Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kesebelas
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kesebelas
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Pada artikel Bagian Kesepuluh mengenai “Pandangan
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan
llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis
uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan
orang-orang yang berilmu dari sudut pandang ketujuh puluh
enam hingga sudut pandang yang kedelapan puluh . Berikut
ini akan Penulis lanjutkan dengan kajian hanya pada sudut pandang
yang kedelapan puluh satu, mengingat Ibnu Qoyyim al-jauziyyah memberikan
ulasan yang sangat luas pada sudut pandang yang kedelapan puluh satu ini.
Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Delapan
puluh satu. Sesungguhnya adanya keutamaan pada sesuatu
itu akan diketahui dengan adanya lawan dari sesuatu tersebut. Melalui sesuatu
yang berlawanan dengannya kebaikan sesuatu itulah akan tampak. Tidak dipungkiri
lagi bahwa kebodohan merupakan pangkal segala keburukan dan kemalangan yang
menimpa seorang hamba di dunia dan akhirat, karena kemalangan tersebut adalah
buah dari kebodohan. Seseorang yang benar-benar mengetahui bahwa suatu makanan
itu beracun, yang apabila dimakan akan mengakibatkan kematiannya, maka ia tidak
akan memakannya. Dan seandainya dia memakannya karena kelaparan atau ingin
segera menjemput ajal, maka ia melakukannya berdasarkan pengetahuan dan itu
sejalan dengan keinginannya.
Para ulama
berbeda pendapat tentang masalah ini.. Apakah ilmu itu serta merta membuat
seseorang mendapat petunjuk dan seseorang tidak mendapat petunjuk hanya karena
ia tidak mempunyai ilmu? Tidak dapat
dibayangkan seseorang akan tersesat jika ia benar-benar mengetahui kebenaran.
Ataukah, ilmu itu tidak secara otomatis membawa seseorang untuk mendapat
petunjuk.
Tidak sedikit
seseorang yang berilmu, namun tersesat secara sengaja. Permasalahan ini menjadi
perbedaan antara para mutakallimin, tokoh-tokoh sufi, dan lainnya. Kelompok
pertama berpendapat bahwa orang yang benar-benar mengetahui kebenaran dengan
tanpa keraguan, maka mustahil dia tidak mendapatkan petunjuk. Apabila dia
tersesat, berarti pengetahuannya yang masih kurang. Dalil mereka adalah berikut
ini. Firman Allah SWT,
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا
“dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.(an-Nisa':
161)
Sesungguhnya
Allah SWT telah memberikan kesaksian kepada setiap orang berilmu dalam iman
dengan firmannya,:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”. (Fathir: 28)
Dalam
Surat dan ayat yang lain, Allah swt telah berfirman :
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ
الْحَمِيدِ
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli
Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah
yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji” (Saba': 6)
Allah
swt pun berfirman dalam QS.Ali-Imran ayat 18 :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (Ali 'Imran: 18)
Patut
kiranya kita simak pula Firman Allah swt berikut ini :
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang
buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”,(QS.ar-Ra'd:
19)
Berdasarkan
firman Allah swt tersebut di atas, maka Allah SWT membagi manusia ke dalam dua
bagian. Pertama, orang-orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan
Tuhannya adalah benar. Kedua, orang-orang yang buta. Ini
menujukkan bahwa tidak ada jarak di antara keduanya. Allah SWT berfirman
tentang orang-orang kafir,
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا
فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ
لَا يُبْصِرُونَ
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang
yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat”. (QS.al-Baqarah: 17)
Allah
swt pun berfirman dalam QS.al-Baqarah ayat 7 :
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ
سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Allah telah mengunci mati hati.
Pendengaran dan penglihatan mereka ditutup."
(al-Baqarab: 7)
Dalarn
diri mereka ketiga sumber pengetahuan tersebut telah rusak. Allah SWT
berfirman, "Maka, pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, serta Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya lalu meletakkan tutupan atas penglihatannya? Siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat? Maka, mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?" (al- Jaatsiyah: 23)
Firman
Allah, "Dan Allah membiarkan mereka
sesat berdasarkan ilmu ", artinya menurut Abu Sa'id bin Jabir,
"Berdasarkan atas ilmu Allah SWT." Menurut az-Zujaj,
"Berdasarkan ilmu-Nya yang terdahulu yaitu sebelum mereka diciptakan bahwa
mereka akan tersesat." Firman-Nya, "Allah Menutup
pendengarannya", artinya Allah menguncinya sehingga tidak dapat mendengar
petunjuk. Firman-Nya, "Dan (Allah mengunci mati) hatinya", artinya
dia tidak bisa memahami petunjuk. Firman-Nya, "Dan (Allah) meletakkan
penutup atas penglihatannya," artinya dia tidak dapat melihat hal-hal yang
mengatarkannya mendapatkan petunjuk. Tentang hal ini banyak diterangkan dalam
Al-Qur'an, yang semuanya menjelaskan pertentangan antara kesesatan dengan ilmu.
Dan firman-Nya, "Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada
orang yang telah diberi ilmu pengetahuan. Apakah yang dikatakan tadi?' Mereka
itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah." (Muhammad:
16)
Seandainya
mereka mengerti apa yang diucapkan Rasulullah, pasti mereka tidak akan
menanyakan kepada orang-orang yang berilmu apa yang beliau katakan dan hati
mereka pun tidak akan dikunci. Sebagaimana Firman Allah, "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak,
bisu, dan berada dalam keadaan gelap gulita." (al-An'aam: 39) Allah
swt pun berfirman: "Katakanlah,
‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an
dibacakan kepada mereka, maka mereka tersungkur di atas muka mereka sambil
bersujud. Dan mereka berkata/Maha Suci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan
kami pasti dipenuhi.'" (al-lsraa: 107-108)
Hal
ini merupakan kesaksian Allah atas keimanan orang yang berilmu. Dan Allah
berfirman tentang penghuni neraka, "Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (al-Mulk: 10). Ini
menunjukkan bahwa orang-orang yang sesat tidak mempunyai pendengaran dan
pikiran. Allah berfirman,
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ
ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami
buatkan untuk manusia dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang
berilmu." (al-Ankabuut: 43)
Dalam
ayat di atas Allah SWT telah mengingatkan kita bahwa yang memahami
perumpamaan-perumpamaan-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Orang-orang
kafir tidak termasuk ke dalam orang-orang berilmu sebab itu mereka tidak
memahaminya. Allah SWT berfirman, "Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti
hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang
yang telah disesatkan Allah?" (ar-Rum: 29)
Allah
swt pun telah memberikan sebuah pertanyaan retoris, melalui firman-Nya:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا
وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar: 9)
Jika
sekiranya kesesatan bisa menyatu dengan ilmu, maka orang-orang yang tidak
berilmu lebih baik keadaannya daripada orang-orang yang berilmu, Akan tetapi, nash
Al-Qur'an bertentangan dengan hal ini. Di dalam Al-Qur'an banyak sekali
keterangan tentang tidak adanya ilmu dan pengetahuan dalam diri orang-orang
kafir. Terkadang Al-Qur'an menyebut mereka sebagai orang yang tidak berilmu,
orang yang tidak berakal, orang yang tidak memiliki perasaan, orang-orang yang
tidak melihat, orang-orang yang tidak memahami, dan terkadang orang-orang yang
tidak mendengar. Pendengaran yang dimaksud di sini adalah pendengaran dengan
memahami, yaitu pendengaran hati bukan penangkapan suara.
Semuanya
ini menunjukkan bahwa kekafiran adalah akibat dari kebodohan yang bertentangan
dengan ilmu, yang keduanya tidak akan pernah menyatu. Karena itu, Allah SWT
menjuluki orang-orang kafir sebagai orang-orang bodoh, seperti dalam
firman-Nya, "Dan hamba-hamba Tuhan
Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati. Apabila orang-orang jahiI menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata yang baik." (al-Furqaan: 61).
Simak
pula ayat-ayat yang Allah swt firmankan berikut ini :
"Dan apabila mereka mendengarkan
perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka
berkata/Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas
dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahiI.'
(al-Qashash: 55)
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang mak'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh." (al-A'raf: 199)
Tatkala
umat Rasulullah saw. melakukan penganiayaan yang melampaui batas, Beliau pun bersabda,
"Ya Allah, ampunilah kaumku.
Sesungguhnya mereka tidak mengetahui."(HR Bukhari).
Dalam
Shahih Bukhari Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang dikendaki Allah
memperoleh kebaikan, maka Dia akan memahamkan agama kepadanya." (HR
Bukhari dan Muslim). Hal Ini menunjukkan kehendak Allah untuk mengaruniakan
kebaikan kepada hamba-Nya adalah karena ia memahami agama-Nya. Hadits ini tidak
bisa dipahami bahwa seseorang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan
kebaikan, maka dia diberikan pamahaman terhadap agama-Nya. Hadits ini juga
tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang diberikan pemahaman kepada agama-Nya,
maka Allah menginginkan kebaikan baginya.
Dengan
demikian, di antara keduanya terdapat perbedaan. Akan tetapi, dalil-dalil
mereka di atas hanya mendukung penafsiran kedua, yaitu, bahwa setiap orang yang
diberikan pemahaman kepada agama-Nya, maka Allah menginginkan kebaikan baginya,
sedangkan hadits ini tidak menginginkan hal itu. Itulah sebabnya Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah mengatakan bahwa Nabi SAW menjadikan pemahaman terhadap agama
sebagai bukti dan tanda bagi kehendak Allah swt atas seseorang untuk
mendapatkan kebaikan.
Sebuah
bukti akan selalu mengharuskan adanya yang dibuktikan. Jadi, sesuatu yang
dibuktikan merupakan konsekuensi bukti tersebut. Sedangkan, adanya konsekuensi
tanpa adanya sebab adalah mustahil. Dalam Sunan Tirmidzi dan sunan-sunan
lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Ada dua karakteristik yang tidak bertemu dalam diri seorang
munafik, baiknya perilaku dan pemahaman dalam agama." Rasulullah saw.
menjadikan pemahaman agama bertentangan dengan kemunafikan. Bahkan, para ulama
salaf tidak pernah memakai kata fiqh kecuali atas ilmu yang disertai dengan
amal.
Sa'ad
bin Ibrahim pernah ditanya tentang penduduk Madinah yang paling memahami agama,
lalu dia menjawab, "Yang paling
bertakwa di antara mereka." Farqad as-Sanji pernah bertanya kepada
Hasan al-Bashri tentang sesuatu dan Hasan al-Bashri menjawabnya. Kemudian
Farqad as-Sanji berkata, "Akan tetapi, para fuqaha tidak sependapat dengan
Anda." Hasan al-Bashri menjawab, "Ya
Furaiqad, apakah engkau pernah melihat seorang faqih dengan kedua matamu!
Sesungguhnya seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan hanya
menginginkan akhirat. la benar-benar memahami agama dan tekun beribadah kepada
Tuhannya. la tidak iri dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dan tidak
menghina orang yang lebih rendah dari dia. la juga tidak menginginkan imbalan
dari ilmu yang ia ajarkan."
Sebagian
ulama salaf mengatakan, "Seorang
faqih adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa dari rahmat Allah,
tidak membuat orang merasa aman dari cobaan-Nya, dan ia tidak meninggalkan
Al-Qur'an karena tidak suka terhadapnya." Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Cukuplah rasa takut kepada Allah
sebagai ilmu dan melupakan-Nya sebagai sebuah kebodohan." Mereka
mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah serta dalam ucapan para sahabat
dan tabi'in menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan (ma'rifah) mendatangkan
hidayah. Sedangkan tidak adanya hidayah menunjukkan kebodohan dan tidak adanya
ilmu. Ini menunjukkan bahwa selama manusia menggunakan akalnya, maka dia tidak
akan mungkin memilih kesengsaraan daripada kebahagiaan, tidak mungkin memilih
azab yang abadi atas nikmat-Nya yang kekal, dan indera merupakan saksi atas hal
itu. Karena itulah, Allah SWT menyebut perbuatan dosa sebagai suatu kebodohan,
yaitu dalam firman-Nya, "Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaobat dengan segera.
Maka, mereka itulah yang diterima Allah taobatnya dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana." (an-Nisaa : 17)
Sufyan
ats-Tsauri berkata, "Setiap orang yang melakukan dosa adalah orang yang
tidak tahu, baik dia orang bodoh maupun berilmu. Apabila dia berilmu, maka ia
orang yang paling bodoh dari orang yang berilmu. Dan apabila dia bodoh, maka
memang demikian adanya." Firman Allah, "Kemudian
mereka bertaobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tuobatnya
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Sufyan berkata,
"Itu adalah sebelum mati." Ibnu Abbas r.a. berkata, "Dosa seorang mukmin adalah karena
ketidaktahuan terhadap apa yang ia lakukan." Abu Qatadah berkata, "Semua sahabat Rasulullah sepakat bahwa setiap orang yang berbuat
maksiat adalah karena ketidaktahuan." As-Sadi berkata, "Setiap orang yang berdosa kepada Allah
adalah orang yang tidak tahu."
Kelompok
pertama ini mengatakan bahwa salah satu hal yang menunjukkan kebenaran pendapat
mereka bahwa seorang hamba yang berilmu tidak akan berbuat dosa adalah jika
seseorang melihat anak kecil yang memandangnya dari jendela sebuah rumah, maka
ia tidak akan menggerakkan anggota badannya untuk melakukan perbuatan buruk.
Maka, tidak mungkin seseorang akan melakukan kemaksiatan jika pengetahuannya
telah sempurna bahwa Allah menyaksikan, melihat, dan memberikan sanksi, serta
telah mengharamkannya. Apabila dengan pengetahuannya itu dia tetap melakukan
kemaksiatan, maka itu disebabkan kelalaian, dan kelupaannya. Dengan demikian,
kemaksiataannya itu bersumber dari kelalaian, kelupaan dan ketidaktahuan yang
bertentangan dengan pengetahuan (ilmu).
Perbuatan
dosa itu diliputi dua ketidaktahuan, yaitu ketidaktahuan akan sebab-sebab yang
dapat menghindarkannya dari dosa, dan ketidaktahuan tentang akibatnya. Di bawah
kedua ketidaktahuan itu terdapat banyak ketidaktahuan lainnya. Jadi, perbuatan
maksiat itu terjadi karena kebodohan, dan ketaatan dapat terwujud dengan
pengetahuan. Demikian beberapa argumentasi yang dikemukakan kelompok
pertama.
Kelompok
kedua berpendapat bahwa pengetahuan (ilmu) tidak mesti
berimplikasi pada hidayah. Banyak sekali kesesatan yang dilakukan secara
sengaja dan dengan pengetahuan bahwa apa yang ia lakukan adalah kemaksiatan.
Namun demikian, dia tetap memilih kesesatan dan kekafiran, padahal dia tahu
bahwa itu mengakibatkan kesengsaraan dan kebinasaannya. Kelompok ini mengatakan
bahwa iblis -guru kesesatan dan penganjur kekafiran— benar-benar mengetahui
perintah Allah untuk sujud kepada Adam dan dia tidak menyangsikan hal itu sama
sekali. Walaupun demikian, iblis menentang dan melawan perintah itu sehingga
dia mendapatkan laknat dan azab abadi, meskipun dia mengetahui hal itu secara
pasti. Bahkan, iblis bersumpah dengan kebesaran Allah bahwa dia akan
menyesatkan semua makhluk-Nya kecuali hamba-hamba-Nya yang ikhlas.
Iblis
tidak meragukan adanya Allah dan keesaaan-Nya, dia juga tidak meragukan adanya
hari kebangkitan, adanya surga dan neraka. Akan tetapi dia tetap memilih
neraka, memilih untuk menanggung laknat, kemurkaan, dan diusir dari langit dan
dari surga. Ini semua dengan pengetahuannya yang jarang dimiliki banyak orang.
Karena itulah iblis berkata,sebagaimana Allah swt abadikan dalam firman-Nya: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka
tangguhkanlah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan." (al-Hijr:
36)
Ini
adalah pengakuan iblis tentang hari kebangkitan dan kekekalan di dalamnya. Dia
juga sudah mengetahui sumpah Tuhannya bahwa Dia akan memenuhi neraka dengan
iblis dan para pengikutnya. Jadi, kekafirannya adalah kekafiran penentangan
semata, bukan kekafiran karena ketidaktahuannya. Allah SWT berfirman tentang
kaum Tsamud, "Dan adapun kaum
Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta
(kesesatan) dari petunjuk itu." (Fushshilat: 17) Artinya, Allah swt telah
menjelaskan dan memberitahukan kebenaran kepada mereka sehingga mereka
mengetahui dan meyakini kebenaran itu, tetapi mereka lebih memilih kebutaan
(kesesatan). Dengan demikian, kekafiran
mereka bukan karena kebodohan.
Allah
SWT berfirman tentang Musa dalam pembicaraannya dengan Fir'aun, "Musa menjawab/Sesungguhnya kamu telah
mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang
memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku
mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa.'" (al-lsraa':
102)
Dalam
bacaan pertama terbukti kekafiran dan pembangkangan Fir'aun. Allah SWT juga
menyatakan hal itu dalam firman-Nya tentang Fir'aun dan kaumnya, "Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami
yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka, 'Ini adalah sihir yang
nyata.' Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka)
padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah betapa
kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (an-Naml: 13-14)
Sesungguhnya
Allah SWT telah memberitahukan bahwa pendustaan dan kekafiran mereka adalah
dengan adanya keyakinan akan kebenaran Musa a.s.. Keyakinan merupakan
pengetahuan yang paling kuat. Oleh sebab itu, mereka kafir karena kesombongan dan
kezaliman mereka, bukannya karena ketidaktahuan. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati). Karena
mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu
mendustakan ayat-ayat Allah."(al-An'am:33) Artinya, "Sesungguhnya
mereka mengetahui kebenaranmu wahai Muhammad. Mereka mengetahui bahwa apa yang
engkau katakan bukanlah suatu kebohongan. Tetapi, mereka itu mengingkari dan
menentangmu walaupun mereka tahu semua itu." Ini adalah pendapat Ibnu
Abbas r.a. dan para mufassir lainnya.
Abu Qatadah
berkata bahwa maksud ayat di atas adalah, "Mereka
mengetahui bahwa engkau adalah seorang rasul, tetapi mereka
mengingkarinya." Allah SWT berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka
padahal hati mereka meyakini kebenarannya." (an-Naml: 14)
Allah swt pun telah berfirman "Hai
ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui
kebenarannya. Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukan yang hak dengan yang
batil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya."(Ali
Imran: 70-71)
Maksud
dari konteks ayat tersebut di atas , "Kalian mengingkari Al-Qur'an dan
rasul yang membawanya, padahal kalian mengetahui kebenarannya. Maka, kekafiran
kalian adalah karena pengingkaran dan penentangan atas apa yang kalian ketahui,
bukannya karena kebodohan dan ketidaktahuan kalian." Allah SWT berfirman
tentang para tukang sihir dari kalangan Yahudi, "Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya
(kitab Allah) dengan sihir itu, maka tiadalah baginya keuntungan di
akhirat." (al-Baqarah: 102)
Maksudnya,
para tukang sihir itu tahu bahwa orang yang mempelajari dan menerima ilmu sihir
tidak akan mendapatkan keberuntungan di akhirat kelak. Meskipun mereka
mengetahui hal itu, mereka tetap membeli, menerima, dan mempelajarinya. Allah
SWT berfirman, "Orang-orang yang
telah Kami beri Alkitab, mengenal (Muhammad) seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendiri." (al-Baqarah: 46)
Al-Qur'an
menyebutkan pengetahuan mereka tersebut dalam masalah kiblat dan dalam masalah
tauhid, seperti dalam firman-Nya, "Apakah
kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah.' Katakanlah,
'Aku tidak mengakui.' Katakanlah, Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang maha esa
dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa kamu persekutukan.' Orang-orang
yang telah Kami berikan kitab kepadanya mengenalnya (Muhammad) seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri." (al-An'am: 19-20)
Mereka
mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah SWT seperti dalam
firman-Nya, "Dan orang-orang yang
telah Kami berikan kitab mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu
dengan sebenarnya." (al-An'am: 114) "Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka
beriman serta setelah mereka mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar
rasul dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak
menunjuki orang-orang zalim." (Ali Imran: 86)
Ibnu
Abbas r.a. berkata, "Yang dimaksud ayat di atas adalah Bani Quraizhah,
Bani Nadhir, dan orang-orang yang seagama dengan mereka yang tidak beriman
kepada Rasulullah saw. setelah beliau diutus, padahal sebelum beliau diutus
mereka beriman dan mengakui kenabian beliau. Mereka kafir kepada beliau karena
kezaliman dan hasad mereka." Az-Zajjaj berkata,
"Dalam
ayat di atas Allah SWT memberitahukan bahwa tidak ada lagi jalan untuk
memberikan petunjuk kepada mereka, karena mereka memang layak tersesat dengan kekafiran
tersebut disebabkan mereka kafir sesudah mengetahui kebenaran." Maksud
dari firman Allah, "Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang
kafir", bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka karena
mereka telah mengetahui, mengakui, dan meyakini kebenaran itu, tapi mereka
tetap mengingkarinya. Jadi bagaimana lagi hidayah itu dapat datang kepada
mereka?
Orang
yang bisa diharapkan mendapat hidayah adalah orang tersesat yang tidak
mengetahui bahwa ia tersesat, dan ia mengira bahwa ia mendapat petunjuk.
Apabila ia mengetahui petunjuk, tentu ia akan mengikutinya. Sedangkan orang
yang mengetahui, meyakini, dan mengakui kebenaran dengan hatinya, lalu mereka
memilih kekafiran dan kesesatan, maka bagaimana Allah akan memberi petunjuk
kepadanya? Allah SWT berfirman tentang orang Yahudi, "Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka, laknat Allahlah atas orang-orang
yang ingkar itu." (al-Baqarah: 89)
Kemudian
Allah berfirman, "Alangkah buruknya
(perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa
yang telah diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya
kepada siapa yang dikehendakinya dari hambahamba-Nya." (al-Baqarah:
90)
Ibnu
Abbas r.a. berkata, "Kekafiran mereka bukan karena ragu dan bimbang,
tetapi karena kedengkian mereka lantaran kenabian berada di tangan putra
Ismail." Kemudian Allah SWT berfirman, "Dan setelah datang kepada
mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang pada
mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab
Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu
adalah kitab Allah)." (al-Baqarah: 101) Dalam ayat di atas Allah
menyerupakan perbuatan mereka seperti perbuatan orang yang tidak tahu. Jadi ini
menunjukkan bahwa mereka membuang Kitab itu karena mengetahui kebenarannya.
Seperti jika Anda mengatakan kepada orang yang dengan sengaja tidak mengikuti
instruksi Anda, "Seakan-akan engkau tidak mengetahui apa yang engkau
lakukan!", atau "Engkau seakan-akan tidak mengetahui larangan
saya." Dan firman Allah, "jika
mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu
(Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Mereka mengetahui
nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang kafir." (an-Nahl: 82-83)
As-Sadi
berkata bahwa kata ganti dalam lafal 'alaika adalah Nabi Muhammad saw.,
dan az-Zujjaj memilih pendapat ini. Allah SWT berfirman, "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al- Kitab), kemudian
dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai
dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu.
Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing." (al-A'raaf: 175-176)
Dalam
ayat ini Allah SWT memberitahukan bahwa Dia telah memberikan ayat-ayatnya
kepada orang tersebut, lalu dia meniggalkan ayat itu dan lebih memilih
kesesatan serta kekafiran. Kisah di dalam ayat ini cukup terkenal,
sampai-sampai dikatakan bahwa orang tersebut diberikan pengetahuan tentang
Nama-Nya yang paling agung. Meskipun demikian, pengetahuannya itu tidak
bermanfaat baginya, dan dia itu adalah orang yang sesat. Seandainya ilmu dan
pengetahuan selalu disertai dengan hidayah, tentu orang tersebut akan pendapatkan
petunjuk.
Demikianlah
uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada
Bagian kesebelas ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan ini pada
postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar