Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Dua

 

MULIANYA ORANG BERILMU

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Kedua Puluh Dua

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Kedua Puluh Satu mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu  dari sudut pandang keseratus tiga puluh sampai dengan keseratus tiga puluh dua. Pembahasan berikutnya akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang keseratus  tiga puluh tiga hingga sudut pandang keseratus tiga puluh lima. Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Seratus tiga puluh tiga: Marilah kita simak dengan seksama Hadits Nabi SAW, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hibban, dalam shahihnya, telah meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda, "Musa bertanya kepada Tuhannya tentang enam hal yang dahulu dia kira semuanya adalah khusus untuknya dan yang ketujuh tidak ia sukai. la bertanya, 'Wahai Tuhanku, siapa hamba-Mu yang paling bertakwa?'Allah SWT berfirman, 'Yang selalu mengingat-Ku dan tidak pernah lupa.' Tanya Musa, 'Lalu siapa yang paling mendapatkan petunjuk? 'Allah berfirman, 'Yang mengikuti petunjuk hidayah. 'Musa bertanya lagi, 'Siapa yang paling bijak?' Dia berfirman, 'Orang yang memutuskan (hukum) untuk orang lain sama dengan apa yang ia putuskan untuk dirinya sendiri.' tanyanya kemudian, 'Siapa yang paling berilmu?' jawab-Nya, 'Orang alim yang tidak pernah kenyang akan ilmu; dia menyatukan ilmu orang-orang dengan ilmunya.' Tanya Musa' 'Siapa yang paling mulia?'Jawab-Nya, 'Orang yang memaafkan padahal dapat membalas.' Tanya Musa,'Siapa yang paling kaya? ‘Allah SWT menjawab, 'Orang yang rela dengan apa yang diberikan padanya.' Dia bertanya lagi, 'Lalu siapa yang paling miskin?' Jawab-Nya, 'Orang yang selalu kurang.'"

Jika kita cermati hadits di atas, sesungguhnya Rasulullah saw. memberitahukan bahwa hamba-Nya yang paling 'alim (paling pandai) adalah orang yang tidak kenyang dengan ilmu. la selalu mengumpulkan ilmu manusia, lalu menggabungkannya dengan ilmunya karena kegemaran, semangatnya, dan perhatiannya terhadap ilmu. Sungguh tidak  diragukan lagi bahwa kalau seorang hamba Allah dikatakan paling 'alim menunjukkan bahwa ilmu itu agung. Inilah yang mendorong Musa melakukan perjalanan mencari orang paling pandai sejagat, yaitu Khidir agar mengajarinya sedikit dari yang diajarkan Allah SWT kepadanya.

Demikianlah, padahal Nabi Musa sendiri dianugerahi kemampuan berbicara dengan Tuhannya. la adalah orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT pada zamannya dan ia juga orang yang paling luas ilmunya. Perhatiannya dan kegemarannya akan ilmu telah membawanya menempuh perjalanan ke orang pintar ('alim) yang ciri-cirinya telah disebutkan kepadanya. Kalaulah ilmu bukan hal termulia yang patut darah ditumpahkan dan keringat dikucurkan untuk mendapatkannya, tentu Musa tidak akan menempuh perjalanan kepada Khidir dan dia menyibukkan diri dengan menangani urusan umat yang diembannya. Pasti ia tidak mau menanggung kelelahan, sulitnya perjalanan, dan beramah tamah terhadap Khidir dengan ucapannya:

قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

 "Musa berkata kepada Khidir, 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (al-Kahfi: 66)

Berdasarkan redaksi ayat di atas, cukup jelas bahwa Musa tidak mau mengikutinya sebelum minta izin dahulu dan memberi tahu bahwa dia datang sebagai seorang pelajar yang mencari didikan. Demikianlah, nabi yang mulia ini tahu akan kadar mulianya ilmu dan para ulama.

Seratus tiga puluh empat. Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang mencakup cinta kepada-Nya dan mengutamakan ridha-Nya, serta yang menuntut adanya ma’rifah terhadap-Nya. Allah swt telah menganugerahkan ilmu kepada hamba-hamba-Nya yang tiada kesempurnaan bagi mereka tanpanya, sehingga semua gerak-gerik mereka sesuai dengan apa yang dicintai dan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, Allah swt mengutus para rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, dan menetapkan syariat-Nya.

Dengan demikian, kesempurnaan hakiki seorang hamba adalah kalau gerak dan aktivitasnya selaras dengan apa yang dicintai Allah SWT. Oleh karena itu, Allah swt menjadikan ittibaa' (mengikuti) rasul-Nya sebagai bukti cinta kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31)

Sesungguhnya, orang yang benar-benar merasakan cinta akan menganggap dirinya berkhianat kepada kekasihnya apabila dia berprilaku dengan seenaknya sendiri di luar keridhaan sang kekasihnya. Apabila ia melakukan suatu perbuatan yang dibolehkan karena dorongan tabiat manusiawi dan instingnya sendiri, ia pun akan bertaubat seperti taubat karena dosa. Kondisi ini makin menguat pada dirinya sampai akhirnya segala hal yang dibolehkan baginya berubah menjadi bernilai ketaatan dan ibadah yang benar.

Aktivitas tidur, makan atau istirahatnya berpahala seperti nilai tahajud, puasa, dan amalan lainnya. Dia senantiasa berada antara kebahagiaan yang ia syukuri dan malapetaka yang ia sabar menghadapinya. Dia selalu berjalan menuju Allah SWT kala tidur maupun sadar. Seorang ulama berkata, "Adat kebiasaan orang-orang cerdas senilai dengan ibadah orang-orang dungu, dan ibadah orang-orang dungu adalah adat kebiasaan belaka."

Seorang salaf berkata, "Luar biasa tidur dan makannya orang-orang cerdas, ia melebihi tahajud dan puasa orang-orang dungu."  Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa orang yang benar-benar jatuh cinta, bila berkata, ia berkata karena Allah SWT, dan bila diam juga diam karena-Nya. Jika bergerak, geraknya itu adalah karena perintah Allah SWT; dan apabila diam, maka diamnya itu untuk mengumpulkan tenaga guna melaksanakan ibadah. Kesimpulannya, dirinya untuk Allah SWT, karena Allah SWT, dan bersama Allah SWT.

Tentunya kita sudah memahami bahwa pemilik tingkatan ini adalah orang yang paling butuh kepada ilmu, karena tanpa ilmu dia tidak dapat membedakan mana gerak yang dicintai Allah SWT dan yang dibenci, mana diam yang disukai Allah dan mana yang dibenci. Kebutuhannya kepada ilmu tidak seperti kebutuhan orang yang menuntut ilmu karena ilmu itu sendiri, atau karena ilmu itu sifat kesempurnaan. Akan tetapi, kebutuhannya kepada ilmu seperti hajatnya kepada kebutuhan pokoknya.

Oleh karena itu, para ahli makrifat sangat menekankan wasiat kepada murid-murid mereka untuk mencari ilmu dan sesungguhnya orang yang tidak menuntut ilmu tidak akan beruntung. Sampai-sampai mereka menganggap orang yang tidak berilmu sebagai orang-orang hina. Saat ditanya siapakah orang yang hina-dina itu, Dzun Nun menjawab, "Orang yang tidak mengetahui jalan menuju Allah SWT dan tidak berupaya mengetahuinya." Abu Yazid berkata, "Kalau kalian melihat orang yang mendapat qaromah sampai dapat duduk bersila di udara, maka kalian jangan tertipu olehnya sampai kalian dapat melihat sejauh mana engkau mendapatkannya bersikap terhadap perintah dan larangan Allah, menjaga batasan-batasan agama, dan mengetahui hukum-hukum syariat." Abu Hamzah al-Bazzaz berkata, "Siapa yang telah mengetahui jalan kebenaran, maka terasa mudah baginya menempuhnya. Tidak ada petunjuk di jalan itu selain mengikuti Rasulullah saw. dalam perkataan, perbuatan, dan sikap beliau."

Seorang sufi yang zuhud, Muhammad bin al-Fadhl, berkata, "Pudarnya Islam karena ulah empat tipe manusia. Pertama: orang yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Kedua: orang yang beramal tanpa landasan ilmu. Ketiga: orang yang tidak beramal dan tidak berilmu. Dan keempat: orang yang menghalangi manusia mencari ilmu." Saya katakan bahwa tipe pertama, yaitu orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkannya, adalah orang yang paling berbahaya bagi masyarakat awam. Ia menjadi rujukan bagi mereka dalam setiap hal hingga kekurangannya. Yang kedua adalah 'aabid 'orang yang banyak ibadah' yang tidak berilmu. Orang-orang berbaik sangka kepadanya karena ibadah dan kesalehannya, maka mereka menjadikannya teladan meski dia tidak tahu apa-apa. Kedua kelompok inilah yang disinggung oleh seorang salaf dengan ucapannya, "Waspadailah bahaya ilmuwan yang bejat dan ahli ibadah yang tidak berilmu, karena bahaya mereka menimpa setiap orang." Ini karena masyarakat pasti meneladani para ulama dan orang yang banyak beribadah dari mereka.

Apabila para ulama bejat dan ahli ibadah tidak berilmu, musibah menyebar luas dan bencana yang besar menimpa semua kalangan, khusus dan awam. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang tidak punya ilmu dan tidak melakukan amal. Mereka tidak lebih dari hewan ternak. Keempat adalah agen-agen iblis di muka bumi. Mereka adalah orang-orang yang mencegah manusia menuntut ilmu dan memperdalam agama. Mereka ini lebih berbahaya daripada setan-setan jenis makhluk halus karena mereka menjadi batu penghalang antara hati manusia dan petunjuk Allah SWT.

Keempat kelompok tersebut di atas yang telah disebutkan oleh orang bijak tersebut. Mereka semua berada di tepi jurang yang menganga dan menuju jalan kebinasaan. Perlawanan dan penindasan yang ditemui oleh seorang alim dan dai ke jalan Allah SWT dan rasul-Nya tidak lain karena ulah tangan mereka.

Sesungguhnya, Allah SWT menggunakan siapa saja yang dikehendakinya untuk kemurkaan-Nya sebagaimana dia menggunakan orang yang dicintai-Nya dalam keridhaan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tahu dan Melihat hamba-hamba-Nya. Rahasia dan metode kelompok-kelompok ini tidak tersingkap kecuali dengan ilmu. Dengan demikian, semua berkah dan pujian kembali kepada ilmu, sedang semua kejahatan bermuara pada faktor kebodohan.

Seratus tiga puluh lima. Ketahuilah, sesunggihnya Allah SWT telah menjadikan para ulama sebagai wakil dan kepercayaan-Nya atas agama dan wahyu-Nya. Allah swt telah meridhai mereka untuk menjaga, melaksanakan, dan membelanya. Alangkah mulia dan tingginya kedudukan ini. Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al-An'am Ayat 88-89:

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ۚ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَٰؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ

 "Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka ituiah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmat (pemahaman agama), dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami telah menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya." (QS.al-An'aam: 88-89)

Terkait dengan konteks ayat tersebut di atas, Ada yang berpandangan bahwa kata 'qauman' dalam ayat tersebut maksudnya para nabi, ada juga yang berpendapat  bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah saw., dan yang terakhir berpendapat mereka adalah tiap mukmin. Inilah beragam pendapat yang ada, dengan mengenyampingkan pendapat-pendapat lain yang merupakan pendapat-pendapat tersebut; seperti pendapat yang mengatakan mereka adalah kaum Anshar, Muhajirin atau kaum Muhajirin dan Anshar, atau kaum keturunan Persia.

Ada pula pendapat lainnya yang mengatakan bahwa mereka adalah malaikat. Ibnu Jarir menulis, "Pendapat yang paling tepat, mereka adalah delapan belas nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelum ayat ini. Karena, pembicaraan pada ayat-ayat sebelumnya adalah tentang mereka, dan pada ayat setelahnya disinggung tentang mereka, maka yang berikutnya lebih patut dan pas jika berbicara tentang mereka daripada berbicara tentang orang lain. Dengan demikian, arti ayat di atas seperti berikut, 'Wahai Muhammad, jika kaummu, kaum Quraisy, mengingkari ayat-ayat Kami dan mendustakan hakikatnya, sesungguhnya Kami telah meminta kepada para rasul dan nabi Kami sebelum kamu agar menjaga dan memeliharanya. Mereka menjaga ayat-ayat itu, tidak mendustakan hakikatnya, dan tidak mengingkarinya. Mereka membenarkan dan mengimani kebenarannya."

Ibnu Jarir mengatakan bahwa surah ini turun di Mekah (Makkiyyah). Dan pernyataan Allah swt  'haa ulaai', 'mereka' adalah’ isyarat kepada kaum Rasulullah yang kafir secara khusus, dan kepada kaum lain yang kafir secara umum. Dengan demikian, setiap orang dari umat ini yang tidak beriman kepada apa yang beliau bawa masuk dalam lafal ini. Dan "qauman" (kaum yang diserahi amanat untuk mengembannya) adalah para nabi secara khusus dan orang-orang yang beriman kepada mereka secara umum. Sehingga, mencakup setiap orang yang menjaga, membela dan mendakwahkannya. Orang yang paling berhak dicakup ke dalamnya di kalangan pengikut Rasulullah saw. adalah para khalifah dan ahli waris beliau, para ulama. Merekalah orang-orang yang diserahi amanat untuk mengembannya. Dan, ini pas dengan pendapat-pendapat yang muncul seputar ayat ini.

Adapun terkait dengan pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah para malaikat amat lemah, tidak didukung oleh konteks dan tidak pas dengan kata 'qauman', karena umumnya —atau bahkan selalu— dalam Al-Qur’an kata qaum dipakai secara khusus untuk manusia, bukan malaikat. Adapun perkataan Ibrahim kepada para malaikat, 'qaumun munkaruun' itu karena Ibrahim mengira mereka manusia. Di samping itu, ini tidak sesuai dengan kedalaman arti yang diinginkan. Sehingga, kalau saja kata gantinya (dhamir) diganti dengan memakai kata benda zahir (yang jelas), dan firman itu berbentuk begini, "Jika kaummu mengingkari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Kami telah menyerahkannya kepada para malaikat; mereka tidak mengingkarinya", kita tidak merasakan adanya perendahan dan peremehan terhadap orang-orang kafir. Makna ini juga tidak menyiratkan ketidaklayakan orang-orang kafir itu untuk mengemban amanat tersebut. Juga tidak tersirat penjelasan bahwa orang-orang beriman lebih berhak dan layak diserahi ayat-ayat tersebut.

Sesungguhnya, Allah SWT lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan hidayah-Nya. Allah swt telah mengkhususkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sebagai bahan tambahan, ayat ini mengandung isyarat tentang penjagaan ayat-ayat Allah SWT dan bahwa ayat-ayat itu tidak akan sia-sia. Walaupun orang-orang kafir itu menyia-nyiakannya dan tidak menerimanya, ada kaum selain mereka yang menerima, menjaga, dan membelanya. Kekafiran mereka itu tidak membuat ayat-ayat-Nya terbengkalai dan pudar, juga tidak mendatangkan mudarat baginya sama sekali. Karena ada orang-orang yang dipilih untuk mengembannya.

Marilah kita renungkan, betapa mulia dan agungnya makna ini. Sebuah makna yang mendorong kaum mukminin untuk bersegera dan cepat-cepat menerimanya. Sebuah makna yang di baliknya tersirat pernyataan cinta-Nya kepada mereka dan pengutamaan mereka dengan nikmat ini melebihi musuh-musuh-Nya yang kafir. Juga tersirat penghinaan terhadap orang-orang kafir itu dan ketidakpedulian-Nya kepada mereka. Seakan-akan Allah SWT mengejek mereka, "Walaupun kalian tidak beriman kepadanya, hamba-hamba-Ku yang mukmin yang Aku serahi ayat-ayat itu jumlahnya banyak."

Sebagaimana pernyataan Allah swt dalam firman-Nya:

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا

"Katakanlah, 'Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).' Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata 'Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” (QS. al-Israa’: 107-108)

Sebagai sebuah analogi, apabila seorang raja punya budak-budak yang membangkang, melanggar perintahnya, dan memandang sebelah mata kepada janjinya, namun ia juga punya budak-budak lain yang tunduk dan patuh kepada perintahnya, maka ia akan berkata kepada yang patuh, "Kalau mereka kafir terhadap nikmat-nikmatku, membangkang perintahku, dan menyepelekan janjiku, sesungguhnya aku punya hamba-hamba lain, yaitu kalian ini. Kalian mematuhi perintahku, menjaga janjiku, dan menunaikan hakku." Tentu dengan perkataan semacam ini budak-budaknya yang patuh mendapat kegembiraan, tambahan tenaga, dan kemauan untuk makin giat melaksanakan hak 'ubudiyah dan menambah kemuliaan tuan mereka. Hal ini riil, dapat dirasakan oleh indera dan terlihat oleh mata.

Terkait dengan konteks penyerahan ayat-ayat itu kepada mereka, telah menyiratkan makna bahwa Allah swt memberi taufik kepada mereka untuk mengimaninya, menunaikan hak-haknya, menjaga dan membelanya, serta mengikhlaskan diri untuk-Nya. Seperti seseorang yang mempercayai rekannya untuk mengurus sesuatu dan menjaganya. Kata 'bi-haa' yang pertama berhubungan dengan ‘wakkalnaa’, dan yang kedua berhubungan dengan ‘kaafiriin.’ Adapun huruf ba  pada 'bi-kaafiriina' adalah untuk menegaskan nafy (peniadaan).

Jika Anda bertanya, "Apakah dengan demikian salah seorang dari para wakil (yang diserahi ayat-ayat) ini dapat disebut sebagai wakil Allah SWT seperti seseorang boleh disebut wali Allah SWT?" Jawabannya, penggunaan kata kerja 'tawkii yang muqayyad (dihubungkan dengan suatu hal tertentu) tidak secara otomatis membolehkan penggunaan isim faa 'il 'subyeknya' secara mutlak. Seperti kata 'istikhlaaf. Adanya penggunaan kata ini tidak mesti menjadikan seseorang bisa disebut khalifah Allah. 'Istikhlaf dalam firman-Nya,:

وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ

"Dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya)." (al-A'raaf: 129)

Allah swt pun menegaskan kembali melalui firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah (berkuasa) di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka." (QS.an-Nuur: 55)

Kedua ayat tersebut di atas tidak secara otomatis melegitimasi penyebutan mereka dengan 'khalifah Allah' karena istikhlaf di sini muqayyad (dikaitkan dengan hal tertentu). Ketika Abu Bakar r.a. dipanggil seseorang, 'Wahai khalifah Allah!' ia berkata, "Aku bukan khalifah Allah. Aku tidak lebih dari sekedar khalifah Rasulullah. Dan, itu sudah cukup bagiku." Namun demikian, boleh saja dikatakan 'dia adalah wakil (yang diserahi) urusan itu'.

Tema utama yang dibahas oleh Ibnu Qoyyim di sini, bahwa 'tawkiil' (pewakilan) ini khusus kepada orang yang memegang ayat-ayat itu dengan menguasai ilmunya, mengamalkannya dan berjihad melawan musuh-musuhnya, membelanya, serta menepis penyelewengan orang-orang yang melampaui batas dan takwilan orang-orang bodoh. Juga, 'tawkiil' di sini adalah pewakilan secara rahmat, karunia, dan taufik; bukan pewakilan karena memerlukan bantuan, seperti orang yang mewakilkan urusannya kepada orang lain karena dia sedang pergi atau sibuk.

Seorang salaf berkata, "Arti 'fa-qad wakkalnaa bihaa qauman' adalah 'razaqnaahaa qauman' 'telah kami anugerahkan kepada suatu kaum." Oleh karenanya, orang yang mendapat karunia ayat-ayat itu tidak dapat disebut wakil Allah. Ini berbeda dengan 'wali Allah' yang terambil dari kata 'muwaalaah' yang berarti cinta dan kedekatan. Karena seseorang boleh disebut abdullah dan habibullah (hamba dan kekasih Allah), maka ia dapat pula disebut wali Allah. Dan, Allah SWT melakukan muwaalaah (kedekatan dan cinta) kepada hamba-Nya sebagai bentuk karunia dan rahmat-Nya. Berbeda dengan makhluk yang melakukan muwaalaah kepada makhluk lain untuk memperkuat dan memuliakan diri disebabkan sifat makhluk yang lemah dan hina.

Adapun Tuhan yang Maha Mulia dan Kaya tidak akan melakukan muwaalaah kepada makhluk-Nya karena dorongan kebutuhan atau kehinaan. Allah SWT berfirman:

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا

"Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya!" (al-lsraa: 111)

Sesungguhnya dalam ayat ini, Allah SWT tidak menafikan 'wali' (penolong) secara mutlak dan umum, melainkan hanya menyangkal kalau Allah swt mempunyai 'wali' karena faktor kebutuhan dan kehinaan. Dalam ayat lain Allah swt menyatakan adanya wali-wali-Nya:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

 "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS.Yunus: 62),

Allah swt pun berfirman:

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ

"Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." (QS. al-Baqarah: 257)

Sesungguhnya dalam kedua ayat di atas adalah muwaalaah rahmat, karunia, dan ihsan. Dan muwaalaah yang dinafikan (dalam ayat sebelumnya) adalah muwaalaah karena butuh dan kehinaan. Keterangan berikut menjelaskan hal ini.

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Dua untuk sudut pandang keseratus tiga puluh tiga hingga sudut pandang keseratus tiga puluh lima  ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kedua Puluh Tiga untuk sudut pandang keseratus Tiga Puluh Lima hingga sudut pandang selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

BERSAMA KELUARGA TERCINTA DI SURGA DUNIA DAN SURGA AKHIRAT