Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Keempat Belas

 

Mulia dengan Berilmu

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Keempat Belas

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Ketiga belas mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu hanya pada sudut pandang yang kedelapan puluh lima hingga sudut pandang kedelapan puluh delapan. Berikutnya akan Penulis lanjutkan kembali dengan kajian pada sudut pandang yang kedelapan puluh sembilan dan sudut pandang kesembilanan puluh, Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Delapan puluh sembilan. Sesungguhnya kelalaian adalah penyebab paling besar mengapa seorang hamba dijauhkan oleh Allah swt dari kebaikan dunia dan akhirat serta kenikmatan dalam dua tempat tersebut. Sunguh Kelalaian adalah musuh dari ilmu. Kemalasan adalah lawan dari kehendak dan tekad. Ini merupakan pangkal bencana dan terlemparnya hamba dari kedudukan orang-orang yang bahagia. Hal itu karena kekosongan ilmu.

Sesungguhnya Allah SWT telah mencela orang-orang yang lalai. Allah swt pun melarang untuk menjadi seperti mereka. Allah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (al-A'raaf: 205).

Allah swt pun berfirman dalam QS.al-Kahf ayat 28:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا

"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami." (al-Kahf: 28)

Perhatikanlah juga firman Allah swt berikut ini:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat) Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (al-A'raaf: 179)

Dan Nabi saw. telah bersabda dalam wasiatnya kepada istri-istri orang-orang mukmin, "Janganlah kalian lalai sehingga kamu melupakan kasih sayang (ar-rahmah)." (HR Tirmidzi)

Beberapa ulama ketika ditanya tentang kecenderungan dengan khayalan. Mereka menjawab bahwa itu adalah hati yang lalai mengingat Allah sehingga Allah menimpahkan bala padanya dengan menyembah selain Allah. Hati yang lupa merupakan tempat menetapnya setan. ltu adalah bisikan yang ditiupkan yang sungguh telah menutupi hati orang yang lalai. la membacakan kepadanya berbagai jenis bisikan dan khayalan batil. Jika dia mengingat dan berzikir kepada Allah, maka hatinya jadi beku, berkerut, dan lemah untuk mengingat Allah. Jadi dia selalu berada di antara bisikan kotor dan perkataan keji.

Urwah bin Ruwaim berkata, "Sesungguhnya Nabi Isa a.s. pernah meminta Tuhannya supaya memperlihatkan posisi setan dalam diri anak Adam. Lalu ditampakkanlah kepadanya setan itu. Kepalanya seperti kepala ular yang terletak di atas lubuk hati. Jika seorang hamba mengingat Tuhannya, maka ia akan tertahan, dan jika hamba itu tidak lagi mengingat Tuhannya, maka ia akan meletakkan kepalanya di atas hatinya, lalu membisikkan dan menyampaikan kepadanya godaan."

Dan telah diriwayatkan hadits dari Rasulullah yang semakna dengan riwayat tersebut. Setan ini senantiasa memantau kelalaian hamba dan menabur benih angan-angan, syahwat serta khayalan batil dalam hatinya. Itulah yang akan menghasilkan buah pahit, berduri, dan segala bala. Ia terus memberinya minuman sampai hati tertutup dan buta. Sedangkan, sikap malas akan melahirkan kesia-siaan, ketakpedulian, dan kerugian serta penyesalan yang sangat. Ia juga bertentangan dengan kemauan keras dan tekad yang merupakan buah ilmu.

Sesungguhnya apabila orang tahu bahwa kesempurnaan dan kenikmatan serta kebahagiaan ada di dalam perjuangan dan tekadnya untuk mencari sesuatu, maka setiap orang pasti akan berusaha menyempurnakan diri dan kenikmatannya tersebut. Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan sebagian besar dari mereka salah jalan karena tidak tahu apa yang seharusnya dia cari. Jadi, keinginan haruslah didahului oleh ilmu dan persepsi. Kelemahan kehendak seringkali disebabkan oleh tidak adanya ilmu dan pengetahuan. Kalau bukan karena itu, bagaimana mungkin dengan ilmu yang sempurna bahwa kebahagiaan seorang hamba, keselamatan, dan kesuksesannya berada pada perjuangan ini, lalu dia malas untuk bangkit mendapatkannya? Karena itulah, Nabi saw. meminta perlindungan dari kemalasan.

Dalam hadits Shahih, Rasulullah SAW  bersabda dan memanjatkan doa:


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

 "Wahai Tuhan, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kecemasan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, pengecutan, kebakhilan, beban utang dan dominasi orang-orang." (HR Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut di atas, Rasulullah minta perlindungan dari delapan hal dimana setiap dua hal itu saling berpasangan. Kecemasan berpasangan dengan kesedihan, kelemahan berpasangan dengan kemalasan, dan begitu seterusnya. Adapun perbedaan antara kecemasan dan ketakutan adalah bahwa sesuatu yang dibenci yang muncul di dalam hati adakalanya terhadap sesuatu yang telah lampau dan adakalanya terhadap sesuatu yang akan datang. Yang pertama adalah kesedihan dan yang kedua adalah kecemasan. Kesedihan adalah terhadap sesuatu yang sudah terjadi, dan kecemasan adalah terhadap sesuatu yang akan terjadi. Kelemahan dan kemalasan adalah saling berpasangan. Tidak tercapainya kebahagiaan, kenikmatan, dan segala kemaslahatan hamba adalah akibat dari dua hal ini. Ada kalanya hal ini bersumber dari ketidakmampuan yang berarti kelemahan. Dan adakalanya ia mampu tapi tidak bisa mencapai berbagai kebahagiaan dan kenikmatan itu karena malas.

Orang yang malas lebih dicela daripada orang yang lemah. Kadang, kelemahan itu lahir sebagai buah dari kemalasan dan itu juga harus dicela. Sering sekali seseorang malas melakukan sesuatu yang mampu ia kerjakan. Sehingga, keinginannya melemah yang mengakibatkan seseorang itu tak mampu dan lemah melakukannya. Inilah kelemahan yang dicela Nabi dalam sabda beliau:

 إِنَّ اللَّهَ يَلُومُ عَلَى الْعَجْزِ 

"Sesungguhnya Allah mencela kelemahan."(HR Abu Daud)

Adapun kelemahan yang tidak diakibatkan sikap malas tidak dicela. Sebagian ulama berwasiat, "Jauhilah kemalasan dan kejemuan." Sesungguhnya kemalasan tidak akan mengangkat kepada kehormatan. Adapun kejenuhan, apabila bisa mengangkat ke sana, maka dia tidak bisa bersabar. Kejenuhan terlahir dari sikap malas dan kelemahan. Ia tidak disatukan dalam satu lafal dalam hadits di atas. Kemudian Rasulullah menyebutkan sifat pengecut dan kebakhilan.

Sesungguhnya perbuatan baik seorang hamba adakalanya berasal dari harta atau badannya. Orang bakhil menahan dari memanfaatkan hartanya dan orang pengecut menahan dari memanfaatkan badannya. Sikap bakhil pasti melahirkan kepengecutan dan tidak sebaliknya. Karena orang yang bakhil atas hartanya akan jauh lebih bakhil terhadap pengorbanan dirinya. Adapun keberanian akan melahirkan kedemawanan dan tidak sebaliknya. Karena orang yang sudah berani mengorbankan dirinya pasti akan lebih berani mengorbankan hartanya. Ada yang mengatakan bahwa tak selamanya orang yang berani mengorbankan diri, berani pula mengorbankan hartanya. Karena keberanian, kemuliaan dan lawan katanya, merupakan watak dan naluri. Sifat-sifat seperti ini kadang terkumpul dalam diri seseorang dan kadang hanya ada sebagian saja. Orang-orang sering menyaksikan betapa para pemberani, pahlawan, dan perkasa itu adalah orang yang paling bakhil. Kenyataan seperti ini sering didapati pada orang-orang Turki yang lebih berani dari singa, tapi lebih bakhil dari anjing.

Seseorang bisa saja merelakan diri/ jiwanya tapi bakhil dengan hartanya. Karena itulah, orang seperti ini rela berperang mempertahankan hartanya. Dengan demikian, dia mulai mengorbankan jiwanya atas yang lain. Di antara manusia ada yang mau menyerahkan diri dan hartanya. Ada juga yang kikir terhadap jiwanya dan rela menyerahkan hartanya. Ada juga yang merelakan hartanya, bukan jiwanya. Ada juga orang yang bakhil atas keduanya dan juga sebaliknya. Keempat bagian itu ada dalam diri umat manusia. Kemudian Rasulullah menyebutkan beban utang dan tekanan orang-orang. Sesungguhnya paksaan yang menghadang manusia ada dua. Pertama, pemaksaan yang benar, yaitu beban utang. Kedua, pemaksaan yang batil, yaitu pemaksaan dari sesama manusia.

Maksud dari hadits di atas, kelalaian dan kemalasan sebabnya adalah karena tidak berilmu. Jadi semua kekurangan kembali kepada ketiadaan ilmu dan tekad. Sedangkan, kesempurnaan adalah karena ilmu dan tekad. Manusia dalam hal ini terbagi kepada empat bentuk.

Golongan Pertama, orang yang diberikan ilmu dan diberikan pertolongan memperoleh ilmu dengan kekuatan tekad untuk mengamalkannya. Jenis manusia ini adalah makhluk terbaik yang disifatkan dalam Al-Qur'an dengan firman Allah swt:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya"Orang-orang beriman dan melakukan amal saleh." (al-Baqarah: 25)

Perhatikan pula firman Allah swt berikut ini:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya´qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi” (Shaad: 45)

Berikut ini firman Allah swt yang mengandung kalimat majasi (Amsal/ Perumpamaan dan kalimat Retoris) yang sangat indah :

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?" (al-An'aam: 122)

Sesungguhnya dengan kehidupan, tekad diperoleh; dan dengan cahaya, ilmu diperoleh. Pimpinan golongan ini adalah. para Rasul ulum 'azmi.

Golongan Kedua, golongan orang yang dijauhkan dari ilmu dan amal. Mereka inilah yang disifatkan dalam firman Allah:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

 "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli, yang tidak mengerti apa pun." (al-Anfaal: 22)

Allah swt pun menegaskan kembali dengan firman-Nya:

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (al-Furqaan: 44)

Perhatikanlah pula firman Allah swt berikut ini:

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَىٰ وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ

"Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakangimu.." (an-Naml: 80)

Allah swt pun menegaskan :

وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

" dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar (Faathir: 22)

Sesungguhnya golongan ini merupakan seburuk-buruk makhluk yang hanya membuat gaduh di dunia. Orang-orang ini menganggap dirinya tahu dan berilmu. Akan tetapi, pengetahuannya itu sebatas apa yang tampak di dunia, sedangkan tentang akhirat mereka lalai. Mereka memiliki pengetahuan, tapi pengetahuan tentang hal-hal yang mencelakakan, dan bukan hal-hal yang bermanfaat. Mereka juga bisa berucap. Tapi, ucapan mereka hanya berkisar pada hawa nafsu. Mereka juga berbicara. Tapi, berbicara dengan kebodohannya. Mereka beriman, tapi kepada selain Allah. Mereka menyembah, tapi pada selain Allah yang tidak membahayakan dan memberi manfaat kepada mereka. Mereka berdebat tapi tentang kebatilan untuk mengalahkan kebenaran. Mereka berpikir dan berbuat, tapi mereka berbuat apa yang tidak diridhai Allah. Mereka berdoa, tapi kepada selain Allah. Mereka berzikir, tapi apabila mereka diingatkan, mereka tidak mengingat. Mereka shalat, tapi mereka adalah orang-orang yang lalai ketika menjalankannya. Mereka menetapkan hukum, tapi hukum jahiliah yang mereka tetapkan. Mereka menulis Alkitab, tapi mereka menulisnya sendiri. Lalu mengatakan bahwa ini dari sisi Allah untuk menjualnya dengan harga murah. Kecelakaan atas apa yang mereka tulis dan atas apa yang mereka usahakan. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang yang suka memperbaiki, tapi sebenarnya mereka adalah perusak, namun mereka tidak menyadari hal itu.

Golongan ini adalah manusia dalam wujudnya, tapi pada hakekatnya mereka adalah setan. Apabila Anda berpikir, mereka hanyalah keledai, anjing, dan singa. Benar apa yang dikatakan al-Buhturi, "Tidak tersisa sesuatu keraguan sedikit pun dari seluruh manusia ini Kecuali hanya bentuknya saja." Yang lain mengatakan, "Janganlah janggut dan bentuk menipumu sebab sembilan per sepuluh dari yang anda lihat adalah sapi mereka seperti pohon sidr memiliki penampilan (menarik), tapi tidak ada buah." Yang lebih baik dari semua perumpamaan ini adalah firman Allah,

 وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

" Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (al-Munaafiquun: 4)

Maknanya, bahwa mereka itu seperti layaknya orang berilmu. Sebagaimana dikatakan, "Para pembawa lembaran kertas di lehernya yang tidak memiliki ilmu, kecuali ilmu seperti ilmu unta; Demi Allah, unta itu tidak tahu apabila ia berangkat, dengan kakinya atau apabila ia pulang apa yang ada di dalam kotak." Yang lebih baik, tepat, singkat, dan jelas dari hal ini adalah firman Allah,

 مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Alangkah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayatayat Allah itu. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (al-Jumu'ah: 5)

Golongan ketiga, merupakan golongan orang yang dibukakan pintu ilmu kepadanya, tapi pintu tekad dan amalnya ditutup. Golongan ini pada derajat jahil atau yang lebih buruk dari itu. Dalam hadits marfu', Nabi saw. bersabda, "Orang yang paling pedih azabnya di hari kiamat adalah orang berilmu yang tidak diberikan Allah manfaat dari ilmunya itu."(HR Tabrani)

Hadits tersebut disahkan Abu Na'im dan selainnya. Orang seperti ini kebodohannya lebih baik dan lebih ringan azabnya daripada ilmunya; karena ilmu hanya akan menambahkan bala dan azab. Bagi golongan ini, tidak ada harapan lagi untuk memperbaikinya. Karena, orang yang tersesat jalan masih dapat diharapkan untuk kembali kepada jalan itu jika dia melihatnya. Tapi, apabila dia sudah mengetahuinya lalu melenceng secara sengaja, maka bagaimana hidayah itu dapat diharapkan? Allah berfirman,

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benarbenar Rasul, dan keterangan-keterangan telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim." (Ali 'Imran: 86)

Golongan keempat, adalah golongan orang yang diberikan tekad dan kehendak, tapi hanya berilmu pengetahuan sedikit. Jika dia diberikan karunia mengikuti seseorang yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu adalah termasuk orang-orang yang Allah firmankan,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقً ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersamasama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat Allah, yaitu Nabi-Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui." (an-Nisaa : 69-70)

Sembilan puluh. Sesungguhnya semua sifat yang dipuji oleh Allah pada hambanya dalam Al-Qur'an merupakan buah ilmu dan hasilnya. Dan, segala sifat yang dibenci adalah buah dan hasil kebodohan. Pujian-Nya terhadap keimanan merupakan puncak dan inti ilmu. Pujian terhadap amal saleh merupakan hasil dari ilmu yang bermanfaat. Pujian terhadap kesyukuran, kesabaran, bersegera melakukan kebaikan, mencintai dan takut kepada Allah, taubat, kedermawanan, wibawa, hati, akal, memelihara diri, kemuliaan dan mengutamakan orang lain daripada dirinya. Selain itu, pujian terhadap memberikan nasihat kepada hamba-hamba-Nya, kasih sayang, membalas keburukan dengan kebaikan, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, bersabar di tempat-tempat kesabaran, rela dengan ketetapan, bersikap lemah lembut kepada para wali Allah dan bersikap keras kepada musuh-musuh-Nya, sungguh-sungguh dalam berjanji, menepati janji, menghindari orang-orang bodoh, dan menerima orang-orang yang memberi nasehat.

ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ

مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ

وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

 "Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benarbenar pahala yang besar yang tidak ada putus-putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (al-Qalam: 1-4)

Sesungguhnya Aisyah r.a. berkata, saat ditanyakan kepadanya tentang akhlak Rasulullah saw., "Akhlaknya adalah AI-Qur'an."(HR Muslim dan Ahmad)

Orang yang bertanya merasa cukup sampai di situ dan berkata, "Saya sudah mengerti apa yang mesti saya perbuat dan saya tidak akan bertanya lagi tentang sesuatu setelah itu." Jadi Akhlak ini dan semisalnya merupakan buah dari pohon ilmu. Sedangkan, pohon kebodohan adalah pohon yang menghasilkan segala buah buruk berupa kekafiran, kerusakan, kemusyrikan, kezaliman, penganiayaan, permusuhan, suka mengganggu, keresahan, kekerasan, ketidaksabaran, kekejaman, keburukan, kekikiran, dan kebakhilan.

Oleh kena itu, bakhil didefinisikan sebagai kebodohan yang disertai dengan prasangka buruk. Dan di antara buahnya adalah penipuan makhluk, menyombongkan diri kepada mereka, membanggakan diri, congkak, riya', suka didengar, munafik, dusta, menyalahi janji, kasar kepada manusia, balas dendam, menukar kebaikan dengan keburukan, memerintahkan kepada kemungkaran dan melarang kebaikan dan menolak menerima orang-orang yang memberi nasehat. Juga mencintai dan mengharapkan selain Allah, bertawakkal dan mengutamakan ridha sesuatu atas ridha Allah, bermalas-malasan menunaikan hak Allah, dan giat menuntut hak dirinya dan marah jika ada yang mengganggu dirinya. Jika hak dirinya dibinasakan, maka kemarahannya tidak akan reda kecuali setelah membalas secara lebih. Dan jika aturan-aturan Allah diganggu, maka tidak akan tergerak hatinya untuk marah karena Allah. Karena itu, tidak ada kekuatan dalam / hidupnya dan tidak ada mata hati dalam agamanya.

Di antara buahnya adalah kembali kepada jalan setan, kepada menempuh jalan-jalan kezaliman, mengikuti hawa nafsu, mengutamakan syahwat daripada ketaatan, berbicara ini dan itu, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta. Juga mengubur hidup-hidup anak perempuan, durhaka kepada ibu, memutuskan tali silaturahmi, menyakiti tetangga, serta menempuh jalan kehinaan dan ketercelaan.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan secara global, bahwa kebaikan seluruhnya adalah buah yang dipetik dari pohon ilmu; dan keburukan seluruhnya adalah duri yang dituai dari pohon kebodohan. Apabila bentuk ilmu itu tampak oleh pandangan mata, maka kebaikannya semakin bertambah seperti bentuk matahari dan bulan. Dan apabila muncul bentuk kebodohan, maka penampilannya akan menjadi seburuk-buruk bentuk. Bahkan, segala kebaikan di alam ini adalah pengaruh dan akibat dari ilmu yang dibawa para rasul dan yang diakibatkannya. Demikian pula segala kebaikan di dunia ini hingga hari kiamat dan sesudah hari kiamat.

Segala keburukan yang terjadi di alam ini dan yang akan terjadi pada dan sesudah kiamat sebabnya adalah penyelewengan dari ilmu serta amal yang dibawa para rasul. Karena akal adalah orang tua, pengasuh, pengatur, dan menteri ilmu, maka posisi akal sangat tinggi, terhormat, dan mulia. Karena ilmu bersumber dari akal yang memakmurkan dunia dan akhirat, yang mengantar pada ketaatan kepada Rasul; yang menyerahkan hati, anggota tubuh, dan dirinya kepada mereka; yang tunduk kepada hukum Allah dan mengasingkan dirinya; menyerahkan urusan kepada ahlinya.

Jika kita tela’ah di berbagai tempat dalam Al-Quran, sesungguhnya Allah swt telah memuji akal dan pemiliknya. Begitu juga sebaliknya, Allah swt mencela orang yang tidak memiliki akal. Allah mengabarkan bahwa orang yang tidak berakal adalah penghuni neraka. Orang-orang ini tidak mendengar dan tidak berakal. Haruslah disadari bahwa Akal adalah alat dan barometer setiap ilmu di mana antara yang benar dan yang salah, antara yang kuat dan yang lemah dapat dibedakan. Akal adalah timbangan untuk mengetahui baik-buruk. Dikatakan bahwa akal adalah raja, sedang badan, ruh, indera, dan gerakannya, semuanya adalah rakyat bagi akal. Jika akal tidak mampu melaksanakan dan menepati janjinya, maka kerusakan akan menimpa semuanya. Kerena itu dikatakan, barangsiapa yang akalnya tidak dikuasai sifat baik, maka nasibnya akan lebih banyak melakukan keburukan.

Telah diriwayatkan bahwa tatkala Adam turun dari surga, Jibril mendatanginya. Lalu ia berkata, "Sesungguhnya Allah menghadirkan kepadamu akal, agama, dan rasa malu supaya kamu memilih salah satu di antaranya." Dia menjawab, "Saya mengambil akal." Lalu agama dan rasa malu berkata, "Kami diperintahkan untuk tidak meninggalkan akal di mana saja dan akal itu condong kepadanya."

Sesungguhnya Akal terbagi menjadi dua, salah satunya adalah insting (gharizah). Ia merupakan bapak ilmu, pendidik, dan produsernya. Yang kedua adalah akal serapan (muktasab). Ini merupakan anak ilmu, buah, dan hasilnya. Jika keduanya bertemu dalam diri seorang hamba, maka itu merupakan karunia yang diberikan kepada orang yang dikehendakiNya. Urusan orang itu akan berjalan mulus dan tentara-tentara kebahagiaan akan datang dari segala penjuru. Tapi jika salah satu akal itu hilang, maka hewan ternak lebih baik keadaannya. Jika dia hanya memiliki salah satu akal tersebut, maka orang itu berkurang kualitasnya. Di antara manusia, ada yang lebih kuat akal gharizi-nya dan ada juga yang lebih kuat akal perolehannya.

Sebagai penjelasan, sesungguhnya orang yang memiliki akal  gharizah (pembawaan atau fitrah) tapi tidak memiliki ilmu dan pengalaman, maka kekurangannya adalah penahanan diri dan tidak tahu menggunakan kesempatan. Karena akalnya tidak memikirkan tentang penggunaan kesempatan karena dia tidak tahu tentang hal itu. Sedangkan, orang yang memiliki akal serapan diberi kemajuan karena ia mengetahui kesempatan itu. Hal semacam ini akan mengantarnya untuk berbuat, sementara akal gharizi-nya tidak sanggup menolak itu. Maka, dia diberikan kemajuan berbuat, sedangkan yang pertama diberikan kecenderungan menahan perbuatan. Jika akal gharizi ini diberikan akal imani yang diperoleh dari cahaya kenabian, bukan akal konsumtif yang munafiq (ma'isyiyyan nafaqiyyan), maka pemiliknya menyangka bahwa mereka memiliki sesuatu.

Ketahuilah bahwa mereka berdusta. Mereka memandang bahwa berakal adalah agar bisa menyenangkan orang-orang dengan berbagai tingkatan mereka, berdamai dengan mereka, mengambil simpati dan kecintaan mereka. Ini adalah jalan orang yang lebih memilih santai dan oportunis. Orang seperti ini, meskipun selamat dalam jangka pendek, tapi binasa pada masa yang akan datang. Sesungguhnya orang yang tidak mencintai karena Allah dan tidak memusuhi karena Allah, maka mereka tak akan merasakan nikmatnya iman.

Akal yang paling baik adalah akal yang mengantarkan pemiliknya pada ridha Allah dan Rasul-Nya. Hanya Allah yang memberikan karunia dan memberikan pertolongan. Dalam hadits marfu' yang diriwayatkan Abdul-Barr dan selainnya, Allah mewahyukan kepada salah seorang Nabi dari Nabi-Nabi Bani Israil, "Katakanlah kepada si Fulan yang tukang ibadah ('abid) itu (dengan ucapan Allah). Dengan zuhudmu di dunia, engkau telah mempercepat waktu istirahat. Sedangkan dengan konsentrasimu kepada-Ku, engkau memperoleh ketinggian. Maka, sebenarnya kamu belum mengerjakan sesuatu untuk-Ku yang menjadi kewajibanmu?" Lalu orang itu bertanya, "Apa yang harus aku kerjakan untuk-Mu? Allah berfirman, "Apakah kamu telah menolong kekasih-Ku karena Aku atau memusuhi musuh-Ku karena Aku”

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian keempat belas ini. Penulis hanya membahas dua Sudut Pandang dari Imam Ibnu Qoyyim al-Jaujiyyah agar Para Pembaca dapat mengikutinya dengan seksama. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kelima belas nanti yang akan dimulai dari sudut pandang kesembilan puluh satu hingga selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya. Agar terhindar dari kejenuhan maka kemungkinan besar Penulis akan menjeda postingan pada artikel berikutnya tentang materi lainnya tetapi akan tetap bermaslahat untuk para Pembaca blog www.keluargasamara.com. Wallahua’lam bisshowab…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA