Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kelima Belas
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kelima Belas
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Pada
artikel Bagian Keempat belas mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan
dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang
yang berilmu hanya pada sudut pandang yang kedelapan puluh sembilan hingga
sudut pandang kesembilan puluh. Berikutnya akan Penulis lanjutkan kembali
dengan kajian pada sudut pandang yang kesembilan puluh satu sampai sudut
pandang keseratus sepuluh, Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Sembilan
puluh satu. Sesungguhnya Ibnu Umar telah meriwayatkan
bahwa Nabi saw. pernah bersabda, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu
Nu'aim dalam Hilyat al-Awliyaa' lewat jalur Humaid al-A'raj dari Abdullah bin
al-Harits dari Ibnu Mas'ud. Dan Ibnu Adi telah berkata bahwa hadits -hadits dari
Humaid bin al-A'raj dari Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Mas'ud tidak benar
dan tidak ada yang mendukungnya dalam al-Kamil fidh-Dhu'afaa1 "Jika kalian lewat di taman surga, maka
berkelilinglah di sekitarnya." Mereka bertanya, "Apa itu taman surga
ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Halaqah zikir. Sesungguhnya Allah mempunyai
rombongan-rombongan malaikat yang mencari halaqah (majelis) zikir, mereka akan
datang kepada mereka dan masuk ke dalam barisan bersama mereka."
Salah
seorang Ulama Mekkah, Atha' bin Abi Rabah berpendapat bahwa yang dimaksud di
sini adalah majelis yang membahas hukum-hukum
Allah. Yaitu hukum halal-haram, cara membeli dan menjual, cara puasa, shalat,
bersedekah, menikah, mentalak dan berhakim sebagaimana yang disebutkan al-Khathib
dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih.
Sembilan
puluh dua. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh al-Khathib
juga dari Ibnu Umar secara marfu', Beliau berkata"Majelis ilmu lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun."
Sembilan
puluh tiga. Seperti halnya yang telah diriwayatkan oleh al-Baghdadi
dari Abdurrahman bin Auf secara marfu', "Fikh
(memahami agama) lebih baik daripada ibadah yang banyak." Status
marfu' hadits ini tidak dapat dibuktikan.
Sembilan
puluh empat. Sebagaimana yang diriwayatkan al-Baghdadi
dari Anas secara marfu', " ‘Seorang
faqih (orang yang memahami ilmu agama) lebih berat bagi setan untuk menggodanya
daripada ‘abid (ahli ibadah) yang tidak paham ilmu ibadah”. Hadits ini juga
diriwayatkan at-Tirmidzi dari Ruh bin Janah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas
secara marfu' dan dalam ketetapan keduanya sebagai hadits marfu' dipertanyakan.
Yang tampak adalah, ini berasal dari ucapan para sahabat dan orang sesudah
mereka.
Sembilan
puluh lima. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar juga
secara marfu', "Sebaik-baik ibadah
adalah pemahaman agama (fiqh)." (HR Tabrani)
Sembilan
puluh enam. Seperti yang diriwayatkan oleh Nafi' dari Ibnu
Umar secara marfu', "Allah tidak
disembah dengan suatu (perbuatan) yang lebih baik daripada pemahaman
agama."(HR Baihaqi)
Sembilan
puluh tujuh. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ali bahwa
dia berkata, "Orang yang berilmu
jauh lebih besar pahalanya daripada orang yang berpuasa, orang yang shalat
malam, dan orang yang berperang di jalan Allah”.
Sembilan
puluh delapan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Mukhlish
dari Shaid yang diceritakan oleh al-Qasim bin Atha bin Abu Maimunah dari Abu
Hurairah dan Abu Dzar bahwa keduanya berkata, "Satu bab ilmu yang kami pelajari lebih baik daripada seribu
rakaat shalat sunah. Satu bab dari ilmu yang kami ajarkan, lalu diamalkan atau
tidak lebih baik daripada seratus rakaat shalat sunah." Dan dia
berkata, "Kami mendengarkan
Rasulullah bersabda, "Jika kematian mendatangi orang yang menuntut ilmu
dan dia dalam keadaan ini, maka dia mati syahid." (HR Abdul Barr)
Diriwayatkan Ibnu Abu Daud dari Syadzdzan dari Hujjaj Bih. Hadits pendukungnya
adalah apa yang telah lalu dari hadits at-Tirmidzi dari Anas secara marfu',
yaitu, "Barangsiapa yang keluar
menuntut ilmu, maka dia berada dijalan Allah hingga dia kembali."
Sembilan
puluh sembilan. Seperti yang telah diriwayatkan oleh al-Khathib
dari Abu Hurairah, "Mengetahui satu
bab ilmu dalam masalah perintah dan larangan adalah lebih baik bagiku daripada
tujuh puluh perang di jalan Allah."(HR al-Bagdadi) Apabilah hadits ini
shahih, maka maknanya adalah "mempelajari ilmu itu lebih baik bagiku dari
perang tujuh puluh kali dijalan Allah tanpa ilmu " karena perbuatan
tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Atau, maksudnya
adalah bahwa ilmu yang dipelajari dan
diajarkan, maka pahalanya akan terus berlanjut sampai hari kiamat dari orang
yang mengamalkannya. Dan, ini tidak ada dalam perang.
Seratus. Sebagaimana
yang telah diriwayatkan oleh al-Khathib dari Abu ad-Darda', "Muzakarah ilmu sejam lebih baik
daripada shalat semalam."
Seratus
satu. Apa yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri yang berkata, "Mengetahui satu bab ilmu lalu saya
mengajarkannya kepada seorang muslim lebih baik bagiku daripada dunia ini
menjadi milikku di jalan Allah."
Seratus
dua. Makhul As-Syami berkata, "Allah tidak disembah lebih baik kecuali dengan memahami
(agama)."
Seratus tiga.
Sa'id bin Mas'ud berkata, "Ibadah
kepada Allah bukan dengan puasa dan shalat, tetapi dengan pemahaman
agama-Nya." Ucapan ini memiliki dua maksud. Pertama, bukan puasa dan
shalat yang tidak didasari dengan ilmu, tapi dengan pemahaman yang dengannya
diketahui cara puasa dan shalat. Kedua, bukan hanya puasa dan shalat, memahami
agama Allah merupakan ibadah yang sangat besar nilainya.
Seratus
empat. Ishak bin Abdullah bin Abu Farwah berkata, "Orang yang paling dekat derajatnya
kepada kenabian adalah ulama dan ahli jihad." Ulama yang menunjukkan
manusia kepada apa yang dibawa para rasul dan pembicaraan mengenai keutamaan
orang yang berilmu, tingkatannya berada di atas orang yang syahid.
Seratus
lima. Sufyan bin Uyainah berkata, "Orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah orang
yang berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Mereka itu adalah para rasul
dan ulama."
Seratus
enam. Muhammad bin Syihab az-Zuhri berkata, "Tidak ada ibadah kepada Allah yang
menyamai (ibadah) memahami (agama)." Maksud ucapan ini dan semisalnya
adalah bahwa tidak ada penyembahan kepada Allah yang semisal dengan
menyembah-Nya dengan pemahaman agama. Dengan demikian, pemahaman agama itu
sendiri adalah ibadah. Sebagaimana yang dikatakan Mu'adz bin Jabal, "Carilah ilmu, sesungguhnya menuntut
ilmu adalah ibadah kepada Allah." Dan insya Allah, ucapan Mu'adz akan
kami sebutkan secara sempurna. Mungkin juga yang dimaksud adalah bahwa Allah
tidak disembah dengan suatu ibadah yang lebih baik daripada ibadah yang
disertai dengan pemahaman terhadap agama. Sebab, seorang faqih dalam agama
Allah paham tentang segala tingkatan ibadah, kerusakan, kewajiban dan
sunnahnya, apa yang menyempurnakan dan yang menguranginya. Masing-masing dari
makna itu benar.
Seratus
tujuh. Sebagaimana pandangan dari Sahal bin Abdullah at-Tastari,
beliau berkata, "Barangsiapa yang
ingin melihat majelis para nabi, maka lihatlah majelis para ulama." Ini
karena ulama adalah pengganti para rasul di tengah-tengah umat mereka. Mereka
juga mewarisi para rasul dalam ilmu sehingga majelis mereka adalah majelis
pengganti kenabian.
Seratus
delapan. Beberapa ulama telah menegaskan bahwa amal yang paling utama sesudah amalan wajib
adalah menuntut ilmu. Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa tidak ada yang lebih utama sesudah ibadah
wajib daripada menuntut ilmu. Pernyataan ini merupakan pendapat dari Imam
Syafii menurut penuturan para sahabatnya. Begitu pula halnya dengan pendapat
Sufyan ats-Tsauri dan apa yang diceritakan orang-orang Hanafiah dari Imam Abu
Hanifah. Sementara itu, Imam Ahmad mengatakan bahwa terdapat tiga riwayat yang terkait
dengan hal ini. Pertama, ilmu. Dia pernah ditanya, "Yang manakah yang engkau lebih suka, saya duduk pada malam hari
menyalin (ilmu) atau saya shalat sunah?" Dia menjawab, "Salinanmu
yang dengannya engkau mengenali masalah-masalah agamamu, maka itu lebih aku
sukai." Al-Khallal menyebutkan banyak nash tentang kebutuhan kepada
ilmu dan keutamaannya dalam kitab al-'ilm. Di antara ucapannya di dalamnya
adalah bahwa, "Manusia lebih butuh
kepada ilmu daripada kepada makanan dan minuman." Dan ini sudah
dibahas pada kesempatan lalu. Kedua, Sesungguhnya sebaik-baik amal
sesudah ibadah fardhu adalah shalat sunah. Dalilnya adalah sabda Nabi saw, "Ketahuilah
bahwa amal perbuatan kamu yang paling balk adalah shalat." (HR Ibnu
Majah) Juga sabda Rasul saat Abu Dzar bertanya kepada beliau tentang shalat,
"Ini adalah amal terbaik sesuai dengan ketetapan agama." Rasulullah
juga mewasiatkan kepada orang yang meminta agar bisa turut serta dengan beliau
di surga untuk memperbanyak sujud dan shalat. Demikian pula sabdanya dalam
hadits lain, "Perbanyaklah sujud kalian! Sesungguhnya kamu tidak sujud
kepada Allah kecuali Allah mengangkat kamu dengan sujud itu satu derajat dan
menghapus satu kesalahan karena sujud tersebut." Dan beberapa hadits yang
menunjukkan keutamaan shalat. Ketiga, riwayat yang menunjukkan
bahwa jihad adalah amal yang paling utama. "Saya tidak dapat menggantikan
jihad dengan sesuatu pun dan tidak ada seorang pun yang mampu menggantikannya."
Tidak disangsikan bahwa banyak sekali hadits tentang shalat dan jihad.
Sedangkan Imam Malik, maka Ibnu Abdulqasim berkata, "Saya mendengarkan
Malik mengatakan bahwa sesungguhnya banyak kaum yang menginginkan ibadah dan
menyia-nyiakan ilmu. Lalu mereka keluar memerangi umat Muhammad saw. dengan
senjata mereka. Seandainya mereka menginginkan ilmu, maka ilmu itu menghalangi
mereka melakukan itu."
Imam Malik
mengatakan bahwa Abu Musa al-Asy'ari menulis surat kepada Umar bin al-Khathab
bahwa yang membaca Al-Qur'an dari umat muslim di sini sebanyak ini dan
ini." Lalu 'Umar membalas suratnya supaya memberikan subsidi orang-orang
yang membaca Al-Qur'an dari kas negara. Pada tahun kedua, dia mengirim surat
lagi dan menyampaikan bahwa yang membaca Al-Qur'an sudah banyak, bahkan lebih
banyak. Lalu Umar membalas suratnya supaya menghapuskan mereka dari daftar
orang-orang yang mendapat subsidi kas negara dan berkata, "Sesungguhnya
aku mengkhawatirkan orang-orang tergesa-gesa dalam Al-Qur'an untuk memahami agama,
lalu mereka mentakwilkan Al-Qur'an bukan pada tempatnya." Ibnu Wahab
berkata, "Saya pernah berada pada Imam Malik bin Anas, lalu saya
meletakkan kertas catatan saya dan berdiri melakukan shalat. Melihat hal itu,
dia berkata, Tidaklah apa yang kamu lakukan lebih utama dari apa yang kamu
tinggalkan.'"
Syaikh
Ibnu Taimiyyah berkata, "Tiga hal
yang selalu diutamakan para imam adalah shalat, ilmu, dan jihad. Ini juga yang
dikatakan Umar bin al-Khathab r.a., 'Seandainya tidak ada tiga hal ini di
dunia, pasti saya tidak akan suka tinggal dalamnya. Kalau saya tidak
mempersiapkan atau membawa tentara di jalan Allah, seandainya tidak
bermujahadah di malam hari (qiyamul lail), seandainya bukan karena duduk
bersama kaum yang mencari ucapan baik sebagaimana kurma yang baik, maka saya
tidak suka tinggal di dunia.' Pertama
adalah jihad, kedua shalat tahajjud,
dan yang ketiga membicarakan ilmu. Ketiga
hal itu berkumpul dalam diri para sahabat secara sempurna dan sudah menyebar di
kalangan orang yang datang sesudah mereka."
Seratus
sembilan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Na'im
dan selainnya dari sebagian sahabat Nabi bahwa beliau bersabda, "Keutaman ilmu lebih baik dari
perbuatan sunah dan agama kalian yang terbaik adalah kewarakan."(HR
Abu Na'im) Hadits ini diriwayatkan secara marfu' dari Aisyah r.a., tapi masih
diragukan apakah benar hadits ini marfu' atau tidak. Hadits di atas merupakan
benang merah dari permasalahan ini. Jika keduanya amalan fardhu/wajib, maka
ilmu dan amal perbuatan itu harus sama-sama dikerjakan. Seperti antara puasa
dan shalat. Tapi jika amalan sunat, maka ilmu lebih utama dari amalan tersebut.
Sebab, manfaat ilmu lebih umum; karena ilmu bisa bermanfaat buat orang yang
memilikinya dan juga buat masyarakat. Sedangkan ibadah, manfaatnya hanya khusus
dirasakan oleh orang yang melakukannya. Begitu juga, faedah ilmu kekal
selamanya. Sementara ibadah, faedahnya terputus dengan datangnya kematian
sebagaimana yang telah disebutkan di bagian awal tadi.
Seratus
sepuluh. Seperti halnya yang telah diriwayatkan oleh
al-Khathib dan Abu Na'im serta selainnya dari Mu'adz bin Jabal r.a. yang
berkata, "Pelajarilah ilmu, sebab
memperlajarinya karena Allah adalah ketakwaan, mencarinya ibadah, mengulanginya
tasbih, mengkajinya jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu sedekah,
mengorbankannya kepada yang berhak adalah kurban (kedekatan kepada Allah). Dengan
ilmu, Allah dikenal dan disembah serta diesakan, dengan ilmu halal dan haram
diketahui, dan dengan ilmu hubungan rahim disambung. Ilmu adalah teman di kala
sendiri, kawan di kala kesepian, petunjuk di kala gembira, penolong di kala
berada dalam bahaya, pendamping di masa kekosongan, teman di sisi orang-orang
terasing, dan mercusuar jalan surga. Allah mengangkat berbagai kaum dengan ilmu
sehingga menjadikan mereka pemimpin dan tokoh yang diteladani sebagai petunjuk
jalan kepada kebaikan. Bekas-bekas perjalanan mereka diikuti dan perbuatan
mereka dicatat. Para malaikat sangat senang berteman dengan mereka dan mengelus
mereka dengan sayapnya. Segala yang basah dan kering beristighfar untuknya.
Ikan paus dan singa laut, binatang buas dan ternak darat serta bintang-bintang
di langit beristighfar untuknya. Ilmu adalah kehidupan hati yang buta, cahaya
penglihatan dari kegelapan, dan kekuatan bagi kelemahan badan. Dengannya
seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang baik dan derajat yang paling
tinggi. Mengingat ilmu sebanding (pahalanya) dengan puasa, dan mempelajarinya
sebanding dengan shalat malam. Ilmu adalah imamnya amal perbuatan. Amal
perbuatan adalah pengikutnya. Ilmu memberikan ilham kepada orang-orang yang
berbahagia dan menjauhi orang-orang yang menderita." Atsar ini dikenal
dari Mu'adz dan diriwayatkan oleh Abu Na'im dalam al-Mu 'jam dari hadits Mu'adz
secara marfu' kepada Nabi saw. Hal itu tidak terbukti secara kuat dan tampaknya
cukuplah kiranya sanadnya hanya sampai kepada Mu'adz.
Demikianlah
uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada
Bagian kelima belas ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian
Keenam belas yang akan dimulai dari sudut pandang keseratus sebelas hingga
selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar