Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Tujuh
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kedua Puluh Tujuh
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Pada
artikel Bagian Kedua Puluh Enam mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang
Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”,
telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait
keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu dari sudut pandang
keseratus empat puluh sembilan sampai dengan keseratus lima puluh. Pembahasan
berikutnya akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang
keseratus lima puluh satu hingga sudut pandang keseratus lima puluh tiga.
Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Seratus
lima puluh satu. Sesungguhnya, bagi seorang Ulama yang disibukkan
dalam kegiatan mempelajari dan mengajarkan ilmu akan senantiasa dalam keadaan
beribadah. Ketahuilah bahwa belajar dan mengajar adalah ibadah. Ibnu Mas'ud berkata,
"Seorang fakih terus menerus
melakukan shalat." la ditanya, "Bagaimana shalatnya?" Jawabnya,
"Zikir kepada Allah SWT dengan hati dan lisannya." Ini disebutkan
oleh Ibnu Abdul Barr. Dalam hadits Mu'adz secara marfu' dan mauquf, sebagaimana
disebutkan dalam sabda Nabi saw.,"Pelajarilah
ilmu, sebab mempelajarinya karena Allah adalah kebaikan, mencarinya adalah
ibadah, dan mengulanginya adalah tasbih."
Ibnu
Abdul Barr pun telah menyebutkan dari Mu'adz secara marfu', "Kamu pergi lalu mempelajari salah satu
bab ilmu lebih baik bagimu daripada kamu shalat seratus rakaat."
Hadits ini tidak pasti benar marfu' atau bukan. Ibnu Wahb berkisah, "Saat itu aku sedang berada bersama
Imam Malik bin Anas, membaca buku di hadapannya dan mempelajari ilmu. Ketika
tiba waktu shalat Zuhur atau Asar, aku kumpulkan buku-bukuku dan aku bangkit
untuk shalat sunah. Imam Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan ini?' Aku
menjawab, Aku hendak shalat.' la berkata, Aneh sekali! Shalat yang hendak kamu
lakukan itu tidaklah lebih afdhal daripada pelajaran itu, jika niatnya
benar.'" Ar-Rabi' mendengar Imam Syafi'i berkata, "Menuntut ilmu
lebih afdhal daripada shalat sunah." Sufyan ats-Tsaury berkata,
"Tidak ada amal yang lebih afdhal daripada menuntut ilmu selama niatnya
lurus."
Seorang
pria bertanya kepada al-Mu'afy bin Imran, "Mana
yang lebih kamu sukai, aku shalat sepanjang malam atau aku menulis
hadits?" la menjawab, "Kamu menulis hadits lebih aku sukai daripada
kamu shalat dari awal sampai akhir malam." la berkata juga, "Menulis
satu hadits lebih aku sukai daripada shalat satu malam." Ibnu Abbas
berkata, "Menelaah ilmu beberapa saat lebih aku senangi daripada shalat
sepanjang malam."
Patut
kiranya diketahui oleh para pembaca artikel keluargasamara.com bahwa pengertian
Hadits
Mauquuf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, bukan kepada
Rasulullab saw. Sedangkan yang dimaksud Hadits Marfu dapat dipahami sebagai
Hadits yang sandarkan terhadap Nabi Muhammad SAW dari ucapan, perbuatan,
taqrir, dan sifat Beliau.
Dalam
Masa 'il-nya, Ishaq bin Manshur bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang maksud
perkataan Ibnu Abbas di atas, "Ilmu
apa yang dimaksudnya?" Ahmad menjawab, "Ilmu yang bermanfaat bagi
manusia dalam agama mereka." Ishaq bertanya lagi, "Tentang wudhu,
shalat, puasa, haji, talak, dan sejenisnyakah?" la menjawab,
"Benar." Ishaq berkata lagi, "Ishaq bin Rahawaih berkata
kepadaku, 'Maksudnya memang seperti yang dikatakan Ahmad itu.'" Abu
Hurairah berkata, "Aku lebih senang duduk sesaat untuk memperdalam ilmu
agamaku daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai pagi." Ibnu
Abdil Barr menyebutkan dari hadits Abu Hurairah, "Segala sesuatu punya
pilar. Dan pilar agama ini adalah ilmu. Allah SWT tidak diibadahi dengan
sesuatu yang lebih afdhal dari memperdalam ilmu agama."
Muhammad
bin Ali al-Baqir berkata, "Seorang
ulama yang ilmunya bermanfaat lebih baik dari seribu abid/orang yang gemar
beribadah." la berkata juga, "Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya
di tengah manusia lebih afdhal daripada ibadahnya seribu abid." Karena
menuntut ilmu, meneliti, dan menulisnya termasuk amal hati dan raga sekaligus,
maka ia tergolong amal yang paling afdhal. Kedudukannya terhadap amal organ
zahir adalah seperti kedudukan amalan hati (seperti ikhlas, tawakal, cinta,
tobat, ridha, takut, dan sejenisnya) terhadap amal zahir.
Apabila
ada orang mengatakan bahwa ilmu hanyalah wasilah dan sarana untuk amal,
sedangkan amal adalah tujuan sebenarnya. Sementara itu, kita maklum bahwa
tujuan lebih mulia daripada sarana. Bagaimana di sini sarana lebih diutamakan
dari tujuannya? Jawabannya: baik ilmu maupun amal terbagi ke dalam dua
kelompok. Ada yang merupakan sarana dan adapula yang merupakan tujuan. Jadi,
tidak semua ilmu itu sekedar sarana untuk melaksanakan hal yang lain. Ilmu
tentang Allah SWT, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling mulia
secara mutlak. Dan, ilmu ini adalah tujuan, bukan sebatas sarana. Allah SWT
berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ
الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
"Allahlah yang menciptakan tujuh
langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS.ath-Thalaq:
12)
Sesungguhnya
Allah SWT telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta
menurunkan perintah agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Dia Maha Tahu atas segala
hal dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Untuk tujuan ilmu inilah manusia
diciptakan. Allah SWT berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
"Maka, ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan
(Yang Haq) melainkan Allah." (Muhammad: 19)
Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan tentang keesaan-Nya dan bahwa tidak ada Tuhan
selain Dia dituntut untuk dipelajari dalam kapasitasnya sebagai tujuan. Memang
tidak cukup dengan ilmu itu semata, dan harus ditambah dengan ibadah kepada-Nya
tanpa menyekutukan-Nya. Kedua hal itu (ilmu tentang keesaan-Nya dan ibadah)
dituntut untuk dipelajari dalam kapasitasnya sebagai tujuan. Seseorang
diharuskan mengetahui Tuhan dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan, dan hukum-hukum-Nya,
serta melaksanakan ibadah sesuai dengan ilmu tersebut. Jadi, sebagaimana ibadah
kepada-Nya dituntut karena nilai ibadah itu sendiri, demikian juga ilmu tentang
diri-Nya. Apalagi, ilmu adalah salah satu ibadah paling afdhal seperti
diterangkan di muka. la mencakup tujuan dan sarana.
Pernyataan
'amal adalah tujuan' pengertiannya mengandung dua kemungkinan: amal yang
meliputi amal hati dan amal organ zahir, atau amal khusus organ zahir saja.
Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, itu benar, dan sekaligus itu
menunjukkan bahwa ilmu adalah tujuan dan dituntut, karena ia termasuk amal
hati. Kalau yang dimaksud adalah yang kedua, itu tidak benar. Karena,
sebenarnya amal-amal hati dituntut dan diinginkan karena dirinya sendiri.
Sebaliknya amal-amal organ zahir sekedar sarana untuk melaksanakan yang lain.
Sebab pahala, siksa, pujian, dan celaan itu semua utamanya untuk hati dan
berikutnya untuk organ zahir. Demikian pula amal-amal yang utamanya ditujukan
untuk kebersihan, istiqamah, dan penghambaan hati kepada Tuhan. Amal organ
zahir dalam hal semacam ini hanya mengikuti maksud yang dikehendaki oleh amal
hati saja; walaupun banyak dari amalamal ini dikehendaki karena maslahat yang
ada di baliknya.
Di antara
maksud-maksud itu adalah kebersihan, kesucian, dan istiqamahnya hati. Dengan
demikian, dapat kita pahami kalau amal-amal itu ada yang menjadi tujuan dan ada
yang sekedar sarana. Demikian juga halnya dengan ilmu. Di samping itu, ilmu
yang sekedar menjadi sarana untuk amal, jika tidak diiringi dengan amal, maka
ilmu itu tidak ada manfaatnya dan amal lebih mulia darinya. Adapun ilmu yang
urgensi dan buahnya timbul dari dirinya sendiri, tidak dapat dikatakan bahwa
amal semata (tanpa ilmu) lebih mulia darinya. Bagaimana bisa ibadah jasadi (badani) lebih afdhal daripada ilmu
tentang Allah SWT, nama dan sifat Nya, hukum-hukum-Nya, dan perintah-Nya?
Bagaimana
lebih mulia daripada ilmu tentang amal-amal hati dan cacat-cacat kejiwaan,
pengetahuan tentang hal-hal yang merusak amal dan menghalanginya sampai dari
hati kepada Allah SWT, pengetahuan tentang jarak antara amal dan hati dan
antara hati dan tuhan, dan tentang cara menempuh jarak tersebut, dan ilmu-ilmu
iman lainnya, yang menguatkanya dan melemahkannya? Bagaimana dikatakan bahwa
hanya melaksanakan ibadah zahir dengan organ tubuh lebih afdhal daripada ilmu
ini?
Jelas
orang yang melaksanakan kedua hal itu lebih sempurna. Kalau ada kelebihan pada
salah satu dari keduanya, maka kelebihan ilmu ini lebih baik daripada kelebihan
ibadah. Kalau seorang hamba punya kelebihan waktu dalam menunaikan kewajiban,
maka menggunakan waktu ini untuk mempelajari ilmu yang berasal dari para nabi
lebih afdhal daripada menggunakannya untuk ibadah semata. Inilah kata kunci
dalam masalah ini.
Seratus
lima puluh dua. Sesungguhnya dari Abu Kabsyah al-Anmary, Imam
Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan sabda Rasulullah saw., "Dunia hanya untuk empat orang,
(Pertama) seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu oleh Allah SWT. Ia
bertakwa kepada Allah SWTdalam mengurus hartanya, menyambung tali kerabat, dan
tahu ada hak Allah SWT pada hartanya. Orang ini berkedudukan paling baik di sisi
Allah SWT. (Kedua) adalah orang yang dikaruniai oleh Allah SWT ilmu tanpa
harta. la berkata, 'Kalau aku punya harta tentu aku akan beramal seperti
amalnya si Fulan.'Dia [tergantungj dengan niatnya [ituj. Dan keduanya sama
dalam pahala. (Ketiga) adalah orang yang dikaruniai harta tanpa ilmu. la
terpuruk dalam hartanya, tidak bertakwa kepada Tuhannya, tidak menyambung
kerabatnya, dan tidak tahu ada hak Allah SWT pada hartanya. Orang ini menempati
kedudukan paling buruk di sisi Allah SWT. (Keempat) orang yang tidak dikaruniai
harta dan ilmu oleh Allah SWT. Dia berkata, 'Seandainya saja aku punya harta
tentu aku melakukan seperti apa yang diperbuat si Fulan itu.' Orang ini (tergantung)
dengan niatnya (itu). Dan keduanya sama dalam dosa."
Nabi
membagi penghuni dunia menjadi empat. Yang
terbaik (pertama) adalah orang yang
dikaruniai ilmu dan harta. Dia berlaku baik terhadap orang lain dan
dirinya sendiri dengan ilmu dan kekayaannya. Martabat berikutnya (kedua) adalah
orang yang diberi ilmu tapi tidak
mendapat harta. Tapi, pahalanya sama dengan yang pertama. Hal itu karena
niatnya. Kalau bukan karena niat, tentu orang yang berilmu dan bersedekah
berada di atas orang berilmu yang tidak bersedekah dengan kelebihan sedekah dan
infaknya tersebut. Orang berilmu yang tidak punya harta mendapat pahala sama
dengan orang berilmu yang memiliki harta karena niatnya. Yaitu niat yang pasti
dan serius disertai dengan apa yang disanggupinya, berupa ucapan. Peringkat ketiga
adalah orang yang dikaruniai harta tapi
tidak dikaruniai ilmu. Ini adalah manusia terburuk dalam pandangan Allah
SWT, karena harta orang seperti ini adalah sumber celakanya. Kalau dia tidak
punya harta, tentu lebih baik baginya. Karena dia diberi sesuatu untuk
dijadikan bekal menuju surga, tapi karena kebodohannya, dia malah menjadikan
hal itu sebagai bekal ke neraka. Yang keempat adalah orang yang tidak diberi harta ataupun ilmu, tapi
ia punya niatan, "Kalau punya harta akan mempergunakannya dalam
maksiat." Orang ini menempati posisi di bawah posisi hartawan yang
tidak berilmu, tapi sama dengannya dalam dosa. Itu karena niatnya yang pasti
dan serius untuk mempergunakan harta dalam maksiat jika ia memilikinya,
sementara niatnya itu dibarengi dengan ucapan; yaitu bukti keseriusan niatnya
tersebut.
Kita
melihat Nabi membagi orang bahagia menjadi dua
kelompok. Dalam pembagian ini, beliau menjadikan ilmu dan pengamalannya sebagai sebab kebahagiaan mereka. Beliau
juga membagi orang-orang yang celaka dan sengsara menjadi dua,
dan menjadikan kebodohan serta akibatnya
sebagai sebab kecelakaan mereka. Jadi, kebahagiaan
berasal dari faktor ilmu dan amal, dan kesengsaraan
berasal dari faktor kebodohan dan akibatnya.
Seratus
lima puluh tiga. Sesungguhnya seorang salaf pernah berkata,
"Tafakkur (berpikir) sesaat lebih
baik daripada ibadah enam puluh tahun." Seorang lelaki bertanya kepada
Ummu Darda' tentang ibadah suaminya. Ummu Darda' menjawab, "Sebagian besar siang harinya dimanfaatkan untuk merenung."
Hasan al-Bashri berkata, "Tafakkur
sesaat lebih baik daripada tahajud semalam suntuk." Al-Fadhl bin
'Iyadh berkata, "Tafakkur itu
cermin, memperlihatkan kebaikan dan keburukanmu kepada dirimu."
Pernah
seseorang berkata kepada Ibrahim, "Anda
suka berpikir lama-lama." la menimpali, "Tafakur adalah otaknya
akal." Sufyan ats-Tsauri seringkali bersajak, "jika seseorang itu
berfikir Maka dalam setiap sesuatu mengandung pelajaran." Hasan
al-Bashri mengomentari firman Allah SWT di bawah ini;
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ
فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ
"Aku memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku." (al-A'raaf: 146)
Hasan
al-Bashri berkata,'Artinya, Aku
menghalangi mereka bertafakur tentang ayat-ayat itu." Seorang arif
pernah berkata, "Kalau saja dengan
perenungannya hati orang-orang bertakwa menjangkau pahala akhirat yang indah
yang ditakdirkan di balik tirai kegaiban, hidup di dunia tidak lagi nikmat bagi
mereka dan hati mereka tidak lagi tenang."
Hasan
al-Bashri berkata, "Lama menyendiri
lebih menyempurnakan perenungan. Dan, lama merenung adalah penunjuk jalan ke
surga." Wahab berkata,
"Seseorang yang lama berpikir pasti akan tahu, dan seseorang yang tahu
pasti akan beramal." Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz berkata, "Merenungkan nikmat-nikmat Allah SWT
termasuk ibadah paling mulia." Suatu ketika Abdullah bin Mubarak
menanyai seorang sahabatnya yang dilihatnya lama merenung, "Sampai di mana renunganmu?" Jawabnya, "Sampai shiraath
(jembatan di akhirat)." Bisyr berkata, "Kalau manusia memikirkan keagungan Allah SWT, tentu mereka tidak akan
bermaksiat kepada-Nya."
Ibnu
Abbas pun berkata, "Dua rakaat yang
pendek disertai dengan tafakur lebih baik daripada tahajud sepanjang malam tapi
tanpa kesadaran." Sementara itu, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, "Memikirkan dunia menghalangi akhirat
dan merupakan hukuman bagi seorang wali. Sedang, memikirkan akhirat melahirkan
hikmah dan menjernihkan hati." Selanjutnya, Ibnu Abbas berkata, "Memikirkan kebajikan mendorong untuk
mengamalkannya." Imam Syafi'i pun pernah menyatakan, "Kumpulkanlah tenaga untuk berbicara
dengan diam dan untuk ber-istimbath 'mengambil dalil-dalil untuk menarik sebuah
kesimpulan hukum' dengan berpikir."
Hal ini
karena berpikir adalah amal hati, sedang ibadah adalah amal organ zahir. Karena
hati lebih mulia daripada organ zahir, maka amalnya lebih mulia daripada amal
organ zahir. Sesungguhnya tafakur dapat mengantarkan seseorang pada posisi iman
melebihi amal. Tafakur menyebabkan seseorang dapat menyingkap hakikat,
membedakan peringkat-peringkatnya, mengetahui mana yang baik dan buruk,
mengetahui yang utama dan yang biasa saja, yang buruk dan yang paling buruk.
Juga mengetahui sebab-sebab yang mengantarkannya kepada semua hal itu, serta
apa yang bisa menepis sebab-sebab itu dan menolak akibatnya.
Selain
itu, tafakur juga dapat membedakan apa yang patut dicoba untuk diwujudkan dan
apa yang patut dicoba untuk ditolak sebab-sebabnya. Tafakkur membuat seseorang
mampu membedakan antara wahm (kegamangan) dan khayalan
yang menghalangi banyak manusia untuk mempergunakan kesempatan yang ada dan
antara sebab yang benar-benar [bukan sekedar hayalan] menjadi penghalang,
sehingga ia memusatkan perhatiannya kepadanya, bukan kepada yang sekedar
khayalan.
Tidak
ada yang mampu menghalangi seorang hamba menggapai kesempurnaan, keberuntungan,
dan kebahagiaan di dunia dan akhirat yang lebih berbahaya dari wahm yang
menguasai jiwa dan khayalan yang merupakan kapalnya atau bahkan lautnya yang ia
tak pernah berhenti berenang di sana. Penyakit ini hanya bisa diberantas habis
dengan pikiran yang lurus dan azam (tekad) yang kuat, yang dapat membedakan
antara wahm dan hakikat.
Demikian
pula halnya jika seseorang memikirkan akibat akhir dari berbagai perkara. Pada
saat seperti ini ia tidak hanya menjangkau persoalan-persoalan luarnya saja.
Tapi, ia mampu meletakkan berbagai persoalan tersebut pada posisi yang tepat
dan mengetahui tingkat-tingkatnya. Apabila ada godaan dosa dan syahwat lalu
pikiran seseorang dapat melampaui kenikmatan dan kesenangan nafsunya, maka ia
tak akan melakukan perbuatan dosa tersebut.
Apabila
ada godaan semacam itu dan seseorang memikirkan akibat fatal, kepedihan serta
kesedihan yang tidak sebanding dengan kenikmatan dan kesenangan yang ia dapat,
maka ia tidak akan melakukannya. Begitu juga jika hatinya dilanda godaan untuk
santai, malas-malas, tidak mau menanggung beban dan kepayahan dalam beribadah.
Apabila pikirannya dapat melampaui persoalan-persoalan itu, kemudian dengan
pikirannya menyeberang ke hasil akhir yang berupa kelezatan, kebaikan, dan kegembiraan
yang menutupi kepedihan yang terasa pada permulaannya, maka makin dalam
pikirannya menyelami hal itu, makin kuat dorongan untuk mendapatkannya. Pada
saat seperti ini beban pun terasa ringan, dan dia menghadapinya dengan giat,
kuat, juga semangat.
Demikian
halnya bila ia merenungkan hasil akhir dari apa yang memperbudaknya, yaitu
harta, kedudukan, dan kecantikan. Apabila seseorang melihat akibat akhir dari
semua itu dengan memakai mata nalarnya, tentu ia akan malu terhadap akal dan
jiwanya sendiri kalau sampai menjadi budak hal-hal semacam itu. Seperti
dikatakan, "jika seorang perindu
memikirkan keindahan yang memikatnya Niscaya ia tak akan terpikat oleh
keindahan itu." Demikian pula bila seseorang memikirkan dari mana
asalnya makanan yang lezat-lezat yang diburu oleh jiwa-jiwa yang mirip binatang
itu. Ataupun, apabila ia merenungkan apa yang terjadi pada makanan itu saat
keluar dari lubang pembuangan. Apabila seseorang memikirkan kedua hal itu,
pasti ia tidak akan mau menjadikan makanan sebagai sembahan hati, yang selalu
dicari, diusahakan, diperjuangkan, dan diagung-agungkan.
Disebutkan
dalam musnad bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya
Allah SWT menjadikan makanan anak Adam seperti dunia. Sekalipun dia membumbui
dan menggaraminya, dia pasti tahu akan jadi apa nantinya. "(HR
Baihaqi). Apabila seseorang mau merenungkan hasil akhir dari semua itu sedang
jiwanya merdeka dan mulia, tentu dia tidak mau menjadikan jiwanya budak sesuatu
yang akibat akhirnya paling busuk dan menjijikkan seperti ini
Demikianlah
uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang
berilmu pada Bagian Kedua Puluh Tujuh untuk sudut pandang
keseratus empat Lima puluh satu hingga sudut pandang keseratus lima pulu tiga.
Dengan selesainya pembahasan pada sudut pandang keseratus lima puluh tiga pada
bagian kedua puluh tujuh ini maka tuntaslah sudah tugas Penulis untuk melakukan
pembahasan tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap
kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu. Agar para pembaca dapat memahami secara
utuh, Penulis menyarankan adar Para Pembaca Artikel keluargasamara.com ini
melakukan tela’ah secara sistematis dan bertahap dari Bagian Pertama hingga Bagian
Kedua Puluh Tujuh pada tulisan ini agar substansi isinya dapat dipahami secara
komprehensif (Menyeluruh).
Komentar
Posting Komentar