yang diketahui berdasarkan ilmu yang diperoleh tersebut. Sehingga,
dalam hal ini ilmu dan hal-hal yang diketahui dengannya sangat bervariasi
tingkatannya. Pengetahuan jiwa terhadap Sang Pencipta, Sang Pemelihara, dan
Sang Pengasih, serta kecintaan dan kedekatan dengan-Nya tidaklah sama dengan
pengetahuan tentang keadaan, sifat, kelestarian, kerusakan, dan gerak alam.
Tujuh puluh tujuh. Kemuliaan
pengetahuan (ilmu) itu sesuai dengan kemuliaan obyek yang diketahui. Oleh
karena itu, tidak disangsikan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia dan
paling agung adalah pengetahuan tentang Allah SWT, Tuhan semesta alam, Yang
mendirikan langit dan bumi, Yang Maha benar, Yang Maha Memiliki segala sifat
kesempurnaan, Yang Maha Suci dari segala kekurangan, Yang tidak ada sesuatu apa
pun yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Tidak disangsikan bahwa pengetahuan
tentang nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang
paling tinggi nilainya. Jika dibandingkan dengan segala jenis pengetahuan, maka
seperti perbandingan obyek yang diketahui dengan obyek-obyek lainnya.
Sesungguhnya
Ilmu tentang Allah SWT adalah asas dari segala pengetahuan. Sebagaimana
keberadaan segala sesuatu tergantung kepada keberadaan-Nya, Sang Maha Pencipta,
maka semua jenis ilmu mengikuti ilmu tentang-Nya, dan membutuhkan-Nya untuk
merealisasikan keberadaan-Nya. Tidak disangsikan lagi bahwa pengetahuan tentang
sebab awal dan penyebab utama berkonsekuensi pada pengetahuan tentang akibat
dan efeknya. Keberadaan segala sesuatu selain Allah SWT, bergantung kepada-Nya,
sebagaimana keberadaan sebuah benda yang tergantung pada pembuatnya dan obyek
kepada subyeknya. Maka ilmu tentang Zat,' sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah
SWT berimplikasi kepada pengetahuan tentang selain Allah. Barangsiapa tidak
mengenal Tuhannya, maka dia lebih tidak mengetahui segala sesuatu selain Dia.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَكُونُوا
كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (al-Hasyr:
19)
Jika kita
perhatikan dengan seksama ayat tersebut di atas, maka akan kita akan temukan makna yang sangat indah. Barangsiapa yang melupakan Tuhannya, niscaya
Tuhan akan membuat mereka lupa
tentang dirinya sendiri. Sehingga, dia tidak mengenal hakikat diririya dan
kemaslahatannya sendiri. Bahkan, dia lupa apa yang menjadi kebaikan dan
keberuntungannya di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, dia pun menjadi
rusak dan diabaikan seperti binatang. Bahkan, mungkin binatang lebih mengetahui
kemashlahatannya karena mengikuti petunjuk yang diberikan Sang Pencipta
kepadanya. Sedangkan, orang tersebut keluar dari fitrah penciptaannya.
Sehingga, dia lupa akan Tuhannya dan Tuhan pun membuatnya lupa tentang dirinya
dan tentang hal-hal yang membuat dia sempurna serta bahagia di dunia dan
akhirat.
Allah
SWT berfirman,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (al-Kahfi: 28)
Dia
lalai mengingat Tuhannya, sehingga dia pun lupa akan hati dan keadaannya.
Akhirnya, dia sama sekali tidak mempedulikan kemaslahatan, kesempurnaan, dan
hal-hal yang membersihkan jiwa serta hatinya. Bahkan, dia kehilangan hatinya,
kacau balau dan bingung, tanpa mendapatkan petunjuk sama sekali. Kesimpulannya
adalah bahwa pengetahuan tentang Allah SWT adalah asal segala ilmu. la adalah asas
ilmu hamba tentang kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia akhirat.
Tidak adanya pengetahuan tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentang diri
sendiri dan kemaslahatannya, serta apa yang membersihkan dan mendatangkan
kebahagiaan baginya. Karena itu, pengetahuan tentang Allah merupakan pangkal
kebahagiaan hamba, sedangkan ketidaktahuannya tentang Allah merupakan pangkal
penderitaan. Hal ini akan lebih jelas dengan pembahasan berikut ini.
Tujuh
puluh delapan. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling
indah, paling mahal, dan paling nikmat bagi hati seorang hamba serta bagi
kehidupannya daripada kecintaannya kepada Sang Pencipta dan Penjaganya, yaitu
Allah swt. Tiada yang lebih ia sukai selain selalu berzikir mengingat-Nya dan
berusaha menggapai ridha-Nya. Inilah satu kesempurnaan yang tidak ada
kesempurnaan lain bagi seorang hamba. Karena untuk semua itulah wahyu
diturunkan, para rasul diutus, langit-bumi dan surga-neraka diciptakan. Untuk
itu pula hukum-hukum syariat ditetapkan diwajibkan menziarahinya untuk
mengingat-Nya sebagai tanda kecintaan dan keikhlasan kepada-Nya. Demi itu pula
Allah memerintahkan jihad dan menghinakan mereka yang enggan melakukannya serta
lebih mengutamakan sesuatu yang lain, sehingga di akhirat Allah menjadikan
untuknya tempat kehinaan dan dikekalkan di dalamnya. Atas dasar semua itulah
agama ditegakkan dan kiblat didirikan. Semua
itu merupakan dasar penciptaan
dan perintah.
Tidak
ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan ilmu, karena mencintai sesuatu
merupakan cabang dari pengetahuan terhadap sesuatu itu. Dan, hamba Allah yang
paling mengenal-Nya adalah orang yang paling tinggi kecintaannya kepada-Nya.
Setiap orang yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya. Barangsiapa
yang mengetahui dunia dan isinya, maka dia tidak akan tamak terhadapnya. Sesungguhnya,
ilmulah yang membuka pintu tentang semua ini, yang semuanya merupakan rahasia
penciptaan dan perintah dari Sang Pencipta, Allah swt.
Tujuh
puluh sembilan. Tingkat kebahagiaan bersama dengan yang
dicintai tergantung pada kekuatan dan kelemahan cinta itu sendiri. Jik
kecintaan itu besar, maka kebahagiaan pun terasa besar pula. Sebagaimana
kebahagiaan seseorang yang dilanda dahaga tatkala meminum air dingin dan
tergantung rasa letihnya dalam mencari air itu, Begitu pula dengan orang yang
lapar. Jadi perasaan cinta itu sesuai dengan pengetahuannya tentang yang
dicintai dengan segala keindahan lahir-batinnya. Kebahagiaan memandang Allah
SWT setelah bertemu dengan-Nya adalah sesuai dengan kekuatan cinta dan
keinginannya untuk berjumpa dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan pengetahuannya
terhadap Allah serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya (Ma’rifatullah).
Delapan puluh. Sesungguhnya,
setiap sesuatu selain Allah SWT butuh kepada ilmu dan mereka tidak bisa hidup
dengan baik tanpa adanya ilmu. Wujud itu ada dua, yaitu wujud penciptaan dan
wujud perintah. Penciptaan dan perintah sumbernya adalah ilmu dan hikmah Allah.
Segala sesuatu yang terkandung dalam penciptaan dan perintah berasal dari ilmu
dan hikmah-Nya. Langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya tidak akan
berdiri tegak tanpa ilmu, yang halal dan haram tidak diketahui kecuali dengan
ilmu, dan keutamaan Islam di atas yang lain tidak diketahui kecuali dengan
ilmu.
Terkait
dengan hal ini terjadi perbedaan pendapat dari para ulama, mengenai satu
masalah, yaitu apakah pengetahuan itu bersifat aktif atau reaktif? Sebagian
ulama mengatakan bahwa pengetahuan bersifat aktif sebab ia merupakan syarat,
bagian, atau sebab adanya obyek. Karena, perbuatan yang timbul dari keinginan
pelaku membutuhkan kehidupan, pengetahuan, kekuatan, dan kehendaknya. Tidak
bisa dibayangkan keberadaan sang pelaku tersebut tanpa sifat-sifat ini.
Sedangkan, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa pengetahuan itu bersifat
reaktif, sebab ia hanya mengikuti obyek yang diketahui dan berkaitan dengannya.
Hal ini disebabkan pengetahuan seseorang mengenai suatu obyek adalah sesuai
dengan obyek tersebut, dan pengetahuannya itu ada setelah adanya obyek. Jadi
bagaimana pengetahuan dapat mendahului keberadaan obyeknya.
Adapun
pendapat yang benar adalah bahwa ilmu itu terbagi dua. Pertama: pengetahuan (al-tlm) aktif yaitu pengetahuan seorang
pelaku perbuatan, yang melakukannya berdasarkan kehendaknya. Pengetahuan ini
tergantung kepada kehendak seseorang yang berangkat dari persepsinya terhadap
obyek kehendaknya. Jadi pengetahuan ini ada sebelum perbuatan, ia mendahului
dan memperangaruhi perbuatan itu. Sedangkan, yang kedua yaitu pengetahuan yang reaktif adalah pengetahuan yang
mengikuti obyek yang tidak mempunyai pengaruh terhadapnya, seperti pengetahuan
kita tentang adanya para nabi, bangsa-bangsa, raja-raja, dan semua yang ada.
Pengetahuan ini tidak mempunyai pengaruh terhadap obyeknya, tidak pula menjadi
syarat bagi keberadaannya. Jadi kesalahan para ulama yang berbeda pendapat
mengenai sifat pengetahuan ini dikarenakan masing-masing pihak melihat secara
parsial dan menetapkan hukum secara general, ini merupakan kesalahan yang
banyak terjadi. Kedua bagian dari pengetahuan tersebut memiliki sifat
kesempurnaan, dan kehilangan salah satu dari keduanya merupakan kerugian yang
sangat besar.
Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian kesepuluh ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan ini pada postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar