HIKMAH PETUNJUK DAN KESESATAN Rahasia Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi (Bagian Kedua)
HIKMAH PETUNJUK DAN KESESATAN
Rahasia
Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi
(Bagian Kedua)
Oleh:
Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Sebagaimana diketahui bahwa Allah SWT telah
mengutus Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. untuk memberinya pilihan; antara
menjadi seorang raja dan nabi, atau menjadi seorang hamba dan nabi. Lalu Nabi
saw. memandang Jibril seolah berkonsultasi kepadanya, dan Jibril mengisyaratkan
supaya beliau bersikap tawadhu. Kemudian beliau bersabda, "Saya memilih menjadi seorang hamba dan
nabi." (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah r.a.)
Abu Hurairah r.a. berkata, "Jibril
datang kepada Nabi saw., lalu Nabi memandang ke langit, tiba-tiba ada malaikat
yang turun. Nabi berkata kapada Jibril, 'Sesungguhnya
malaikat ini tidak pernah turun sejak hari diciptakan sampai saat ini.'
Taatkala malaikat itu turun dia berkata, 'Wahai Muhammad Tuhanmu mengutusku
kepadamu.' Lalu bertanya, 'Apakah engkau ingin Tuhanmu menjadikanmu sebagai
seorang raja atau seorang hamba dan nabi? Bersikap tawadhulah kepada Tuhanmu
wahai Muhammad!' Lalu Nabi menjawab, 'Aku memilih dijadikan seorang hamba dan
rasul.'" Al-Haitsami dalam Majma'uz-Zawaid (IX/18-19) berkata, "Ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar
dan Abu Ya'la. Para perawi awal adalah perawi yang sah. Dan Syaikh Ahmad Syakir
dalam tahkiknya terhadap Musnad menshahihkan hadits ini.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab
Dalaa'ilun-Nubuwwah dari Muhammad bin Athaarid bahwa .Rasulullah saw. pernah
berada di tengah-tengah para sahabatnya dan Jibril mendatanginya. Lalu Jibril
memukul punggung beliau dan membawa Nabi ke sebuah pohon. Di pohon itu ada
sesuatu seperti dua sarang burung. Nabi duduk di salah satunya dan Jibril duduk
pada yang lain. Nabi bersabda, "Lalu
Jibril menghadap kepada kami hingga aku sampai ke ufuk. Seandainya aku
menjulurkan tanganku ke langit, maka aku menggapainya, dan langit itu
didekatkan karena suatu sebab. Dan cahaya turun di atas Jibril lalu menutupinya
seperti pelana. Dari itu, saya mengetahui kelebihan rasa takutnya di atas rasa
takutku. Lalu diwahyukan kepadaku, 'Engkau memilih menjadi nabi dan raja atau
nabi dan hamba atau ke surga tempat asalmu?' Jibril dalam keadaan berbaring
memberikan tanda supaya aku tawadhu. 'Maka aku berkata, 'Saya memilih menjadi
nabi dan hamba."' Sanadnya mursal.
Maka, Allah SWT menyebut beliau dengan sifat
kehambaan dalam tingkatnya yang paling mulia. Yaitu, ketika Allah SWT
menceritakan tentang isra' beliau, tentang kewajiban dakwah beliau, dan ketika
Allah SWT mengajukan tantangan kepada musuh-musuh-Nya. Dalam Al-Qur'an Allah
SWT berfirman tentang isra' Nabi saw.,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Maha suci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam." (QS.al-lsraa : 1)
Dalam ayat di atas Allah SWT menyebut Nabi
Muhammad dengan kata-kata hamba, bukan 'rasul-Nya atau nabi-Nya'. Ini merupakan
sebuah isyarat bahwa ketika Nabi Muhammad saw. menunaikan isra' yang merupakan
kehormatan tertinggi bagi seorang hamba, maka itu kesempurnaan penghambaan Beliau
kepada Allah SWT.
Ketika menceritakan tugas beliau sebagai da'i
(pendakwah) Allah SWT berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ
لِبَدًا
"Dan bahwa tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya
(mengerjakan ibadah), hampir saja jin itu desak-mendesak mengerumuninya." (QS. Al-Jinn: 19)
Demikian juga ketika menantang
musuh-musuh-Nya untuk mengajukan alasan keraguan mereka terhadap kerasulan
beliau, Allah SWT berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ
مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
"Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah saja yang semisal
Al-Qur'an itu.” (al-Baqarah:
23)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim tentang syafaat Nabi saw. dan penolakan para nabi untuk
memberi syafaat serta perkataan Almasih a.s., "Pergilah kepada Muhammad,
seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang", menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. memperoleh kedudukan yang
paling agung ini, karena kesempurnaan penghambaan beliau dan sempurnanya
pengampunan Allah SWT atas beliau. Jika kehambaan ('ubudiyyah) di sisi Allah
SWT memiliki kedudukan yang sedemikian rupa tingginya, maka hikmah-Nya
menghendaki untuk menempatkan Adam a.s. dan keturunannya di suatu tempat, yang
di dalamnya mereka memperoleh kedudukan tinggi tersebut yang bisa dicapai
dengan kesempurnaan ketaatan dan kedekatan mereka kepada Allah SWT, serta
karena kecintaan Allah SWT kepada mereka. Juga karena mereka meninggalkan
segala yang mereka suka demi kecintaannya kepada Allah SWT. Inilah kesempurnaan
nikmat dan kebaikan Allah SWT kepada mereka. 16 HR Bukhari (VIII/395-fatul
al-Baari), Muslim (lll/65-Syarh an-Nawawi), at-Tirmidzi (IV/537) hadits nomor
2434.
Sesungguhnya Allah SWT juga ingin mengetahui
hamba-hamba-Nya yang berhak menerima kesempurnaan dan keagungan nikmat-Nya,
supaya cinta, rasa syukur, dan kelezatan nikmat yang mereka rasakan semakin
besar. Oleh karena itu, Allah memperlihatkan kepada mereka tindakan-Nya
terhadap musuh-musuh-Nya, serta azab dan kepedihan yang dipersiapkan untuk
musuh-musuh tersebut. Dan di sisi lain, Allah memperlihatkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa mereka dibebaskan dari azab dan siksa,
serta kekhususan yang mereka peroleh berupa nikmat dan kecintaan yang paling
tinggi; cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Itu semua agar kebahagiaan mereka
semakin bertambah, kebanggaan mereka sempurna, dan kegembiraan mereka semakin
besar. Semua itu tidak akan berlaku kecuali dengan menurunkan mereka ke bumi,
di mana mereka diuji dan dicoba.
Dan di bumi inilah Dia memberikan taufik kepada
siapa yang Dia kehendaki sebagai bukti kasih sayang dan kemurahan-Nya. Di bumi
ini juga Dia menelantarkan orang-orang yang Dia kehendaki sebagai bukti
kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Tidak disangsikan bahwa jika seorang menyaksikan musuhnya atau orang
yang dekat dengannya merasakan berbagai macam siksa dan kepedihan, sedangkan ia
bergelimang dengan berbagai jenis nikmat dan kelezatan, maka kegembiraannya
akan semakin bertambah serta kelezatan dan nikmat yang ia rasakan semakin besar
dan semakin sempurna.
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan
makhluk-Nya adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan itulah tujuan penciptaan
mereka. Allah berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku." (QS. adz-Dzaariyaat: 56)
Dapat dimaklumi bahwa kesempurnaan ibadah
yang dituntut dari manusia tidak dapat terealisasi dalam surga; sebagai tempat
kenikmatan yang abadi. Karena surga sebagai tempat kelezatan dan kenikmatan,
bukanlah tempat untuk mendapatkan cobaan, ujian, dan beban. Akan tetapi,
kesempurnaan ibadah tersebut hanya dapat terealisasi di bumi; tempat cobaan dan
ujian. Hikmah Allah SWT juga menghendaki agar Adam a.s. dan keturunannya
mempunyai struktur tubuh yang sarat dengan dorongan hawa nafsu dan fitnah, serta
dibekali akal dan ilmu. Allah SWT menciptakan dalam diri Adam a.s. akal dan
syahwat, dan memberi keduanya kecenderungan yang berbeda. Hal itu dimaksudkan
untuk merealisasikan kehendak-Nya dan menampakkan keagungan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Semua itu dilakukan Allah SWT dalam frame hikmah, kehebatan,
kasih sayang, kebaikan dan kelembutan-Nya, yang menjadi bukti kekuasaan dan
kerajaan-Nya.
Hikmah dan rahmat Allah SWT juga menghendaki
untuk menimpakan kepada Adam a.s. akibat dari tindakannya menyalahi aturan-Nya.
Allah SWT juga memberitahu Adam apa yang ia peroleh akibat mengikuti syahwat
dan hawa nafsunya, supaya dia semakin berhati-hati dan semakin menjauhinya.
Dengan demikian, kondisi Nabi Adam a.s. bagaikan seseorang yang berada dalam
perjalanan, di mana musuh-musuhnya bersembunyi di samping, di belakang, dan di
depannya, sedangkan dia tidak menyadarinya. Jika dia mendapat serangan satu
kali saja, maka dia akan terus waspada dan bersiap siaga sepanjang perjalanan.
Dia juga akan melakukan persiapan untuk menghadapi musuh-musuhnya, serta
mempersiapkan segala sesuatu yang dapat melindunginya dari serangan musuh-musuh
tersebut. Seandainya dia sama sekali tidak pernah merasakan kekalahan akibat
serangan dan konspirasi musuh, maka ia tidak akan pernah waspada dan bersiap
siaga serta tidak akan mempersiapkan persenjataan.
Maka, di antara kesempurnaan nikmat Allah SWT
kepada Adam a.s. dan keturunannya, Dia memperlihatkan apa yang dilakukan musuh
terhadap mereka, supaya mereka bersiap siaga dan melakukan persiapan untuk
menghadapinya. Kalau dikatakan bahwa bisa saja musuh-musuh tersebut tidak mampu
menguasai Adam a.s. dan keturunannya, maka jawaban untuk hal ini adalah bahwa
Allah SWT telah menciptakan Adam a.s. dan keturunannya dalam bentuk dan
struktur tubuh yang mengharuskan mereka berbaur dengan musuh-musuh tersebut,
serta mengharuskan mereka menjalani ujian di tangan musuh-musuh itu. Seandainya
Allah SWT menghendaki, niscaya Dia menciptakan Adam a.s. dan keturunannya
seperti malaikat, yang memiliki akal tanpa syahwat sehingga musuh-musuh tidak
mampu mengganggu mereka. Akan tetapi, seandainya mereka diciptakan dalam bentuk
demikian, maka mereka adalah makhluk lain, bukan anak cucu Adam a.s.. Karena
sesungguhnya anak-cucu Adam a.s. terbentuk dari unsur akal dan syahwat. Di
samping itu, karena cinta kepada Allah SWT yang merupakan puncak kesempurnaan
dan kebahagiaan seorang hamba hanya terwujud dengan menanggung kesulitan demi
ketaatan dan keridhaan-Nya, maka hanya dengan menjalani semua itulah cinta
sejati dapat terwujud dan dapat diketahui keteguhannya di dalam hati.
Hikmah Allah SWT menghendaki untuk
mengeluarkan Adam a.s. dan keturunannya ke tempat yang diliputi syahwat dan
kecintaan kepada hawa nafsu. Sedangkan, cinta kepada Allah SWT hanya akan
terwujud dengan mengutamakan kebenaran dan menghindari hawa nafsu, serta
hal-hal yang lain di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut untuk memikul
kesulitan yang berat, menjalani marabahaya, menanggung celaan, bersabar
menghadapi kezaliman dan kesesatan, serta dituntut untuk menanggulanginya.
Semua ini memperkokoh kekuatan cinta yang tertanam di dalam relung hati.
Kemudian hasilnya pun akan dinikmati oleh seluruh anggota tubuhnya.
Sesungguhnya cinta yang hakiki dan membuahkan
hasil adalah cinta yang tetap tegar menghadapi berbagai hambatan, tantangan,
dan gangguan. Sedangkan, cinta yang mensyaratkan (menuntut) kebahagiaan,
kenikmatan, kesenangan, dan terpenuhinya keinginan sang pencinta dari yang
dicinta, maka ini bukanlah cinta yang sejati. la sama sekali tidak mempunyai
keteguhan menghadapi tantangan dan rintangan. Karena sesuatu yang tergantung
pada syarat, akan hilang di kala syarat itu hilang. Barangsiapa menyayangi Anda
karena sesuatu, maka dia akan berpaling di saat sesuatu tersebut hilang. Jadi,
orang yang menyembah Allah SWT hanya di kala bahagia, sejahtera, dan sehat,
berbeda dengan orang yang tetap menyembah Allah SWT di kala susah dan bahagia,
menderita dan sejahtera, serta di kala sakit dan sehat.
Komentar
Posting Komentar