HIKMAH PETUNJUK DAN KESESATAN Rahasia Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi (Bagian Ketiga)
HIKMAH PETUNJUK DAN KESESATAN
Rahasia Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi
(Bagian Ketiga)
Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.
Segala
Puji bagi Allah SWT dengan pujian yang
sempurna dan tanpa akhir. Sesungguhnya sebab yang membuat Allah swt Maha
Terpuji itu ada dua, yaitu Maha Pemurah dan Maha Adil. Maka, Allah SWT terpuji
pada kedua hal tersebut. Oleh karena itu, sebab-sebab keadilan dan
penyebutannya harus Tampak, sehingga kesempurnaan pujian yang pantas bagi-Nya
dapat terwujud. Dan sebagaimana Dia terpuji dalam kebaikan, kasih sayang, dan
kemurahan-Nya, Dia juga terpuji dalam keadilan, ganjaran, dan siksa-Nya, karena
semua itu berasal dari keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, dalam
Al-Qur'an Allah SWT seringkali mengingatkan hal ini. Seperti yang terdapat
dalam surah asy-Syu'araa', yang pada akhir setiap kisah para rasul dan umat
mereka, Allah swt berfirman,
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً ۖ وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ
مُؤْمِنِينَ
وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
"Sesungguhnya 'pada yang demikian itu
benar-benar merupakan suatu tanda yang besar, tetapi adalah kebanyakan mereka
tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Penyayang." (asy-Syu'araa : 8-9)
Sesungguhnya
Allah SWT telah memberitahukan bahwa kebaikan, kasih sayang, kemurahan,
keadilan, pahala, dan siksa adalah berasal dari keagungan-Nya, yang meliputi kesempurnaannya
kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya, serta ketepatan penempatan-Nya
terhadap segala sesuatu pada posisinya masing-masing. Sebagaimana Allah swt
tidak akan memberikan kenikmatan dan keselamatan kecuali kepada para rasul dan
pengikutnya. Allah swt tidak akan menimpakan kemurkaan dan kebinasaan kecuali
kepada para musuh-Nya. Semua ini merupakan penempatan yang tepat, terjadi
karena sempurnanya keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, setelah
memberitahukan ketetapan-Nya bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang
sengsara serta perjalanan mereka ke tempat yang sesuai bagi mereka
masing-masing, maka Allah swt berfirma:
وَتَرَى الْمَلَائِكَةَ حَافِّينَ مِنْ حَوْلِ
الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ ۖ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat
berlingkar di sekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi
putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam". (QS. az-Zumar: 75)
Sesungguhnya,
kemahabijaksanaan dan kemahaterpujian Allah SWT menghendaki adanya perbedaan
yang sangat besar dan mencolok di antara hamba-hamba-Nya. Hal ini Dia lakukan
agar hamba-hamba-Nya yang mendapatkan nikmat dan kemurahan-Nya mengetahui bahwa
Allah SWT telah menganugerahkan nikmat dan kemurahan serta kemuliaan yang tidak
diberikan kepada yang lainnya, semua itu agar mereka mau bersyukur. Seandainya
semua manusia sama dalam memperoleh nikmat dan kesejahteraan, maka mereka yang
memperoleh nikmat tidak akan mengetahui nilai nikmat itu sendiri dan tidak akan
berusaha untuk bersyukur karena mereka telah merasakan bahwa kondisi semua
orang sama dengannya.
Di
antara faktor penyebab yang paling dominan yang membuat seorang hamba
bersyukur, adalah ketika dia melihat dirinya dalam kondisi yang berbeda dengan
hamba yang lainnya, ketika dia berada dalam keadaan serba cukup dan beruntung. Terdapat
sebuah riwayat yang cukup terkenal, tatkala Allah SWT memperlihatkan kepada
Adam a.s. kondisi keturunannya dan perbedaan tingkatan mereka, Adam a.s.
berkata, "Wahai Tuhanku mengapa
Engkau tidak menyamakan derajat hamba-hamba-Mu?" Allah SWT menjawab,
"Saya suka menerima rasa syukur." Maka, keinginan Allah SWT untuk
disyukuri, menuntut diciptakannya sebab-sebab yang menjadikan rasa syukur
hamba-hamba-Nya lebih besar dan lebih sempurna. Inilah sesungguhnya esensi
kebijaksanaan Allah SWT yang berasal dari sifat keterpujian-Nya. Tidak ada
sesuatu yang lebih disenangi Allah SWT dari seorang hamba, selain ketundukan,
kepatuhan, ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepasrahan di hadapan-Nya. Sebagaimana
diketahui bahwa hal-hal di atas yang dituntut dari seorang hamba, hanya
tercapai jika sebab-sebab pendukungnya ada. Sedangkan, sebab-sebab tersebut
tidak bisa terwujud di dalam surga, yang merupakan tempat kenikmatan yang
mutlak dan kesehatan yang sempurna. Tentunya, jika sebab-sebab tersebut
terwujud di surga, maka hal ini memiliki konsekuensi penggabungan dua hal yang
kontradiktif.
Sesungguhnya,
hanya Allah SWT yang berkuasa mencipta dan memerintah. Perintah-Nya itu adalah
syariat dan agama-Nya yang diturunkan melalui para nabi dan kitab-kitab-Nya.
Sedangkan surga bukanlah tempat menjalankan ketetapan syara', di mana
hukum-hukum dan akibat-akibatnya berlaku. Akan tetapi, surga adalah tempat
kenikmatan dan kesenangan. Dan, hikmah Allah SWT menghendaki Adam a.s. beserta
keturunannya dikeluarkan ke suatu tempat, yang di dalamnya hukum-hukum syara'
dan perintah Allah berlaku. Sehingga, konsekuensi dari perintah tersebut dan
akibat-akibatnya tampak pada diri mereka. Sebagaimana perbuatan dan penciptaan
Allah SWT merupakan konsekuensi koheren dari kesempurnaan Asmaa 'ul-Husna dan
sifat-sifat-Nya Yang Maha Agung.
Abdullah,
putra Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Zawa'idul-Musnad (V/135) yang disandarkan
kepada sahabat Nabi Ubai bin Ka'ab (hadits mauquf) dan ath-Thabari dalam
tafsirnya (IX/115). Ibnu Katsir menyandarkannya kepada Ibnu Hatim dan Ibnu
Mardawaih dalam Tafsir Ibnu Katsir (IV263). Demikian juga halnya dengan
syariat-Nya, yang meliputi pahala dan siksa. Allah SWT menunjukkan hal ini pada
ayat lain dalam Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya,
أَيَحْسَبُ
الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
"Apakah manusia mengira bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban." (QS. al-Qiyaamah:
36)
Secara
implisit, Allah swt mengajukan sebuah pertanyaan retoris “apakah mereka mengira bahwa mereka tidak dipedulikan, dibiarkan, tidak
diperintah, tidak dilarang, tidak diberi pahala, dan tidak disiksa? Ayat
ini menunjukkan bahwa anggapan tadi bertentangan dengan kesempurnaan hikmah-Nya.
Ketuhanan, keagungan, serta hikmah-Nya menolak hal tersebut. Oleh karena itu,
Allah SWT berfirman dalam bentuk pengingkaran terhadap orang yang memiliki
prasangka di atas. Ini menunjukkan bahwa kebaikan Allah SWT tertanam dalam
fitrah dan akal manusia. Begitu pula buruknya membiarkan kebaikan, juga
tertanam di dalam fitrah manusia. Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang
keburukannya tertanam di dalam fitrah dan akal manusia dapat dinisbatkan kepada
Tuhan? Allah SWT berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
"Maka apakah kamu mengira bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara bermain-main saja dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada Kami?Maka, Maha Tinggi Allah, Raja yang
sebenamya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang memiliki Arasy yang
mulia." (QS. al-Mu rninuun: 115-116)
Sesuai
dengan konteks ayat di atas, sesungguhnya Allah SWT mensucikan Zat-Nya dari
anggapan batil yang bertentangan dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta tidak
layak bagi keagungan-Nya. Dia juga menegaskan bahwa penisbatan anggapan
tersebut kepada-Nya tidaklah benar. Dan, ayat-ayat seperti ini banyak terdapat
dalam Al-Qur'an. Allah SWT menyukai, bagi hamba-hamba-Nya, hal-hal yang
perealisasiannya tergantung pada terwujudnya sebab-sebab yang mereka capai,
yang menghantarkan kepada hal-hal tersebut. Hal-hal tersebut tidak dapat
tercapai kecuali dalam tempat cobaan serta ujian. Maka, Allah SWT mencintai
orang-orang yang sabar, orang-orang yang bersyukur, orang-orang yang bersatu
untuk berperang di jalan-Nya, orang-orang yang bertobat, dan orang-orang yang
menyucikan diri mereka.
Sungguh
merupakan hal yang sudah jelas, bahwa kecintaan Allah ini tidak akan tercapai
tanpa adanya sebab-sebab, sebagaimana kemustahilan terwujudnya akibat tanpa
adanya sebab. Kegembiraan Allah SWT atas tobat hamba-Nya lebih besar daripada
kegembiraan seseorang yang kehilangan tunggangan beserta seluruh perbekalan di
atasnya di sebuah lembah nan tandus, lalu tiba-tiba ia menemukannya. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya kegembiraan Allah karena
tobat seorang mukmin, lebih besar daripada seseorang yang berada di tanah
tandus bersama hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya, lalu ia
tertidur. Tatkala terbangun ia tidak menemukan tunggangannya. Kemudian dia
mencarinya hingga dahaga menyerangnya, sehingga ia putus asa dan berkata, 'Aku
akan kembali ke tempat di mana aku
tertidur, dan aku akan tidur lagi sampai aku mati.' Maka dia pun meletakkan
kepala di atas lengannya, untuk bersiap-siap menyambut kematian. Namun,
tiba-tiba dia terbangun dan melihat hewan tunggangannya yang membawa seluruh
bekalnya berada di sampingnya. Maka, kegembiraan Allah karena tobat seorang
mukmin, lebih besar daripada kegembiraan orang tersebut." (HR Bukhari,
Muslim, dan Tirmidzi)
Maksud
dari hadits di atas secara ringkas adalah bahwa kegembiraan Allah SWT timbul
setelah hamba tersebut bertobat dari dosanya. Karena sesungguhnya, tobat dan
dosa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kegembiraan itu,
sebagaimana akibat tidak akan ada tanpa adanya sebab. Jika kegembiraan Allah
SWT hanya terwujud karena tobat yang tidak terpisahkan dari dosa, maka
kegembiraan-Nya tersebut tidak akan terjadi di surga, tempat kenikmatan, di
mana dosa dan pelanggaran tidak ada. Dan ketika terwujudnya kegembiraan itu
lebih Allah SWT sukai daripada ketiadaannya, maka kesukaan Allah tersebut
mengharuskan diciptakannya sebab-sebab terwujudnya kegembiraan yang disukai
oleh-Nya.
Sesungguhnya
Allah SWT menjadikan surga sebagai tempat menerima imbalan dan pahala, dan
membagi-bagi tingkatan surga, sesuai amal perbuatan para penghuninya. Maka,
Allah SWT menciptakan surga dan membagi-bagi tingkatannya, karena di dalam
pembagian itu terdapat hikmah yang sesuai dengan nama dan sifat-sifat-Nya.
Sesungguhnya surga bertingkat-tingkat, dan jarak antara satu tingkat dengan
tingkat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam riwayat yang shahih, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya surga itu terdiri dari
seratus tingkatan. Jarak antarsatu tingkatan dengan yang lain seperti jarak
antara bumi dan langit."(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Sungguh
terdapat Hikmah bahwa Allah SWT menghendaki agar semua tingkatan surga ini
dihuni. Dan, perbedaan tingkatan-tingkatan surga itu sesuai dengan amal
perbuatan penghuninya. Ini sebagaimana dikatakan oleh beberapa ulama salaf, "Para penghuni surga selamat dari siksa
neraka adalah karena maaf dan ampunan Allah SWT. Mereka masuk surga karena
kemurahan, nikmat, dan ampunan Allah SWT semata. Dan, mereka membagibagi tempat
mereka di surga sesuai dengan amal perbuatan mereka."
Berdasarkan
hal ini, beberapa ulama menetapkan bahwa seseorang masuk surga adalah karena
amal perbuatannya, sebagaimana firman Allah SWT,
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Dan itulah surga yang diwariskan
kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan." (QS.az-Zukhruuf:
72).
Begitu pula firman-Nya,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." (QS.an-Nahl:
32)
Sedangkan
nash-nash yang menunjukkan bahwa seseorang tidak masuk surga karena amal
perbuatannya, seperti sabda Rasulullah saw. dalam hadits riwayat Bukhari, "Tak seorang pun akan masuk surga
karena amalnya." Lalu para sahabat bertanya, "Apakah engkau juga
wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Demikian pula aku."
Maksudnya
bahwa pada dasarnya mereka tidak masuk surga. Jawaban yang lebih tepat adalah
bahwa huruf ba' yang bermakna sebab bukan huruf ba' yang tidak memiliki
makna sebab. Huruf ba' pertama ini disebut ba' sababiyyah (ba' yang memiliki
arti sebab), yang berarti bahwa amal perbuatan adalah sebab masuk surga,
sebagaimana semua sebab membutuhkan akibat. Sedangkan ba' yang kedua yang tidak
bermakna sebab, dinamakan ba' mu 'aawadhah wa muqaabalah, Dan
inilah ba' yang terdapat dalam hadits di atas. Maka, Rasulullah saw. bersabda
bahwa masuk surga bukanlah imbalan dari amal seseorang. Seandainya bukan karena
limpahan kasih sayang Allah SWT, maka tidak seorang pun masuk surga.
Jadi
amal seorang hamba, meskipun tidak terbatas jumlahnya, bukan satu-satunya hal
yang mengharuskan dia masuk surga, dan bukan pula masuk surga itu sebagai ganti
amalnya. Meskipun amal seorang hamba dilakukan sesuai dengan cara yang dicintai
dan diridhai Allah SWT, namun itu tidak dapat mengimbangi dan menyamai nikmat
yang Allah SWT limpahkan kepadanya di dunia. Bahkan, jika amal perbuatannya
dihisab, maka itu hanya setimpal dengan sedikit nikmat Allah SWT. Sedangkan,
nikmat-nikmat Allah SWT lain yang ia terima, masih memerlukan rasa syukur.
Jadi
Allah SWT mengazabnya padahal ia telah berbuat kebajikan, maka itu bukanlah
kezaliman dari-Nya atas orang tersebut. Dan apabila Allah SWT memberikan
rahmat-Nya kepada orang tersebut, maka rahmat-Nya itu jauh lebih baik dari amal
perbuatannya. Ini sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Zaid Bin
Tsabit, Hudzaifah dan Iain-lain, yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan yang
dinisbatkan kepada Nabi saw. "Jika
Allah berkehendak mengazab para penghuni surga dan para penghuni bumi-Nya, Dia
pasti mengazab mereka, dan itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas mereka. Dan
jika Allah member! rahmat-Nya kepada mereka, maka rahmat-Nya lebih baik dari
amal perbuatan mereka." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban)
Komentar
Posting Komentar