Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Lima
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kedua Puluh Lima
Pada artikel Bagian Kedua Puluh Empat
mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan
Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah
Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan
ilmu dan orang-orang yang berilmu dari sudut pandang keseratus empat
puluh sampai dengan keseratus empat puluh tiga. Pembahasan berikutnya akan
Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang
keseratus empat puluh empat hingga sudut pandang keseratus empat puluh
delapan. Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Seratus empat puluh empat. Sesungguhnya Allah SWT menafikan persamaan
antara seorang ulama dan orang yang bukan ulama, sebagaimana Allah swt pun menafikan persamaan
antara yang baik dan yang buruk, antara yang dapat melihat dan yang buta,
antara cahaya dan kegelapan, antara teduh dan panas, antara penghuni surga dan
penghuni neraka, antara orang bisu yang tidak dapat berbuat apa-apa dan orang
yang menyuruh berbuat adil sedang dia sendiri berada di jalan yang lurus,
antara kaum beriman dan kaum kafir, antara orang-orang beriman dan beramal
saleh dan orang-orang yang membuat onar di muka bumi, dan antara orang-orang
bertakwa dan para pembuat dosa.
Itulah sepuluh tempat dalam Al-Qur'an di mana
Allah SWT menafikan persamaan antara mereka. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa
kedudukan ulama terhadap orang jahil seperti kedudukan cahaya terhadap
kegelapan, teduh terhadap panas, kebaikan terhadap keburukan, dan seterusnya.
Ini cukup menjadi bukti kemuliaan ilmu dan para ulama. Bahkan, jika Anda
perhatikan seluruh pasangan di atas, Anda dapati tidak samanya hal-hal di atas
kembali kepada faktor ilmu. Dengan ilmulah salah satu dilebihkan dari yang
lain.
Seratus empat puluh lima. Mari kita simak dua petikan peristiwa yang
menunjukkan kistimewaan ilmu berikut ini. Peristiwa pertama saat Nabi Sulaiman
memberikan ancaman kepada burung Hud-hud. Nabi Sulaiman mengancam akan
menyiksanya dengan keras atau menyembelihnya, Hud-hud selamat dari ancaman itu
hanya karena ilmu. Hud-hud maju dengan menyampaikan laporannya, 'Aku mengetahui sesuatu yang tidak kamu
ketahui." Laporan ini disampaikan karena ada keberanian yang
ditimbulkan oleh ilmu. Karena, dengan kelemahannya, Hud-hud tidak sanggup
melapor dan berbicara kepada Sulaiman ,dengan segala kekuatannya, dengan cara
seperti itu kalau bukan karena pengaruh ilmu.
Peristiwa kedua, ada sebuah hikayat yang
masyhur berikut ini: Seorang ulama pernah ditanya tentang suatu masalah. la
menjawab, "Aku tidak tahu."
Tapi salah seorang muridnya menjawab, "Aku tahu jawabannya."
Mendengar ini, sang guru marah dan hendak menempeleng murid tersebut. Tiba-tiba
dia berkata, "Guru, engkau tidak lebih berilmu dari Sulaiman bin Daud
bagaimanapun luasnya ilmu yang kau pelajari, dan aku pun tidaklah lebih bodoh
daripada Hud-hud. Padahal Hud-hud telah berkata kepada Sulaiman, 'Aku
mengetahui sesuatu yang tidak kamu ketahui.' Dan di sana Sulaiman tidak
mencelanya atau kasar terhadapnya."
Seratus empat puluh enam. Sesungguhnya untuk meraih kemuliaan dunia
ataupun akhirat haruslah dengan ilmu. Perhatikan, kelebihan Adam a.s. atas para
malaikat dan pengakuan mereka kepadanya adalah karena Allah swt telah
mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.
Kemudian,dia mendapat ganti tinggal di surga dengan apa yang lebih baik baginya
dari surga adalah karena dia mengetahui kalimat-kalimat yang diterimanya dari Tuhannya.
Begitu pula yang diperoleh Yusuf a.s yang berupa kekuasaan di bumi, kemuliaan,
dan keagungan adalah karena ilmunya tentang ta'bir
mimpi. Juga pengetahuannya tentang metode mengeluarkan adiknya dari
lingkungan kakak-kakaknya dengan cara melalui keputusan saudara-saudaranya
sendiri, sampai akhirnya terwujudlah kemuliaan dan kesempurnaan keadaan yang
dicapai, juga dengan ilmu, seperti diisyaratkan dalam firman-Nya:
كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ
أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ
نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
"Demikianlah Kami atur untuk (mencapai
maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang
raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang
Maha Mengetahui." (QS.Yusuf:
76)
Terkait dengan konteks ayat tersebut di atas,
telah disebutkan dalam tafsirnya, "Kami
tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki dengan ilmu seperti Kami
meninggikan derajat Yusuf atas saudara-saudaranya dengan ilmu."
Allah swt pun telah berfirman tentang Ibrahi:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ
مَنْ نَشَاءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
"Dan
itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.
Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (al-An'aam: 83)
Yang Allah swt anugerahkan kepada Nabi
Ibrahim a.s ini adalah ketinggian derajat dengan ilmu hujah (kepandaian
berargumen), sedangkan yang
pertama tadi (untuk Yusuf a.s) adalah ketinggian derajat dengan ilmu
siyasah (politik). Demikian pula yang terjadi pada Nabi Khidir; betapa
karena ilmunya, Sang Kaliimurrahman (Musa a.s) harus belajar kepadanya dan
bersikap sopan dalam bertanya, 'Halattabi'uka
'alaa an tu'allimani mimmaa 'ullimta rusyda'.
Begitu pula halnya yang diperoleh Nabi Sulaiman
a.s karena mengetahui bahasa burung, sehingga (kekuasaannya) sampai ke Kerajaan
Saba', menundukkan ratu mereka, dan menguasai singgasana mereka. Oleh karena
itu, Sulaiman berkata, sebagaimana yang Allah swt firmankan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ
وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
"Hai
Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi
segala sesuatu. Sesungguhnya (semuaj ini benar-benar suatu kurnia yang
nyata." (QS.an-Naml:
16)
Begitu pula halnya dengan Nabi Daud dapat
melindungi diri dari senjata musuh-musuhnya adalah karena telah mengetahui cara
membuat baju besi. Allah SWT menyebut ilmu ini sebagai salah satu nikmat kepada
hamba-hamba-Nya. Allah swt berfirman,
وَعَلَّمْنَاهُ
صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
"Dan
telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara
kamu dalam peperangan. Maka, hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)." (QS.al-Anbiyaa : 80)
Demikian pula halnya dengan derajat yang
diperoleh Nabi Isa Almasih karena pengetahuan tentang ilmu kitab dan hikmah,
Taurat, dan Injil sehingga Allah SWT meninggikan derajatnya, mengutamakannya,
dan memuliakannya. Tidak ketinggalan ilmu yang dimiliki tuan sekalian anak cucu
Adam, yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai nikmat dan karunia-Nya kepadanya.
Allah SWT berfirman:
وَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
"Dan
Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu serta telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu." (QS. an-Nisaa":
113)
Seratus empat puluh tujuh. Allah SWT memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s.
dengan firman-Nya,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ ۚ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagipatuh kepada Allah
dan hanif, dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah; Allah
telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus." (QS.an-Nahl: 120-121)
Inilah empat macam pujian dari Allah swt
terhadap Nabi Ibrahim a.s, yang diawali dengan menyebutnya sebagai seorang
ummat. Ummat di sini artinya teladan yang diikuti. Ibnu Mas'ud berkata, "Ummat adalah orang yang mengajarkan
kebajikan." Dalam bahasa Arab, kata ummat merupakan bentuk mashdar asli
'kata benda asal' dari i'timaam. Seperti halnya “qudwah”, yang merupakan
bentuk mashdar asli dari ‘iqtidaa',
yang artinya adalah orang yang harus diikuti.
Sesungguhnya perbedaan antara ummat dan imam
ada dua.
Pertama: Imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik secara sengaja,
sadar maupun tidak. Karena itu, tariq [jalan] disebut sebagai
imam seperti dalam firman Allah di bawah ini:
فَانْتَقَمْنَا
مِنْهُمْ وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُبِينٍ
"Dan
sesungguhnya adalah penduduk Aikah itu benar-benar kaum yangzalim, maka Kami
membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di
jalan umum yang terang." (QS. al-Hijr: 79)
Meskipun demikian, 'jalan' tidak dapat
disebut sebagai ummat.
Kedua: Ummat mengandung pengertian yang lebih banyak. Yaitu orang yang
dalam dirinya terdapat sifat-sifat kesempurnaan, baik itu ilmu maupun amal.
Semua sifat-sifat tersebut terkumpul dalam satu individu. Jadi, ummat adalah
seseorang yang dalam dirinya terkumpul beberapa karakter, yang biasanya pada
orang lain karakter-karakter itu terpisah-pisah, tidak pada satu orang saja
atau bahkan mereka tidak memilikinya. Dengan terkumpulnya sifat-sifat itu pada
diri seorang ummat, maka ia berbeda dan tidak sama dengan orang-orang pada
umumnya.
Kata ummat mengandung sentuhan makna demikian
karena di dalamnya terdapat huruf mim ber-tasydid. Hal seperti ini menunjukkan
makna penggabungan dan cakupan, jika ditinjau dari makhraj 'tempat keluarnya
khuruf' dan tasydid sebagai pengulangan huruf. Selain itu juga karena huruf
pertamanya berharakat dhammah. Sebab, asalnya dhammah adalah huruf wawu yang
ketika diucapkan, makhraj huruf wawu tersebut bergabung dengan dhammah.
Selain kedua alasan tersebut, kata ummat bisa
mengandung sentuhan makna demikian karena di dalamnya terdapat huruf to
yang menunjukkan arti 'kesatuan', seperti halnya kata ghurfah 'satu ruang' dan luqmah
'satu suap'. Contohnya hadits dari Zaid bin Amr bin Nufal, "Dibangkitkan pada hari kiamat sebagai satu
ummat. "(HR Ahmad dan Hakim) Jadi, makna penggabungan, berkumpul, dan
bergabung selalu melekat pada kata ummat. Dari sinilah, manusia pada hari
kiamat disebut sebagai [satu] ummat, karena mereka adalah manusia-manusia yang
berkumpul pada satu agama atau satu masa.
Kata ummat merupakan bentuk tunggal dari kata
umam. Pujian kedua terhadap Nabi
Ibrahim a.s. terdapat dalam firman-Nya 'qaanitan
lillaahi'. Ibnu Mas'ud berkata, "Al-Qaanit
artinya orang yang taat." Dan 'al-Qunuut'
ditafsirkan dengan beberapa arti yang semuanya berujung pada kontinuitas
ketaatan. Pujian ketiga adalah firman-Nya
'haniifan'. Haniifa adalah orang yang menghadap kepada Allah SWT. Ini berarti
orang tersebut berpaling dari selain Dia. Pujian
keempat adalah firman-Nya 'syaakiran
li-an'umihi'.
Sesungguhnya mensyukuri nikmat tergantung
kepada tiga hal, yaitu mengakui nikmat
tersebut berasal dari sang pemberi, menggunakannya dalam keridhaannya, dan
beramal dengan nikmat itu selayaknya. Seorang hamba tidak disebut bersyukur
kecuali dengan ketiga hal ini. Inti dari poin ini adalah bahwa Allah SWT memuji
Nabi Ibrahim a.s. dengan empat sifat yang semuanya berpangkal pada ilmu,
pengamalannya, dan penyebarannya. Jadi, kesempurnaan
manusia terletak pada ilmunya, pengamalan terhadap ilmu yang dimilikinya, dan
mengajak orang lain kepada ilmu tersebut.
Seratus empat puluh delapan. Allah SWT telah berfirman tentang Nabi Isa
a.s:
قَالَ إِنِّي
عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
وَجَعَلَنِي
مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
"Berkata
Isa, 'Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia
manjadikan aku seorang nabi. Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana
saja aku berada." (QS. Maryam:
30-31)
'Uyainah berkata, "Mubaarakan artinya mu'alliman lil khair 'pengajar kebajikan'."
Ini menunjukkan bahwa berkah dari Allah swt yang ada pada seseorang terdapat
dalam ajaran-ajarannya mengenai kebajikan. Dengan kata lain, seseorang
dikatakan membawa berkah apabila ia mengajarkan kebajikan. Sedangkan, berkah
itu sendiri artinya adalah terwujud,
tumbuh, dan lestarinya kebajikan.
Pada hakikatnya hal semacam ini hanya ada
pada ajaran dan ilmu yang diwarisi dari para nabi. Oleh karena itu, Allah SWT
menamakan kitab-Nya dengan mubaarak. Allah
swt berfirman:
وَهَٰذَا ذِكْرٌ
مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ ۚ أَفَأَنْتُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ
"Dan
(Al-Qur'an) ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang
telah Kami turunkan." (QS. al-Anbiyaa : 50)
Allah swt pun menegaskan kembali dalam
firman-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Ini
adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah." (QS. Shaad: 29)
Allah juga menyebut nabi-Nya dengan
mubaarak seperti dalam firman-Nya mengenai Almasih, "Wa ja'alanii mubaarakan ainamaa kuntu."
Berkah dari kitab dan rasul-Nya adalah karena keduanya mendatangkan ilmu,
petunjuk, dan dakwah ke agama Allah SWT. Wallahua’alam bisshowaab.
Demikianlah uraian Penulis tentang sudut
pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi
orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Lima untuk sudut
pandang keseratus empat puluh empat hingga sudut pandang keseratus empat puluh
delapan. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kedua Puluh Enam
untuk sudut pandang keseratus Empat Puluh Sembilan. hingga sudut pandang
selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar