Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Tiga

 




KEUTAMAAN ILMU

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Kedua Puluh Tiga

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Kedua Puluh Dua mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu  dari sudut pandang keseratus tiga puluh tiga sampai dengan keseratus tiga puluh lima. Pembahasan berikutnya akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang keseratus  tiga puluh enam hingga sudut pandang keseratus tiga puluh lima. Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Seratus tiga puluh enam. Dalam hadits Nabi saw., yang diriwayatkan dalam beberapa versi, yang berbunyi: "Yang mengemban ilmu ini dari setiap generasi baru adalah orang-orang adil di antara mereka. Mereka menampik penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, klaim orang-orang yang salah, dan takwil orang-orang bodoh."

Rasulullah saw. menyebutkan bahwa ilmu yang beliau bawa diemban oleh orang-orang yang adil dari umatnya dalam setiap generasi sehingga tidak akan pernah sirna dan pudar. Sabda beliau ini sekaligus mengandung pernyataan bahwa orang-orang yang mengemban ilmu yang beliau bawa, yang beliau isyaratkan dengan 'haadzal-ilma', adalah orang-orang yang adil. Jadi, setiap pengemban ilmu yang diisyaratkan di atas pasti adil.

Oleh karena itu, seluruh umat ini mengetahui dan mengakui adilnya orang-orang yang menguasai dan menyebarkan ilmu itu. Dan, tidak diragukan bahwa orang yang sudah dinyatakan adil oleh Rasulullah saw. tidak ada cacat pada dirinya. Maka dari itu, para imam yang di tengah umat ini terkenal sebagai para periwayat dan penyebar ilmu warisan Nabi saw. semuanya adil dengan pernyataan langsung dari Rasulullah saw. tersebut. Dengan demikian, orang yang mengemban ilmu Rasulullah saw. hanyalah orang yang adil.

Namun demikian, kemungkinan terjadi kerancuan tentang makna 'keadilan', sehingga sebagian orang menyangka bahwa orang adil adalah orang yang tidak punya dosa sama sekali. Sebenarnya tidak demikian adanya. Seseorang tetap dapat dikatakan adil dan memegang amanah agama meskipun ada dosa yang harus dia tinggalkan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Jadi, adanya hal seperti itu tidak menafikan sifat keadilan seseorang sebagaimana juga tidak menafikan sifat iman dan kewalian.

Adapun mengenai sanad Hadits, "Yahmilu Haadzal- 'ilma min Kulli Khalafin 'Uduuluhu " adalah sebagai berikut: Pertama: riwayat Ibnu 'Ady dari Musa bin Ismail bin Musa bin Jakfar, dari bapaknya dari kakeknya, Jakfar bin Muhammad, dari bapaknya, dari AH, dari Nabi saw.. Kedua: riwayat al-'Awwam bin Hausyab dari Syahr bin Hausyab, dari Mu'adz, dari Nabi saw.. Ini disebutkan oleh al-Khathib dan Iain-lain. Ketiga: riwayat Ibnu 'Ady dari Laits bin Sa'ad, dari Yazid bin Abi Habib, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.. Keempat: riwayat Ibnu Jarir ath-Thabary dari Ibnu Abi Karimah, dari Mu'adz bin Rifa'ah as-Sulamy, dari Abu Utsman an-Nahdy, dari Usamah bin Zaid, dari Nabi saw. Kelima: riwayat Hammad bin Yazid, dari Buqyah bin Walid, dari Mu'adz bin Rifa'ah, dari Ibrahim bin Abdurrahman al-'Udzary dari Rasulullah saw. Imam Daruquthny berkata, "Ahmad bin Hasan bin Zaid meriwayatkan kepada kami dari Hasyim Ibnul Qasim dari Mutsanna bin Bakr, Mubassyir dan Iain-lain, semuanya mengatakan, 'Kami menerima hadits itu dari Mu'adz bin Rifa'ah dari Ibrahim bin Abdurrahman dari Nabi saw.' Ini berarti, hadits ini — yang diriwayatkan melalui jalur ini— tergolong hadits mursal karena Ibrahim bukan seorang sahabat, tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw.

Dalam kitab al-'Ilal, al-Khallal menulis, "Zuhair bin Shalih bin Ahmad mengatakan bahwa dia diberitahu oleh Mihna. Katanya, "Saya tanya Ahmad bin Hambal tentang hadits Mu'adz bin Rifa'ah dari Ibrahim bin Abdurrahman al-'Udzary ini, ia menjawab, 'Rasulullah saw. bersabda, 'Yang mengemban ilmu ini dari setiap generasi baru adalah orang-orang adil di antara mereka. Mereka menampik penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, klaim orang-rang yang salah, dan takwil orang-orang jahil.' Maka saya katakan kepada Ahmad, 'Sepertinya hadits itu maudhu' (palsu).' Ia menjawab, 'Tidak. Hadis itu shahih.' Saya tanya lagi, 'Dari siapa Anda mendengar hadits itu?' Beliau menjawab, 'Banyak.' Saya bertanya, 'Siapa mereka itu?' Ia berkata, Aku mendengarnya dari Miskin; hanya saja ia mengatakan dari Mu'adz dari al-Qasim bin Abdurrahman.' Imam Ahmad menambah, 'Sedang Mu'adz bin Rifa'ah tidak dha'if."

Keenam: riwayat Abu Shalih dari Laits bin Sa'ad, dari Yahya bin Said bin Said Ibnul Musayyib, dari Abdullah bin Mas'ud bahwa Nabi saw. bersabda, "Ilmu ini diwarisi oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi." Ketujuh: riwayat Abu Ahmad bin 'Ady dari Zuraiq bin Abdullah al-Alhany, dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah al-Bahily, dari Nabi saw.. Kedelapan: riwayat Ibnu 'Ady juga dari jalur Marwan al-Fuzary, dari Yazid bin Kisan, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. Kesembilan: riwayat Tamam dalam kitabnya, al-Fawa'id, dari hadits Laits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abul Khair, dari Abu Qubail, dari Abdullah bin Amru dan Abu Hurairah yang diriwayatkan darinya oleh Khalid bin Amru. Kesepuluh: riwayat Qadhi Ismail dari hadits Ali bin Muslim al-Balawy, dari Abu Shalih al-Asy'ary, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.

Seratus tiga puluh tujuh: Sesungguhnya urusan Agama dan dunia tergantung kepada keberadaan ilmu. Apabila ilmu lenyap, lenyap pulalah dunia dan agama. Jadi, tegaknya urusan agama dan dunia itu tergantung kepada ilmu. Al-Auza'iy menuturkan perkataan Ibnu Syihab az-Zuhry, "Berpegang kepada sunnah adalah keselamatan. Dan, ilmu akan diambil (oleh Allah) dengan cepat. Segarnya ilmu menjadi sebab kokohnya agama dan dunia, dan hilangnya ilmu adalah sebab lenyapnya semua itu." Sementara itu, Ibnu Wahb berkata, "Aku diberitahu oleh Yazid bahwa Ibnu Syihab menyatakan bahwa beberapa orang ulama dahulu berkata, "Berpegang kepada sunnah adalah keselamatan. Dan ilmu itu akan ditarik (kepada Allah) dengan cepat. Segarnya ilmu menjadi sebab kokohnya agama dan dunia, dan hilangnya ilmu adalah sebab lenyapnya semua itu."

Seratus tiga puluh delapan: Sesungguhnya keberadaan Ilmu akan mengangkat derajat pemiliknya di dunia dan akhirat melebihi derajat yang diangkat oleh kekuasaan, harta, atau lainnya. Ilmu itu menambah mulia orang yang mulia, mengangkat derajat budak belian sampai mendudukkannya setara dengan kedudukan para raja.

Telah disebutkan dalam hadits shahih dari az-Zuhry dari Abu Thufail bahwa Nafi' bin Abdul Harits mendatangi Umar bin Khatthab r.a. di Asafan, waktu itu Umar telah mengangkatnya menjadi wali Mekah, Umar pun menanyainya, "Siapa yang kau tunjuk menggantikanmu menjadi wali atas penduduk Mekah?" la menjawab, "Aku tunjuk Ibnu Abza." "Siapa Ibnu Abza itu?" tanya Umar. "Salah seorang bekas budak kami," jawabnya. Umar bertanya dengan heran, "Kenapa kau angkat seorang bekas budak?" Nafi' menjawab, "Karena dia pandai membaca Kitabullah dan menguasai masalah waris." Mendengar penjelasan ini, Umar berkata, "Hmm, begitu rupanya. Ketahuilah, bahwa Nabi kita pernah bersabda, 'Sesungguhnya dengan Kitab ini (Al-Qur'an) Allah mengangkat derajat satu kaum dan merendahkan kaum yang lain.'"

Abul Aliyah berkata, "Aku pernah mendatangi Ibnu Abbas saat ia tengah duduk di atas ranjang dan kaum Quraisy mengitarinya. Ketika melihat saya, ia mengulurkan tangan menyambut saya dan kemudian mendudukkan saya di atas ranjang itu bersamanya. Orang-orang Quraisy saling berbisik tentang aku. Ibnu Abbas tanggap akan hal itu. Ia berkata, 'Demikianlah ilmu ini menambah mulia orang yang mulia dan mendudukkan hamba sahaya di atas singgasana."'

Ibrahim al-Harby berkata, "Athav bin Abi Rabah adalah seorang budak hitam milik seorang wanita Mekah. Hidungnya seperti biji kacang. Suatu saat datanglah Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik kepada Athav bersama dua anaknya. Mereka duduk menunggu di dekatnya ketika ia sedang shalat. Setelah shalatnya selesai, ia berpaling ke arah mereka. Untuk beberapa lamanya mereka bertanya kepadanya tentang manasik haji. Kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya, 'Pergilah kalian berdua!' Setelah pergi, ia berkata kepada mereka, 'Wahai anakku, jangan malas mencari ilmu! Sesungguhnya aku tidak bisa melupakan betapa hinanya kita di depan budak hitam ini.'" Al-Harby bertutur, "Muhammad bin Abdurrahman seorang yang pendek lehernya dan masuk ke badannya. Melihat keadaan anaknya seperti itu, sang ibu berpesan, 'Wahai anakku, kamu pasti akan ditertawakan dan dihina di tiap majelis. Maka, kamu harus menuntut ilmu karena ilmu itulah yang akan mengangkat derajatmu.' la menuruti pesan ibunya sehingga akhirnya berhasil memegang peradilan Mekah selama dua puluh tahun." Al-Harby melanjutkan, "Apabila ada orang berperkara yang datang dan duduk di hadapannya, ia gemetar sampai ia bangkit berdiri. Dan pada suatu hari ia berdoa yang didengar oleh seorang wanita yang tengah lewat, 'Ya Allah, selamatkan leherku dari api neraka!' Maka, wanita itu berseloroh, 'Hai anak saudaraku, memangnya kamu punya leher?' Yahya bin Aktsam bercerita, "Harun ar-Rasyid bertanya kepadaku, 'Kedudukan apa yang paling tinggi?' Aku menjawab, 'Kedudukan yang kau miliki, Amirul Mukminin!' Ia bertanya lagi, 'Tahukah kamu orang yang lebih mulia daripada aku?' Aku menjawab, Tidak.' Ia melanjutkan, Aku tahu, dia adalah orang yang berada di dalam sebuah halaqah; meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw..' Aku bertanya, 'Wahai-Amirul Mukminin, benarkah dia lebih baik dari engkau padahal engkau adalah keturunan paman Rasulullah dan pemimpin kaum mukminin?' Ia menjawab, 'Benar, dia lebih baik dari aku karena namanya bersambung dengan nama Rasulullah saw; dia tidak mati selamanya. Kita akan binasa tapi para ulama tetap hidup sepanjang masa.'"

Khaitsamah bin Sulaiman berkata, "Aku dengar Abul Khanajir bercerita, 'Saat itu kami berada di majelis Ibnu Harun saat orang-orang sedang berkumpul. Pada waktu itu Amirul Mukminin lewat. Ia berdiri dekat majelis kami yang telah dihadiri oleh ribuan orang tersebut. Ia menoleh ke arah para pengiringnya seraya berkata, 'Orang inilah (Ibnu Harun) sang raja!'"

Dalam Tarikh Baghdad karangan al-Khathib al-Baghdady dikisahkan bahwa Abu Najib Abdul Ghaffar bin Abdul Wahid berkata kepadaku bahwa ia mendengar al-Hasan bin Ali al-Muqarry dari Abu al-Hasan bin Faris bahwa al-Ustadz Ibnul 'Amid berkata, "Dahulu, aku tidak pernah menyangka ada sesuatu di dunia ini yang melebihi nikmatnya kedudukan dan jabatan yang aku miliki, sampai aku menyaksikan dialog antara Sulaiman bin Ayyub bin Ahmad ath-Thabrany dan Abu Bakar al-Ja'aby di hadapanku. Ath-Thabrany menang dengan hafalannya yang banyak, sedang al-Ja'aby mengungguli ath-Thabrany dengan kecerdasannya. Penduduk Baghdad saling menjagokan salah satu pihak sampai suara mereka meninggi. Tapi, belum juga kelihatan siapa yang kalah. Maka, berkatalah al-Ja'aby, 'Aku punya hadits, tidak ada yang punya hadits ini di dunia ini selain aku.' Ath-Thabrany berkata, 'Bacakan hadits itu!' Ia menyebutkan sanadnya, 'Aku mendengar dari Abu Khalifah dari Sulaiman bin Ayyub... dan seterusnya sampai akhir hadits yang dimaksudnya.' Mendengar hadits ini, ath-Thabrany berkata, 'Sulaiman bin Ayyub meriwayatkan hadits itu kepada kami; dan dari akulah Abu Khalifah mendengar hadits itu. Maka, dengarlah hadits itu dariku agar isnadma menjadi tinggi (isnad 'aali) karena kamu meriwayatkan dari Abu Khalifah dari aku.' Mendengar ini malulah al-Ja'aby. Dia telah kalah oleh ath-Thabrany." Kata Ibnul Amid, "Maka aku berangan andai aku tidak menduduki jabatan dan kedudukan ini; dan andai akulah ath-Thabrany itu, maka aku akan bergembira seperti gembiranya ath-Thabrany dengan hadits." Al-Muzany bercerita, 'Aku mendengar Imam Syafi'i mengatakan bahwa siapa yang belajar Al-Qurv an, maka nilai dirinya tinggi. Siapa yang mempelajari masalah fikih, maka martabatnya menjadi mulia. Siapa yang mempelajari bahasa, maka perasaannya menjadi halus. Siapa yang mempelajari ilmu hitung, maka pandangannya luas. Siapa yang menulis hadits maka hujahnya akan kuat. Dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka ilmunya tidak berguna baginya."

Ucapan tersebut diriwayatkan dari Imam Syafi'i dengan versi yang berbeda-beda. Sufyan ats-Tsaury berkata, "Siapa yang menginginkan dunia dan akhirat maka dia harus menguasai ilmu." Abdullah bin Daud menuturkan, "Aku mendengar Sufyan ats-Tsaury berkata, 'Sesungguhnya ilmu ini adalah kemuliaan. Siapa yang mencari dunia dengannya maka ia akan mendapatkannya. Dan, siapa yang mencari akhirat ia juga akan mendapatkannya.' An-Nadhr bin Syumail berucap, "Siapa yang ingin mulia di dunia dan akhirat hendaknya dia menuntut ilmu. Berbahagialah orang yang dipercaya memegang ilmu itu dalam agama Allah SWT. Sehingga, ia menjadi perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya."

Hamzah bin Said al-Mishry bercerita, "Saat pertama kali Abu Muslim al-Lakhmy meriwayatkan hadits kepada orang lain, dia bertanya kepada anaknya, Ada berapa sisa barang dagangan kita?' Anaknya menjawab, 'Tiga ratus dinar.' Ia berkata, 'Bagi-bagikan kepada para ulama hadits dan kaum fakir sebagai tanda syukur karena bapakmu hari ini bersaksi atas nama Rasulullah saw. dan persaksiannya diterima.'"

Dalam kitab al-Jaliis wal-Aniis karangan Abul Faraj al-Ma'afy bin Zakaria al-Jariiry diceritakan bahwa mereka diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Duraid dari Abu Hatim dari al-Ataby dari ayahnya bahwa Mu'awiyah sedang beristirahat di sebuah saluran sungai yang berpasir dan berkerikil. Ia duduk di sana bersama anaknya, Qurazhah. Tiba-tiba datang sekelompok orang mengendarai hewan tunggangan. Seorang pemuda di antara mereka mengangkat suara, bersenandung, "Siapa yang dapat menandingiku berarti telah menandingi orang mulia la seakan mengisi ember sampai penuh." Mu'awiyah bertanya, "Siapa dia?" Mereka menjawab, "Dia adalah Abdullah bin Ja'far." Muawiyah berkata, "Beri dia jalan!" Kemudian dia menjumpai sekelompok orang lain, yang di sana terdapat seorang anak yang bersenandung, "Manakala mereka menyebutku mereka melihatku. Terbelenggu oleh kecenderungan yang banyak diminati oleh orang-orang terkenal. Mereka mengatakan kamu mengenal pemuda ini? Mereka menjawab ya, kami telah mengenalnya, apakah bulan tersembunyi." Mu'awiyah bertanya, "Siapa ini?" Mereka menjawab, "Umar bin Abi Rabi'ah." la berkata, "Beri dia jalan." Kemudian dia melihat ada sekelompok orang lagi. Di sana terdapat seorang lelaki yang menjawab pertanyaan-pertanyaan, "Aku melempar jumrah sebelum bercukur", "Aku bercukur sebelum melempar", dan masalah-masalah manasik lainnya yang sulit. Mu'awiyah kembali bertanya, "Siapa ini?" Mereka menjawab, "Abdullah bin Umar." Mu'awiyah memandang puteranya, Qurazhah, seraya berkata, "Ayahmu punya kemuliaan. Akan tetapi, demi Allah, orang ini mempunyai kemuliaan dunia dan akhirat." Sufyan bin 'Uyainah berkata, "Yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah SWT adalah orang yang jadi penyambung antara Allah SWT dan hamba-hamba-Nya, yaitu para nabi dan ulama."

Sahl at-Tustury berkata, "Siapa yang ingin melihat majelis para nabi hendaknya melihat majelis para ulama. Apabila seseorang datang lalu bertanya, 'Wahai Syaikh, apa pendapatmu tentang orang yang bersumpah atas diri istrinya dengan sumpah ini dan itu?' ia menjawab, 'Istrinya sudah tercerai.' Lalu datang orang lain yang mengajukan pertanyaan, 'Saya bersumpah begini dan begitu.' Ia menjawab, 'Dia tidak melanggar sumpahnya dengan omongannya itu.' Wewenang seperti ini tidak dimiliki selain oleh seorang nabi atau ulama. Maka, ketahuilah kelebihan mereka itu."

Seratus tiga puluh sembilan. Sesungguhnya jiwa-jiwa yang bodoh tak berilmu lebih cepat menerima penghinaan, ejekan, dan peremehan. Hal ini diketahui oleh semua orang, baik kalangan khusus maupun awam. Al-A'masy berkata, "Bila aku melihat orang tua yang tidak meriwayatkan hadits, pasti timbul keinginan hatiku untuk menamparnya." Mu'awiyah bertutur bahwa ia dengar al-A'masy berkata, "Barangsiapa tidak menuntut ilmu hadits, aku gemas untuk menamparnya dengan sandalku."

Al-Muzany berkata, "Imam Syafii bila melihat seorang tua maka ia menanyainya tentang hadits dan fikih. Kalau dia tahu sesuatu, maka dipujinya. Tapi bila tidak, maka ia berkata kepadanya,' Semoga Allah SWT tidak memberimu ganjaran kebaikan atas dirimu dan Islam. Engkau telah menyia-nyiakan dirimu dan menyia-nyiakan Islam.' Seorang khalifah Bani Abbas sedang bermain catur. Ketika pamannya meminta izin masuk, ia mengizinkannya setelah menutup meja catur. Begitu sang paman duduk, ia bertanya, "Paman, apakah engkau telah membaca Al-Qur"an?" Jawabnya, "Tidak." Ia bertanya lagi, "Apakah engkau telah menulis sebuah hadits?" "Tidak," jawabnya. "Apakah engkau telah membaca fikih dan perbedaan pendapat para ulama?" tanyanya. Kembali ia menjawab, "Tidak." Sang khalifah bertanya lagi, "Apakah engkau telah mempelajari bahasa Arab dan sejarah?" Ia menjawab, "Tidak." Setelah mendengar semua jawaban ini, sang khalifah berkata, "Bukalah meja ini dan lanjutkan permainan!" Di sini sopan santunnya dan rasa malunya kepada sang paman hilang. Teman bermainnya bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, engkau membuka meja catur itu di hadapan orang yang patut kau hormati?" Sang khalifah berkata, "Diamlah! Di sini tak ada siapa-siapa." Ini karena manusia hanya berbeda dari hewan dengan ilmu dan akal yang menjadi keistimewaannya. Apabila ia tidak punya akal dan ilmu, yang tersisa adalah sisi persamaan antara manusia dan hewan, yaitu sifat kehewanan. Dan, orang seperti itu tidak perlu dihormati atau disungkani seperti sungkannya kita kepada orang yang saleh dan berilmu

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Tiga untuk sudut pandang keseratus tiga puluh enam hingga sudut pandang keseratus tiga puluh sembilan  ini. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kedua Puluh Empat untuk sudut pandang keseratus Empat Puluh hingga sudut pandang selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

BERSAMA KELUARGA TERCINTA DI SURGA DUNIA DAN SURGA AKHIRAT