Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Ketujuh
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Ketujuh
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Pada artikel Bagian Keenam mengenai “Pandangan
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan
llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis
uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan
orang-orang yang berilmu dari sudut pandang keempat puluh enam hingga
sudut pandang yang kelima puluh. Berikut ini akan Penulis lanjutkan
dengan sudut pandang yang keempat puluh enam hingga sudut pandang selanjutnya.
Lima puluh satu. Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dari Mahmud bin Ghailan, dari Abu Usamah, dari al-A'masy
dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,"Barangsiapa menempuh perjalanan untuk
mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju surga." Imam
Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan."
Beberapa ahli hadits berkata, "Imam
tirmidzi tidak mengatakan bahwa hadits ini shahih sebab dalam sanadnya terdapat
al-A'masy yang melakukan tadlis (Penipuan). Sedangkan dalam sebuah riwayat di
dalam shahih Musim, al-A'masy berkata, "Saya
mendengarnya dari Abu Shalih." Al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak
berkata, "Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim. Ia
diriwayatkan dari al-A'masy oleh sekelompok orang di antaranya Dzaidah, Abu
Mu'awiyah dan Ibnu Namir. Dan mengenai hal ini juga telah disebutkan dalam
hadits Abu Darda'. Hadits ini adalah mahfuzh dan ada asalnya." Telah jelas dalam syariat dan qadar bahwa
balasan bagi seseorang tergantung pada jenis perbuatannya. Jika seseorang
menempuh jalan di mana ia mencari kehidupan dan keselamatan hatinya, maka Allah
SWT memberinya jalan untuk memperoleh itu semua. Telah diriwayatkan oleh Ibnu
Adi dari Muhammad bin Adul Malik al-Anshari, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari
Urwah, dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT telah
mewahyukan kepadaku bahwa barangsiapa yang menempuh perjalanan menuntut ilmu,
niscaya Aku memudahkan jalannya ke surga. "(HR Tirmidzi)
Lima puluh dua. Rasulullah saw. mendoakan orang yang
mendengarkan, menjaga, dan menyampaikan apa yang ia dengar dari beliau agar
mendapatkan cahaya, yaitu keceriaan dan keindahan wajah. Dalam Sunan Tirmidzi
dan yang lainnya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a., disebutkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, "Semoga
Allah memberikan cahaya kepada orang yang mendengarkan ucapanku,
memperhatikannya, menjaganya, dan menyampaikannya.
Kita telah
ketahui bahwa sering kali orang
yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari dia,
sehinhga ada tiga perkara yang dengannya tidak ada kedengkian dalam hati
seorang muslim. Pertama: ikhlas dalam beramal untuk Allah semata.
Kedua: para imam yang saling
menasehati. Ketiga: selalu bersama
orang-orang muslim, karena sesungguhnya ajakan mereka selalu
mengelilinginya." Hadits ini berawal diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Mu'adz
bin Jabal, Abu Darda', Jubair bin Math'am, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, dan
Nu'man bin Basyir. Imam Tirmidzi berkata, "Hadits Ibnu Mas'ud hasan
shahih, hadits Zaid bin Tsabit hasan." Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab
Mustadrak-nya dari riwayat Jubair bin Math'am dan Nu'man bin Basyir, kemudian
berkata, "Ini adalah hadits shahih
berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim."
Jika sekiranya tidak ada penghargaan lain
bagi keutamaan ilmu selain yang disebutkan dalam hadits di atas, tentulah itu
sudah cukup. Karena Rasulullah saw. telah mendoakan orang yang mendengar,
memperhatikan, menjaga, dan menyampaikannya. Berikut ini adalah tingkatan dalam mencari ilmu. Tingkatan pertama dan kedua adalah mendengar dan memahami.
Apabila seseorang mendengarkan ilmu, maka dia akan memahaminya dengan akalnya.
Sehingga, ilmu tersebut akan terpatri di dalam hatinya, seperti terjaganya
sesuatu yang di dalam tempat penyimpanan.
Akal diibaratkan tali pengikat seekor unta
atau binatang ternak lainnya, agar binatang tersebut tidak lepas dan pergi. Oleh
karena itu, penalaran dan pemahaman merupakan nilai lebih dari sekedar
mengetahui. Ketiga, menjaga dan
menghafalnya agar tidak lupa dan hilang. Keempat,
menyampaikan dan menyebarkannya kepada umat supaya hasil dan tujuannya
terwujud. Ilmu bagaikan harta yang tersembunyi di dalam tanah, yang apabila tidak
dinafkahkan, maka ia terancam hilang. Demikian juga dengan ilmu; apabila tidak
diamalkan dan tidak diajarkan, maka ia bisa hilang. Apabila harta atau ilmu itu
dinafkahkan, maka ia akan tumbuh dan berkembang.
Bagi orang yang telah menunaikan keempat
tingkatan di atas, maka ia akan termasuk dalam doa Nabi saw. yang mencakup
keindahan lahir dan batin. Sesungguhnya nadhrah (cahaya di wajah) itu adalah
berserinya wajah karena keimanan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kesenangan
hati. Apabila hati dipenuhi dengan keimanan, kebahagiaan, dan kegembiraan maka akan
tampak keceriaan, kegembiraan dan kebahagiaan di muka seseorang. Oleh karena
itu, Allah SWT di dalam firman-Nya mengumpulkan antara keceriaan, kebahagiaan,
dan berseri-serinya wajah, yaitu dalam firman-Nya:
فَوَقَاهُمُ
اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا
"Maka Allah memelihara mereka dari
kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan
kegembiraan hati." (al-lnsaan: 11)
Sesungguhnya yang dimaksud dengan kejernihan
di ayat ini adalah kejernihan di wajah dan kegembiraan adalah di dalam hati.
Karena kebahagiaan hati menampakkan keceriaan dan kejernihan di wajah,
sebagaimana difirmankan Allah SWT:
تَعْرِفُ فِى
وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ ٱلنَّعِيمِ
Kamu
dapat mengetahui dan wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh
kenikmatan."
(al-Muthaffifiin: 24)
Berdasarkan kandungan ayat di atas, dapat
dikatakan bahwa kejernihan di wajah orang yang mendengarkan, memahami, menjaga,
dan menyampaikan sunnah Rasulullah saw. merupakan pengaruh kebahagiaan,
keceriaan, dan kegembiraan yang ada dalam hati dan batinnya. Sebagimana sabda
Rasulullah saw., "Seringkali orang yang
membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,"
Hadits tersebut menunjukkan faidah dalam
menyampaikan ilmu kepada orang lain. Seseorang yang disampaikan kepadanya
sebuah ilmu terkadang lebih paham daripada orang yang menyampaikannya.
Sehingga, ia dapat menyimpulkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh orang yang
menyampaikannya. Atau bisa dikatakan juga bahwa seseorang yang disampaikan
kepadanya sebuah ilmu dan ia lebih pandai dari orang yang menyampaikannya, maka
ia akan membawanya kepada pemahaman yang lebih baik. Sehingga, ia dapat
menyimpulkan satu hukum dan menarik maksud darinya. Adapun maksud dari sabda
Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang
dengannya tidak ada rasa dengki di dalam hati seorang muslim........",
bahwa tidak akan ada rasa dengki di dalam hati dengan adanya ketiga hal
tersebut. Ketiga hal itu akan menghilangkan kedengkian dan ketidaksukaan yang
merupakan penyakit hati manusia.
Seseorang yang dalam perbuatannya selalu
ikhlas demi Allah semata, maka keikhlasan itu menghalangi, mengeluarkan, dan
menghilangkan kedengkian dari dalam hatinya secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan keinginan hatinya hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Oleh karena
itu, tidak ada tempat dalam hatinya untuk rasa dengki dan rasa benci kepada
orang lain. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ هَمَّتْ
بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ
عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
"Demikianlah, agar Kami memalingkan
daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusu fitu termasuk
hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24)
berdasarkan kandungan ayat tersebut di atas,
sesungguhnya ketika seseorang ikhlas
hanya untuk Tuhannya, maka Allah SWT memalingkan darinya semua ajakan keburukan
dan kejahatan, sehingga ia pun terhindar dari hal-hal tersebut. Oleh karena
itulah, tatkala iblis mengetahui bahwa dia tidak mendapatkan jalan untuk
menggoda orang-orang ikhlas, maka dia mengecualikan mereka. Allah SWT berfirman
tentang kata-kata iblis, "Iblis menjawab,:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
'Demi
kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu
yang mukhlis di antara mereka" (Shaad: 82-83)
Dan Allah SWT pun berfirman:
إِنَّ عِبَادِي
لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada
kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu
orang-orang yang sesaf. "(al-Hijr: 42)
Sesungguhnya Ikhlas adalah kendaraan menuju
pembebasan, Islam adalah kendaraan keselamatan, dan Iman adalah stempel
keamanan. Sebagaimana sabda Nabi saw, "Para
pemimpin umat yang saling menasehati", hal ini juga dapat menghapus
kedengkian dan kebencian. Pasalnya nasehat tidak mungkin berbaur dengan
kedengkian karena keduanya berlawanan.
Lima puluh tiga. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah memerintahkan
agar orang-orang menyampaikan ilmu dari Beliau. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim
diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat
dan tidak apa-apa kalian meriwayatkan dari Bani Israel. Barangsiapa dengan
sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah mengambil tempatnya di
neraka." (HR Btikhari, Tirmidzi, dan Ahmad) dan Rasulullah saw. juga
bersabda," Hendaknya orang yang
hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir." (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. telah memerintahkan umatnya
agar menyampaikan apa yang berasal dari beliau. Dengan hal itu, seluruh umat
dapat menerima petunjuk dari beliau. Rasulullah saw. mendapatkan pahala berkat
orang yang menyampaikan petunjuk tersebut dan mendapatkan pahala dari orang
yang menerimanya. Setiap kali petunjuk beliau disampaikan kepada orang lain,
maka pahala beliau semakin berlipat ganda sebanyak orang yang menyampaikan
petunjuk dan sebanyak orang yang menerima petunjuk tersebut. Ini di luar pahala
amal perbuatan yang khusus untuk beliau. Jadi Rasulullah saw. selalu
mendapatkan pahala dari setiap orang yang memberi petunjuk dan menerima
petunjuk tersebut, karena beliaulah penyeru kepada petunjuk tersebut.
Seandainya dalam menyampaikan ilmu seseorang
hanya mendapatkan cinta Rasulullah saw. Hal itu sudah merupakan keutamaan yang
tiada tara. Tanda pencinta yang hakiki adalah berusaha memperoleh sesuatu yang
dicintai kekasihnya dan berkorban untuk mendapatkanya. Sebagaimana diketahui
bahwa tidak ada sesuatu yang dicintai Rasulullah saw. kecuali sampainya
petunjuk beliau kepada seluruh umat. Maka, orang yang menyampaikan petunjuk
beliau adalah orang yang berusaha mendapatkan cinta beliau. Dengan demikian,
orang tersebut menjadi orang yang paling dekat dan paling beliau cintai. Dan,
dialah pengganti beliau untuk umat. Maka, ini cukup menunjukkan kemuliaan ilmu
dan orang yang memilikinya.
Lima puluh empat. Sesungguhnya Rasulullah saw. mengedepankan
kelebihan ilmu dalam jabatan keagamaan. Beliau juga mengedepankan orang yang
paling banyak ilmunya atas orang yang berilmu lainnya. Dalam shahihnya, Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Badri bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Yang menjadi imam dalam shalat bagi
satu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur'annya. Jika dalam bacaan
mereka sederajat, maka yang menjadi imam adalah yang paling banyak
pengetahuannya tentang sunnah. Dan jika dalam hal ini mereka juga setingkat,
maka orang yang paling dahulu masuk Islam atau yang paling tua umurnya."
(HR Muslim dan Abu Daud)
Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendahulukan
orang yang memiliki keutamaan ilmu atas orang yang lebih dulu masuk Islam atau
hijrah. Hal ini dikarenakan mengetahui Al-Qur'an itu lebih utama daripada
mengetahui sunnah, karena kemuliaan isinya daripada isi as-Sunnah. Maka, pengetahuan
tentang Al-Qur'an didahulukan atas sunnah dan pengetahuan akan as-Sunnah
didahulukan atas keutamaan hijrah. Padahal, dalam hijrah terdapat kelebihan
pada amal perbuatan dan ini merupakan keistimewaan bagi yang turut hijrah. Akan
tetapi, Rasulullah saw. mendahulukan ilmu atas amal dan mendahulukan suatu ilmu
atas ilmu yang lain. Ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan ilmu. Orang yang
memiliki ilmu adalah orang yang menempati posisi terdepan dalam kedudukan
keagamaan.
Lima puluh lima. Sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih
Bukhari, yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a., menyebutkan bahwa Nabi
saw. bersabda, "Sebaik-baik orang di
antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya."
(HR Bukhari dan Abu Daud)
Sesungguhnya, mempelajari dan mengajarkan
Al-Qur'an mencakup mempelajari dan mengajarkan huruf-huruf dan makna-maknanya.
Ini merupakan bagian termulia dalam mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an,
karena makna adalah maksud dan lafal adalah wasilah untuk memahami makna. Maka,
mempelajari dan mengajarkan makna Al-Qur'an adalah mempelajari dan mengajarkan
tujuan. Sedangkan, mempelajari dan mengajarkan lafalnya adalah mempelajari dan
mengajarkan wasilah. Jadi antara lafal dan maknanya seperti antara wasilah dan
tujuan.
Lima puluh enam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam
Tirmidzi dan para muhaddits lainnya dari Amru bin al-Harits, dari Darraj, dari
Abil Haitsam, dari Abi Sa'id al-Khudri menyebutkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Seorang mukmin tidak akan
puas dengan hal balk yang ia dengar, hingga akhirnya ia mendengar tentang
surga." (HR Tirmidzi)
Menurut Imam Tirmidzi, "Ini adalah
hadits hasan gharib." Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu orang. Imam
Ahmad menyebutkan sebagian atau sebagian besar dari riwayatnya, dan hadits ini
memiliki beberapa hadits pendukung. Dalam hadits di atas Nabi saw. menjadikan
ketamakan dan ketidakpuasan dalam mencari ilmu sebagai tanda dari keimanan dan
sifat-sifat orang mukmin. Nabi SAW mengatakan bahwa ini merupakan aktivitas
rutin seorang mukmin hingga ia masuk surga. Karena itulah jika para ulama
ditanya, "Sampai kapan Anda menuntut
ilmu?" Maka mereka menjawab, "Sampai
mati."
Nu'aim bin Hammad berkata bahwa Abdullah bin
al-Mubarak r.a. diejek orang-orang sekampungnya karena terlalu banyak mencari
hadits, namun ia tetap berkata, "Saya akan mencari hadits sampai
mati." Al-Hasan bin Manshur al-Jashshash berkata kepada Ahmad bin Hambal
r.a., "Sampai kapan seseorang menulis hadits?" Dia menjawab,
"Sampai mati." Abdullah bin Muhammad al-Baghawi berkata bahwa dia
mendengar Ahmad bin Hambal r.a. berkata, "Aku akan menuntut ilmu hingga
aku masuk Hang kubur." Muhammad bin Ismail ash-Shaigh berkata, "Saya
menempa emas bersama ayahku di Baghdad, lalu Ahmad bin Hambal lewat dan berlari
dengan kedua sandal berada di tangan. Lalu ayahku memegang pakaiannya dan
berkata, 'Wahai Abu Abdillah, apakah Anda tidak malu, sampai kapan Anda
berlari-berlari bersama mereka?' Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Sampai
mati.'" Abdullah bin Basyar ath-Thalliqani berkata, "Saya berharap
panggilan Allah mendatangiku pada saat tinta berada di hadapanku, dan ilmu serta
tinta tidak pernah berpisah denganku." Hamid bin Muhammad bin Yazid
al-Bashri berkata bahwa Bustham al-Hafizh datang kepadanya dan menanyakan
sebuah hadits, lalu Hamid bin Muhammad berkata kepadanya, "Alangkah
kerasnya keinginanmu mencari hadits!" Dia menjawab, "Karena aku suka
berada dalam rombongan keluarga Rasulullah saw." Beberapa ulama ditanya,
"Sebaiknya kapan seseorang belajar?" Mereka menjawab, "Selama
hidupnya masih baik." Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang seorang
lelaki yang berumur delapan puluh tahun, "Apakah dia masih layak menuntut
ilmu?" Dia menjawab, "Ya, jika ia masih layak hidup."
Lima
puluh tujuh. Sebuah
hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Ibrahim bin al-Fadhl, dari
al-Maqburi, dari Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Nabi saw. bersabda,
"Hikmah merupakan milik orang mukmin yang hilang, maka di mana saja dia
menemukannya dialah orang yang paling berhak terhadapnya." (HR Tirmidzi
dan Ibnu Majah) Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits gharib, saya
tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin al-Fadhl al-Madini
al-Makhzumi adalah seorang muhaddits yang lemah hafalannya." Hadits ini
juga merupakan pendukung bagi hadits sebelumnya, ia juga memiliki beberapa
hadits pendukung lainnya. Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan
ilmu, maka ia seperti orang yang kehilangan salah satu barangnya yang sangat
berharga. Dan jika ia menemukannya, maka hatinya tenang dan jiwanya pun
gembira. Demikianlah keadaan seorang mukmin, jika ia menemukan sesuatu yang
diidamkan hati dan ruhnya yang hilang serta selalu ia cari dan ia impikan. Ini
merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal ini. Sesungguhnya hati orang
mukmin selalu mencari ilmu. Di mana saja dia mendapatkannya dia adalah pencari
sesuatu milik yang paling mulia.
Lima puluh delapan. Pada sudut pandang ini, ada baiknya jika
kita cermati pernyataan Rasulullah SAW melalui riwayat Imam Tirmidzi, ia
berkata bahwa Abu Kuraib mendengar dari Khalaf bin Ayyub, dari Auf, dari Ibnu
Sirin, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda, "Ada dua hal yang tidak terhimpun dalam din seorang munafik; jalan
baik dan pemahaman terhadap agama." (HR Tirmidzi)
Imam Tirmidzi berpandangan bahwa "Ini adalah hadits hasan ghariib, dan
hanya Khalaf bin Ayub al-Amiri yang meriwayatkan dari Auf. Saya juga hanya
menemukan Abu Kuraib Muhammad bin Alav yang meriwayatkan dari Khalaf al-Amiri,
saya sendiri tidak tahu mengapa demikian?" Hadits ini merupakan kesaksian
bahwa orang yang menghimpun jalan baik dan pemahaman agama, dialah orang
mukmin. Walaupun dalam sanad hadits ini terdapat kesamaran, tetapi hadits ini
lebih tepat sebagai hadits yang benar. Hal ini dikarenakan sifat yang baik dan
pemahaman terhadap agama merupakan salah satu tanda-tanda orang mukmin yang
sangat khusus, yang tidak akan Allah kumpulkan dalam diri seorang munafik. Dan,
kemunafikan menafikan keduanya; demikian juga dengan keduanya yang menafikan
kemunafikan.
Lima puluh sembilan. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muslim bin
Hatim al-Anshari, dari ayahnya, dari Ali bin Zaid, dari Sa'id bin al-Musayyab,
dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, " Wahai anakku, jika
kamu mampu memasuki waktu pagi dan sore serta hatimu tidak mengandung rasa
benci kepada seorang pun, maka lakukanlah! Wahai anakku, itu adalah sunnahku.
Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka dia mencintaiku. Dan barangsiapa
mencintaiku, maka dia bersamaku di surga." (HR Tirmidzi) Dalam hadits ini
ada kisah yang panjang. Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan
gharib dari jalur ini. Muhammad bin al-Anshari adalah orang jujur dan ayahnya
dapat dipercaya. Ali bin Zaid adalah orang yang jujur, hanya saja terkadang ia
menyandarkan kepada Rasulullah saw. riwayat yang juga diriwayatkan orang lain.
Saya mendengar Muhammad bin Basyar berkata bahwa Abu al-Walid berkata, 'Syu'bah
bin Hajjaj berkata bahwa dia diberitahu oleh Ali bin Zaid dan Ali bin Zaid
adalah orang yang suka menyandarkan riwayat kepada Rasulullah saw.”
Imam Tirmidzi berkata, "Hanya hadits ini
yang diketahui sebagai riwayat Sa'id bin al-Musayyab dari Anas bin Malik r.a.
Dan Abad al-Manqari telah meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, dari. Anas
bin Malik r.a. dan di dalamnya tidak disebutkan bahwa ini dari Sa'id bin
al-Musayyab. Saya sudah menyampaikan hadits ini kepada Muhammad bin Ismail
namun dia tidak mengetahuinya. Dia juga tidak mengetahui bahwa hadits ini
adalah riwayat Sa'id bin al-Musayyab dari Anas, tidak juga yang lain. Anas
meninggal pada tahun 93 H dan Sa'id bin al-Musayyab pada tahun 95 H, dua tahun
setelah kematian Anas." Saya berpendapat bahwa hadits ini memiliki
beberapa hadits pendukung. Di antaranya hadits yang diriwayatkan ad-Darimi
Abdullah dari Muhammad bin Uyainah dari Marwan bin Mu'awiyah al-Fazari, dari
Katsir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. berkata kepada
Bilal bin al-Harits,"Ketahuilah, wahai Bilal!" Maka Bilal berkata,
"Apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Barangsiapa menghidupkan salah satu
sunnahku yang telah dimatikan sesudahku, maka dia memiliki pahala seperti
pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat bid'ah sesat yang tidak diridhai Allah
dan Rasul-Nya, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang
menga-malkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (HR
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini diriwayatkan Imam Tirmidzi dan ia
berkata bahwa ini adalah hadits hasan. Dia juga berkata bahwa Muhammad bin
Uyainah adalah orang Syam dan Katsir bin Abdullah adalah anak Amru bin Auf
al-Muzani. Di kalangan ahli hadits ada tiga pendapat mengenai riwayat Katsir
bin Abdullah; ada yang menshahihkannya dan ada pula yang menghasankannya,
keduanya terdapat dalam Sunan Tirmidzi. Ada juga yang menganggapnya lemah dan
tidak menjadi hujjah, seperti Imam Ahmad dan Iain-lain. Akan tetapi, asal
hadits ini adalah kuat dari berbagai jalur seperti hadits, "Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan
pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya."(HR Muslim)
Dalam
hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menunjukkan
kepada kebajikan, maka baginya pahala seperti pahala orang melakukannya." (HR Muslim dan Tirmidzi)
Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan
Imam Tirmidzi dan selainnya. Asal hadits ini adalah mahfuudz dari Nabi saw.
Jadi hadits yang lemah jika menjadi pendukung tidaklah berdampak negatif.
Enam puluh. Sesungguhnya Nabi saw. memuji para penuntut
ilmu. Hal ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan apa yang mereka cari.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Sufyan bin Waqi', dari Abu Daud al-Hafri, dari
Sufyan, dari Abi Harun bahwa dia pernah mendatangi Abu Sa'id, lalu Abu Sa'id
berkata, "Selamat datang kepada orang-orang yang dipuji Rasulullah saw.,
sesungguhnya beliau pernah bersabda, "Sesungguhnya orang-orang mengikuti
kalian dan sesungguhnya orang-orang mendatangi kalian dari segala penjuru bumi
ingin memahami agama. Apabila mereka mendatangi kamu, maka pujilah mereka."
(HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Qutaibah,
dari Ruh bin Qais, dari Abu Harun al-Abdi, dari Abi Sa'id al-Khudri bahwa Nabi
saw. bersabda, "Akan datang kepada kalian orang-orang dari Timur untuk
belajar. Apabila mereka mendatangi kalian, maka pujilah mereka." Ketika
Abu Sa'id al-Khudri melihat kami datang kepadanya, ia berkata, "Selamat datang wahai orang-orang
yang dipuji Rasulullah saw." Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini
tidak kami ketahui kecuali dari riwayat Abu Harun al-Abdi, dari Abu Sa'id
al-Khudri." Abu Bakr al-Aththar meriwayatkan dari Ali bin al-Madini, dari
Yahya bin Sa'id bahwa ia berkata, "Syu'bah mengatakan bahwa Abu Harun
al-Abdi adalah perawi yang lemah." Yahya bin Sa'id berkata, "Ibnu Auf
masih terus meriwayatkan dari Abi Harun hingga meninggal dan nama Abu Harun
adalah Imarah bin Juwain."
Demikianlah uraian Penulis tentang sudut
pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi
orang-orang yang berilmu pada Bagian ketujuh ini. In syaa Allah akan
Penulis lanjutkan pembahasan ini pada postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar