Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Enam

KEMULIAAN ILMU

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Kedua Puluh Enam

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Kedua Puluh Lima  mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu  dari sudut pandang keseratus empat puluh empat sampai dengan keseratus empat puluh delapan. Pembahasan berikutnya akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang keseratus  empat puluh sembilan hingga sudut pandang keseratus lima puluh. Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Seratus empat puluh sembilan. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, "jika seorang anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecual tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan (kebaikan) untuknya."(HR Muslim dan Tirmidzi)

Hadits tersebut di atas merupakan salah satu dalil terkuat tentang keluhuran, keutamaan, dan besarnya pahala ilmu. Karena pahalanya terus mengalir kepada si empunya bahkan setelah ia wafat; selama ilmu itu dapat dimanfaatkan. Orang yang berilmu dan sudah meninggal layaknya seperti masih hidup, tidak berhenti beramal. Belum lagi ia selalu dikenang dan dipuji orang. Ketika pahala orang-orang lain terputus setelah ia meninggal, pahala orang yang berilmu terus saja mengalir.

Tampaknya yang menjadi alasan Nabi saw. menggantungkan sampainya pahala kepada orang yang sudah mati dengan ketiga hal tersebut, karena memang hanya ketiga hal itulah yang bisa menyebabkan seseorang memperoleh pahala ketika ia sudah meninggal. Apabila seseorang telah melaksanakan sesuatu yang menyebabkan timbulnya sebuah perintah atau larangan, maka dia mendapatkan pahala dari akibat perbuatannya tersebut, meskipun akibat itu di luar atau bukan perbuatannya secara langsung.

Ketika seseorang menyebabkan adanya anak saleh, sedekah, atau ilmu yang bermanfaat, maka pahala dari amal perbuatan itu mengalir kepadanya, karena dialah yang menyebabkan ada dan terjadinya berbagai amal tersebut. Tentunya akan berlaku kaidah, seorang hamba akan mendapat pahala karena amal yang telah dia perbuat sendiri, dan atau karena amal yang disebabkannya meskipun ia tidak secara langsung melakukan amal tersebut.

Allah SWT telah menyebutkan dua asas ini dalam surat at-Taubah ayat 120:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

"Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bag) mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. at-Taubah: 120)

Jika kita cermati redaksi pada ayat tersebut di atas, tampak pahala semua amal perbuatan yang tertera dalam ayat di atas muncul dari hasil berbagai perbuatan yang semuanya berada di luar kemampuan. Yang ada dalam jangkauan kesanggupan orang-orang dalam ayat di atas hanyalah sebab-sebabnya. Mereka hanya melakukan sebab-sebabnya saja. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

 وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. at-Taubah: 121)

Dalam hal ini, nafkah dan menyusuri lembah adalah perbuatan-perbuatan yang dapat benar-benar mereka lakukan. Coba bandingkan, dalam kasus ini, seseorang benar-benar melakukan suatu amal kebajikan, dan bukan hanya menyebabkan terjadinya saja. Pada bagian pertama, Allah SWT menyatakan “kutiba lahum bihii 'amalun shalih”. Hanya saja amal saleh yang timbul di sini terjadi karena dua faktor, yaitu karena perbuatan mereka dan karena faktor yang lain.

Perbuatan mereka bukanlah sebab independen yang menyebabkan terjadinya amal itu. la hanya salah satu bagian yang menyebabkan adanya amal saleh. Sebagai imbalan dari perbuatannya ini, maka ditulislah hal itu sebagai amal saleh buat mereka. Demikian juga dahaga, kepayahan, dan membenci musuh bukanlah perbuatan mereka. Oleh karena itu, ketiga hal ini tidak langsung ditulis sebagai amal saleh mereka. Akan tetapi, akibat dari perbuatannya itulah yang ditulis sebagai amal saleh. Sedang bagian kedua, yaitu perbuatan-perbuatan yang dapat dan mampu mereka lakukan seperti infaq atau melintasi lembah, langsung ditulis sebagai amal saleh. Karena kedua perbuatan ini sanggup mereka lakukan dan terjadi atas kemauan sendiri.

Dengan demikian, seorang hamba mendapat pahala karena terdapat 2 hal: Pertama: perbuatan-perbuatan saleh yang ada dalam kesanggupannya dan; Kedua: yang timbul dari akibat perbuatan-perbuatan itu.

Seratus lima puluh. Seorang ulama yang dijuluki sebagai Hafiz Al-Maghrib,
Ibnu Abdil Barr, telah menyebutkan perkataan Abdullah bin Daud, "Pada hari kiamat, Allah SWT tidak menghisab para ulama. Dia berfirman, 'Masuklah ke surga sebagai ganjaran ilmu yang dahulu kalian miliki. Aku tidaklah memberikan ilmu-Ku pada kalian kecuali karena Aku menghendaki suatu kebaikan untuk kalian."

Menurut Ibnu Abdil Barr dalam riwayat lain ada tambahan, bahwa Allah SWT menahan para ulama pada hari kiamat dalam satu kelompok sampai Dia menyelesaikan pengadilan seluruh manusia, dan sampai penghuni surga masuk surga dan penghuni neraka masuk neraka. Lalu Dia memanggil para ulama, "Wahai para ulama, Aku tidak meletakkan hikmah-Ku pada kalian kalau Aku ingin mengazab kalian. Aku tahu bahwa kalian bergumul dengan maksiat seperti orang lain, tapi Aku tutupi dan Aku ampuni. Karena, Aku hanya disembah sebab fatwa kalian dan pengajaran kalian terhadap hamba-hamba-Ku. Masuklah surga tanpa hisab!" Kemudian Dia berfirman, "Tidak ada orang yang dapat memberikan apa yang Dia tahan, dan tidak ada yang dapat menahan apa yang Dia berikan."

Ibnu Abdul Barr menambahkan, "Ada hadits yang muttashil dan marfu' yang semakna dengan ini." Harb al-Kirmany meriwayatkan hadits marfu' yang semakna dengan itu. Ibrahim mendengar bahwa nanti pada hari kiamat kebaikan-kebaikan seseorang diletakkan pada satu piringan timbangan dan keburukan-keburukannya pada piringan yang lain sehingga piringan kebaikannya terangkat naik. Apabila ia putus asa dan mengira pasti akan masuk neraka karenanya, datanglah sesuatu seperti awan jatuh menimpa piringan kebaikannya sehingga piringan keburukannya terangkat naik. Lalu ia ditanya, "Tahukah kamu bahwa ini amalanmu?" Ia menjawab, "Tidak." Ia diberitahu, "Ini adalah kebajikan yang kamu ajarkan kepada manusia lalu diamalkan setelah kamu wafat."

Sebagai sanggahan, Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah menytakan ada yang mengatakan bahwa sesuai dengan kaedah-kaedah syariat, orang yang tidak berilmu lebih ditolerir dan diberi dispensasi daripada ulama. Mereka pun dimaafkan ketika melakukan suatu perbuatan yang tidak dimaafkan bila dilakukan oleh ulama. Karena, hujjah (alasan) Allah SWT terhadap orang berilmu (untuk memberi hukuman) lebih kuat daripada terhadap orang yang jahil. Begitu juga, pengetahuan orang berilmu mengenai buruknya maksiat, kebencian Allah SWT terhadap perbuatan itu, dan hukuman-Nya atas maksiat lebih luas daripada pengetahuan orang yang tidak berilmu.

Begitunpula halnya dengan nikmat ilmu yang diberikan Allah SWT kepadanya lebih besar daripada yang diberikan kepada orang yang bodoh/tidak berilmu. Syariat Allah menunjukkan bahwa apabila orang yang diberi karunia dan dimuliakan membiarkan dirinya terombang-ambing dalam nafsu syahwat dan atau menganggap enteng akibat perbuatannya, apalagi berani melanggar hal-hal haram, maka orang seperti ini pantas mendapat pembalasan dan celaan melebihi balasan orang yang di bawah martabatnya.

Sejalan dengan kaedah inilah, Allah SWT berfirman,

 يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

"Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah." (QS. al-Ahzaab: 30)

Oleh karena itu, hukuman orang merdeka dua kali lipat hukuman budak dalam kejahatan zina, qadzaf, dan minum arak. Ini disebabkan utuhnya nikmat yang ada pada orang merdeka. Hal ini diperkuat lagi dengan hadits terkenal yang dishahihkan oleh Abu Na'im bahwa Nabi saw. bersabda, "Manusia paling berat siksanya pada hari kiamat adalah ulama yang ilmunya tidak bermanfaat baginya." Seorang salaf berkata, "Tujuh puluh dosa orang tidak berilmu diampuni sebelum diampuninya satu dosa seorang ulama." Yang lain berkata, "Sesungguhnya Allah SWT memaafkan orang-orang bodoh melebihi maaf-Nya terhadap para ulama."

Terkait dengan jawaban atas sanggahan ini, Ibnu Qoyyim mengatakan, “Yang kalian sebutkan ini benar, tak ada yang meragukannya. Namun, sesuai dengan kaedah dan hikmah syariat juga bahwa orang yang telah berbuat banyak kebajikan dan punya pengaruh/jasa yang nyata dalam Islam layak diberi ampunan dan maaf serta toleransi melebihi orang lain. Karena, maksiat adalah kekejian dan kotoran. Dan bila air mencapai ukuran dua qullah, maka air itu tidak akan mengandung kotoran. Berbeda dengan air yang sedikit, ia tidak sanggup membawa sedikit pun kotoran dan najis.

Atas dasar inilah Rasulullah saw. bersabda kepada Umar, "Siapa tahu barangkali Allah SWT telah berfirman kepada ahli Perang Badar, 'Berbuatlah sesukamu. Aku telah mengampuni kamu." (HR. Bukhari)

Hal inilah yang menghalangi Rasulullah untuk membunuh seseorang yang mengkhianati Beliau dan kaum muslimin serta yang telah melakukan dosa sebesar itu. Rasulullah saw. tidak membunuh orang tersebut karena, orang itu termasuk di antara mereka yang mengikuti Perang Badar. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya, alasan untuk menjatuhkan hukuman telah ada, namun hukuman itu tidak diteruskan karena dia punya jasa yang besar (yaitu keikutsertaannya dalam Perang Badar). Kesalahan besar itu terampuni karena kebajikan-kebajikan yang ada padanya. Juga, ketika Nabi saw. menganjurkan orang-orang untuk bersedekah lalu Utsman mengeluarkan sedekah yang besar dan beliau pun bersabda, "Apa pun yang diperbuat Utsman setelah ini tidak akan menjadi mudarat baginya."  

Ada sesorang yang bernama Hathib bin Abi Balta'ah. Pada saat Rasulullah saw. berencana menyerang Mekah secara mendadak, Hathib bermaksud memberitahu penduduk Mekah untuk bersiap sedia. Dia mengirim surat kepada mereka yang dibawa oleh seorang wanita. Namun, maksud itu berhasil digagalkan. Lihatlah Musa! Seorang nabi yang mendapat julukan Kalimurrahman ini melemparkan papan yang di dalamnya terdapat tulisan Kalamullah ke tanah hingga pecah berantakan, menampar mata malaikat maut sampai tercongkel, dan dia mengkritik Tuhannya tentang diri Nabi Muhammad pada malam Isra' dan Mi'raj. la berkata, "la adalah pemuda yang diutus setelahku, tapi umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku." Dia menjambak jenggot saudaranya, Harun, dan menariknya padahal dia adalah nabi. Tapi, semua perbuatan ini tidak mengurangi nilainya di hadapan Tuhan. Tuhannya tetap memuliakan dan mencintainya. Urusan yang diemban Musa, musuh yang dihadapinya, kesabaran yang dimilikinya, dan juga penderitaan yang ditanggungnya karena ia berjuang di jalan Allah SWT tidak dapat dipengaruhi nilainya oleh kesalahan-kesalahan seperti di atas.

Perbuatan-perbuatan tersebut ternyata tidak menurunkan martabatnya. Hal ini dimaklumi oleh manusia. Dalam fitrah mereka tertanam bahwa orang yang telah melakukan ribuan kebajikan patut ditolerir bila melakukan satu-dua kesalahan. Harus-tidaknya dijatuhkan hukuman atas kesalahan orang semacam ini tarik-menarik dengan harus-tidaknya menyampaikan rasa terima kasih atas kebajikan yang selama ini ia perbuat. Pada kasus seperti ini, faktor berterima kasih lebih diunggulkan, seperti dikatakan, "Jika seorang kekasih melakukan satu kesalahan Maka kebaikannya datang dengan seribu penebus." Yang lain berkata, "Jika hanya satu perbuatannya yang menyakltkan Maka sangat banyak perbuatannya yang menyenangkan"

Sesungguhnya Pada hari kiamat, Allah SWT menimbang kebaikan dan keburukan seorang hamba. Mana yang lebih berat timbangannya itulah yang menentukan nasibnya. Dia akan memperlakukan orang yang punya banyak kebajikan dan yang mengutamakan cinta serta ridha-Nya, namun terkadang kalah oleh dorongan tabiat kemanusiaannya dengan perlakuan yang toleran dan maaf yang berbeda dengan yang diperbuat-Nya terhadap orang-orang selain mereka.

Begitu juga, bila ulama tergelincir dalam kesalahan, ia dapat kembali dengan baik dan bertobat. Ia seperti dokter jenius, yang mengerti penyakit, sebab-sebabnya, dan pengobatannya. Hilangnya penyakit itu dari orang seperti ini lebih cepat daripada hilangnya dari seorang tak berilmu. Ditambah lagi dia punya pengetahuan yang dapat menghapus dosa, melemahkan tuntutan dijatuhkannya hukuman, dan menghilangkan bekasnya.

Pengetahuan itu adalah tentang perintah Allah SWT, pembenaran akan janji dan ancaman-Nya, takut kepada-Nya, penghalangan dirinya melakukan dosa terhadap-Nya, yakin bahwa Allah mengharamkannya dan dia punya Tuhan yang mengampuni dosa dan menuntunnya ke jalan yang benar, dan seterusnya, yang tergolong hal-hal yang dicintai Tuhan. Ini berbeda dengan orang jahil yang tak punya pengetahuan akan hal itu. la hanya tahu gelap dan buruknya dosa serta pengaruh-pengaruhnya yang negatif. Tentu tidak sama antara orang pertama dan kedua. Inilah titik perbedaannya.

Sungguh jelas bahwa kedua hal itu benar dan tidak ada kontradiksi antara keduanya. Tapi, karena kebodohannya seorang bodoh lebih besar keburukan dosanya dibanding seorang ulama. Juga karena tak ada sesuatu pun dalam diri orang bodoh yang bisa melawan kesalahannya dan menghilangkan pengaruh dosa tersebut. Keburukan dalam dua hal ini sama-sama disebabkan oleh kebodohan dan akibat kebodohan itu. Juga karena lemah serta sedikitnya keilmuan seseorang serta konsekuensi yang diakibatkannya. Ini bukti sangat jelas tentang kemuliaan dan keutamaan ilmu.

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Enam untuk sudut pandang keseratus empat puluh sembilan hingga sudut pandang keseratus lima puluh. In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kedua Puluh Tujuh untuk sudut pandang keseratus Lima Puluh Satu hingga sudut pandang selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI