Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Tujuh

 

KEUTAMAAN ILMU

Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah

Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu

(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)

Bagian Kedua Puluh Tujuh

(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)

Pada artikel Bagian Kedua Puluh Enam mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu  dari sudut pandang keseratus empat puluh sembilan sampai dengan keseratus lima puluh. Pembahasan berikutnya akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang keseratus lima puluh satu hingga sudut pandang keseratus lima puluh tiga. Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.

Seratus lima puluh satu. Sesungguhnya, bagi seorang Ulama yang disibukkan dalam kegiatan mempelajari dan mengajarkan ilmu akan senantiasa dalam keadaan beribadah. Ketahuilah bahwa belajar dan mengajar adalah ibadah. Ibnu Mas'ud berkata, "Seorang fakih terus menerus melakukan shalat." la ditanya, "Bagaimana shalatnya?" Jawabnya, "Zikir kepada Allah SWT dengan hati dan lisannya." Ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr. Dalam hadits Mu'adz secara marfu' dan mauquf, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi saw.,"Pelajarilah ilmu, sebab mempelajarinya karena Allah adalah kebaikan, mencarinya adalah ibadah, dan mengulanginya adalah tasbih."

Ibnu Abdul Barr pun telah menyebutkan dari Mu'adz secara marfu', "Kamu pergi lalu mempelajari salah satu bab ilmu lebih baik bagimu daripada kamu shalat seratus rakaat." Hadits ini tidak pasti benar marfu' atau bukan. Ibnu Wahb berkisah, "Saat itu aku sedang berada bersama Imam Malik bin Anas, membaca buku di hadapannya dan mempelajari ilmu. Ketika tiba waktu shalat Zuhur atau Asar, aku kumpulkan buku-bukuku dan aku bangkit untuk shalat sunah. Imam Malik bertanya, Apa yang kamu lakukan ini?' Aku menjawab, Aku hendak shalat.' la berkata, Aneh sekali! Shalat yang hendak kamu lakukan itu tidaklah lebih afdhal daripada pelajaran itu, jika niatnya benar.'" Ar-Rabi' mendengar Imam Syafi'i berkata, "Menuntut ilmu lebih afdhal daripada shalat sunah." Sufyan ats-Tsaury berkata, "Tidak ada amal yang lebih afdhal daripada menuntut ilmu selama niatnya lurus."

Seorang pria bertanya kepada al-Mu'afy bin Imran, "Mana yang lebih kamu sukai, aku shalat sepanjang malam atau aku menulis hadits?" la menjawab, "Kamu menulis hadits lebih aku sukai daripada kamu shalat dari awal sampai akhir malam." la berkata juga, "Menulis satu hadits lebih aku sukai daripada shalat satu malam." Ibnu Abbas berkata, "Menelaah ilmu beberapa saat lebih aku senangi daripada shalat sepanjang malam." 

Patut kiranya diketahui oleh para pembaca artikel keluargasamara.com bahwa pengertian Hadits Mauquuf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, bukan kepada Rasulullab saw. Sedangkan yang dimaksud Hadits Marfu dapat dipahami sebagai Hadits yang sandarkan terhadap Nabi Muhammad SAW dari ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat Beliau.

Dalam Masa 'il-nya, Ishaq bin Manshur bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang maksud perkataan Ibnu Abbas di atas, "Ilmu apa yang dimaksudnya?" Ahmad menjawab, "Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam agama mereka." Ishaq bertanya lagi, "Tentang wudhu, shalat, puasa, haji, talak, dan sejenisnyakah?" la menjawab, "Benar." Ishaq berkata lagi, "Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku, 'Maksudnya memang seperti yang dikatakan Ahmad itu.'" Abu Hurairah berkata, "Aku lebih senang duduk sesaat untuk memperdalam ilmu agamaku daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai pagi." Ibnu Abdil Barr menyebutkan dari hadits Abu Hurairah, "Segala sesuatu punya pilar. Dan pilar agama ini adalah ilmu. Allah SWT tidak diibadahi dengan sesuatu yang lebih afdhal dari memperdalam ilmu agama."

Muhammad bin Ali al-Baqir berkata, "Seorang ulama yang ilmunya bermanfaat lebih baik dari seribu abid/orang yang gemar beribadah." la berkata juga, "Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah manusia lebih afdhal daripada ibadahnya seribu abid." Karena menuntut ilmu, meneliti, dan menulisnya termasuk amal hati dan raga sekaligus, maka ia tergolong amal yang paling afdhal. Kedudukannya terhadap amal organ zahir adalah seperti kedudukan amalan hati (seperti ikhlas, tawakal, cinta, tobat, ridha, takut, dan sejenisnya) terhadap amal zahir.

Apabila ada orang mengatakan bahwa ilmu hanyalah wasilah dan sarana untuk amal, sedangkan amal adalah tujuan sebenarnya. Sementara itu, kita maklum bahwa tujuan lebih mulia daripada sarana. Bagaimana di sini sarana lebih diutamakan dari tujuannya? Jawabannya: baik ilmu maupun amal terbagi ke dalam dua kelompok. Ada yang merupakan sarana dan adapula yang merupakan tujuan. Jadi, tidak semua ilmu itu sekedar sarana untuk melaksanakan hal yang lain. Ilmu tentang Allah SWT, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling mulia secara mutlak. Dan, ilmu ini adalah tujuan, bukan sebatas sarana. Allah SWT berfirman,


اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

"Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS.ath-Thalaq: 12)

Sesungguhnya Allah SWT telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta menurunkan perintah agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Dia Maha Tahu atas segala hal dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Untuk tujuan ilmu inilah manusia diciptakan. Allah SWT berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

"Maka, ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah." (Muhammad: 19)

Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tentang keesaan-Nya dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dituntut untuk dipelajari dalam kapasitasnya sebagai tujuan. Memang tidak cukup dengan ilmu itu semata, dan harus ditambah dengan ibadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya. Kedua hal itu (ilmu tentang keesaan-Nya dan ibadah) dituntut untuk dipelajari dalam kapasitasnya sebagai tujuan. Seseorang diharuskan mengetahui Tuhan dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan, dan hukum-hukum-Nya, serta melaksanakan ibadah sesuai dengan ilmu tersebut. Jadi, sebagaimana ibadah kepada-Nya dituntut karena nilai ibadah itu sendiri, demikian juga ilmu tentang diri-Nya. Apalagi, ilmu adalah salah satu ibadah paling afdhal seperti diterangkan di muka. la mencakup tujuan dan sarana.

Pernyataan 'amal adalah tujuan' pengertiannya mengandung dua kemungkinan: amal yang meliputi amal hati dan amal organ zahir, atau amal khusus organ zahir saja. Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, itu benar, dan sekaligus itu menunjukkan bahwa ilmu adalah tujuan dan dituntut, karena ia termasuk amal hati. Kalau yang dimaksud adalah yang kedua, itu tidak benar. Karena, sebenarnya amal-amal hati dituntut dan diinginkan karena dirinya sendiri. Sebaliknya amal-amal organ zahir sekedar sarana untuk melaksanakan yang lain. Sebab pahala, siksa, pujian, dan celaan itu semua utamanya untuk hati dan berikutnya untuk organ zahir. Demikian pula amal-amal yang utamanya ditujukan untuk kebersihan, istiqamah, dan penghambaan hati kepada Tuhan. Amal organ zahir dalam hal semacam ini hanya mengikuti maksud yang dikehendaki oleh amal hati saja; walaupun banyak dari amalamal ini dikehendaki karena maslahat yang ada di baliknya.

Di antara maksud-maksud itu adalah kebersihan, kesucian, dan istiqamahnya hati. Dengan demikian, dapat kita pahami kalau amal-amal itu ada yang menjadi tujuan dan ada yang sekedar sarana. Demikian juga halnya dengan ilmu. Di samping itu, ilmu yang sekedar menjadi sarana untuk amal, jika tidak diiringi dengan amal, maka ilmu itu tidak ada manfaatnya dan amal lebih mulia darinya. Adapun ilmu yang urgensi dan buahnya timbul dari dirinya sendiri, tidak dapat dikatakan bahwa amal semata (tanpa ilmu) lebih mulia darinya. Bagaimana bisa ibadah  jasadi (badani) lebih afdhal daripada ilmu tentang Allah SWT, nama dan sifat Nya, hukum-hukum-Nya, dan perintah-Nya?

Bagaimana lebih mulia daripada ilmu tentang amal-amal hati dan cacat-cacat kejiwaan, pengetahuan tentang hal-hal yang merusak amal dan menghalanginya sampai dari hati kepada Allah SWT, pengetahuan tentang jarak antara amal dan hati dan antara hati dan tuhan, dan tentang cara menempuh jarak tersebut, dan ilmu-ilmu iman lainnya, yang menguatkanya dan melemahkannya? Bagaimana dikatakan bahwa hanya melaksanakan ibadah zahir dengan organ tubuh lebih afdhal daripada ilmu ini?

Jelas orang yang melaksanakan kedua hal itu lebih sempurna. Kalau ada kelebihan pada salah satu dari keduanya, maka kelebihan ilmu ini lebih baik daripada kelebihan ibadah. Kalau seorang hamba punya kelebihan waktu dalam menunaikan kewajiban, maka menggunakan waktu ini untuk mempelajari ilmu yang berasal dari para nabi lebih afdhal daripada menggunakannya untuk ibadah semata. Inilah kata kunci dalam masalah ini.

Seratus lima puluh dua. Sesungguhnya dari Abu Kabsyah al-Anmary, Imam Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan sabda Rasulullah saw., "Dunia hanya untuk empat orang, (Pertama) seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu oleh Allah SWT. Ia bertakwa kepada Allah SWTdalam mengurus hartanya, menyambung tali kerabat, dan tahu ada hak Allah SWT pada hartanya. Orang ini berkedudukan paling baik di sisi Allah SWT. (Kedua) adalah orang yang dikaruniai oleh Allah SWT ilmu tanpa harta. la berkata, 'Kalau aku punya harta tentu aku akan beramal seperti amalnya si Fulan.'Dia [tergantungj dengan niatnya [ituj. Dan keduanya sama dalam pahala. (Ketiga) adalah orang yang dikaruniai harta tanpa ilmu. la terpuruk dalam hartanya, tidak bertakwa kepada Tuhannya, tidak menyambung kerabatnya, dan tidak tahu ada hak Allah SWT pada hartanya. Orang ini menempati kedudukan paling buruk di sisi Allah SWT. (Keempat) orang yang tidak dikaruniai harta dan ilmu oleh Allah SWT. Dia berkata, 'Seandainya saja aku punya harta tentu aku melakukan seperti apa yang diperbuat si Fulan itu.' Orang ini (tergantung) dengan niatnya (itu). Dan keduanya sama dalam dosa."

Nabi membagi penghuni dunia menjadi empat. Yang terbaik (pertama) adalah orang yang dikaruniai ilmu dan harta. Dia berlaku baik terhadap orang lain dan dirinya sendiri dengan ilmu dan kekayaannya. Martabat berikutnya (kedua) adalah orang yang diberi ilmu tapi tidak mendapat harta. Tapi, pahalanya sama dengan yang pertama. Hal itu karena niatnya. Kalau bukan karena niat, tentu orang yang berilmu dan bersedekah berada di atas orang berilmu yang tidak bersedekah dengan kelebihan sedekah dan infaknya tersebut. Orang berilmu yang tidak punya harta mendapat pahala sama dengan orang berilmu yang memiliki harta karena niatnya. Yaitu niat yang pasti dan serius disertai dengan apa yang disanggupinya, berupa ucapan. Peringkat ketiga adalah orang yang dikaruniai harta tapi tidak dikaruniai ilmu. Ini adalah manusia terburuk dalam pandangan Allah SWT, karena harta orang seperti ini adalah sumber celakanya. Kalau dia tidak punya harta, tentu lebih baik baginya. Karena dia diberi sesuatu untuk dijadikan bekal menuju surga, tapi karena kebodohannya, dia malah menjadikan hal itu sebagai bekal ke neraka. Yang keempat adalah orang yang tidak diberi harta ataupun ilmu, tapi ia punya niatan, "Kalau punya harta akan mempergunakannya dalam maksiat." Orang ini menempati posisi di bawah posisi hartawan yang tidak berilmu, tapi sama dengannya dalam dosa. Itu karena niatnya yang pasti dan serius untuk mempergunakan harta dalam maksiat jika ia memilikinya, sementara niatnya itu dibarengi dengan ucapan; yaitu bukti keseriusan niatnya tersebut.

Kita melihat Nabi membagi orang bahagia menjadi dua kelompok. Dalam pembagian ini, beliau menjadikan ilmu dan pengamalannya sebagai sebab kebahagiaan mereka. Beliau juga membagi orang-orang yang celaka dan sengsara menjadi dua, dan menjadikan kebodohan serta akibatnya sebagai sebab kecelakaan mereka. Jadi, kebahagiaan berasal dari faktor ilmu dan amal, dan kesengsaraan berasal dari faktor kebodohan dan akibatnya.

Seratus lima puluh tiga. Sesungguhnya seorang salaf pernah berkata, "Tafakkur (berpikir) sesaat lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun." Seorang lelaki bertanya kepada Ummu Darda' tentang ibadah suaminya. Ummu Darda' menjawab, "Sebagian besar siang harinya dimanfaatkan untuk merenung." Hasan al-Bashri berkata, "Tafakkur sesaat lebih baik daripada tahajud semalam suntuk." Al-Fadhl bin 'Iyadh berkata, "Tafakkur itu cermin, memperlihatkan kebaikan dan keburukanmu kepada dirimu."

Pernah seseorang berkata kepada Ibrahim, "Anda suka berpikir lama-lama." la menimpali, "Tafakur adalah otaknya akal." Sufyan ats-Tsauri seringkali bersajak, "jika seseorang itu berfikir Maka dalam setiap sesuatu mengandung pelajaran." Hasan al-Bashri mengomentari firman Allah SWT di bawah ini;

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ

 "Aku memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku." (al-A'raaf: 146)

Hasan al-Bashri berkata,'Artinya, Aku menghalangi mereka bertafakur tentang ayat-ayat itu." Seorang arif pernah berkata, "Kalau saja dengan perenungannya hati orang-orang bertakwa menjangkau pahala akhirat yang indah yang ditakdirkan di balik tirai kegaiban, hidup di dunia tidak lagi nikmat bagi mereka dan hati mereka tidak lagi tenang."

Hasan al-Bashri berkata, "Lama menyendiri lebih menyempurnakan perenungan. Dan, lama merenung adalah penunjuk jalan ke surga." Wahab berkata, "Seseorang yang lama berpikir pasti akan tahu, dan seseorang yang tahu pasti akan beramal." Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz berkata, "Merenungkan nikmat-nikmat Allah SWT termasuk ibadah paling mulia." Suatu ketika Abdullah bin Mubarak menanyai seorang sahabatnya yang dilihatnya lama merenung, "Sampai di mana renunganmu?" Jawabnya, "Sampai shiraath (jembatan di akhirat)." Bisyr berkata, "Kalau manusia memikirkan keagungan Allah SWT, tentu mereka tidak akan bermaksiat kepada-Nya."

Ibnu Abbas pun berkata, "Dua rakaat yang pendek disertai dengan tafakur lebih baik daripada tahajud sepanjang malam tapi tanpa kesadaran." Sementara itu, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, "Memikirkan dunia menghalangi akhirat dan merupakan hukuman bagi seorang wali. Sedang, memikirkan akhirat melahirkan hikmah dan menjernihkan hati." Selanjutnya, Ibnu Abbas berkata, "Memikirkan kebajikan mendorong untuk mengamalkannya." Imam Syafi'i pun pernah menyatakan, "Kumpulkanlah tenaga untuk berbicara dengan diam dan untuk ber-istimbath 'mengambil dalil-dalil untuk menarik sebuah kesimpulan hukum' dengan berpikir."

Hal ini karena berpikir adalah amal hati, sedang ibadah adalah amal organ zahir. Karena hati lebih mulia daripada organ zahir, maka amalnya lebih mulia daripada amal organ zahir. Sesungguhnya tafakur dapat mengantarkan seseorang pada posisi iman melebihi amal. Tafakur menyebabkan seseorang dapat menyingkap hakikat, membedakan peringkat-peringkatnya, mengetahui mana yang baik dan buruk, mengetahui yang utama dan yang biasa saja, yang buruk dan yang paling buruk. Juga mengetahui sebab-sebab yang mengantarkannya kepada semua hal itu, serta apa yang bisa menepis sebab-sebab itu dan menolak akibatnya.

Selain itu, tafakur juga dapat membedakan apa yang patut dicoba untuk diwujudkan dan apa yang patut dicoba untuk ditolak sebab-sebabnya. Tafakkur membuat seseorang mampu membedakan antara wahm (kegamangan) dan khayalan yang menghalangi banyak manusia untuk mempergunakan kesempatan yang ada dan antara sebab yang benar-benar [bukan sekedar hayalan] menjadi penghalang, sehingga ia memusatkan perhatiannya kepadanya, bukan kepada yang sekedar khayalan.

Tidak ada yang mampu menghalangi seorang hamba menggapai kesempurnaan, keberuntungan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat yang lebih berbahaya dari wahm yang menguasai jiwa dan khayalan yang merupakan kapalnya atau bahkan lautnya yang ia tak pernah berhenti berenang di sana. Penyakit ini hanya bisa diberantas habis dengan pikiran yang lurus dan azam (tekad) yang kuat, yang dapat membedakan antara wahm dan hakikat.

Demikian pula halnya jika seseorang memikirkan akibat akhir dari berbagai perkara. Pada saat seperti ini ia tidak hanya menjangkau persoalan-persoalan luarnya saja. Tapi, ia mampu meletakkan berbagai persoalan tersebut pada posisi yang tepat dan mengetahui tingkat-tingkatnya. Apabila ada godaan dosa dan syahwat lalu pikiran seseorang dapat melampaui kenikmatan dan kesenangan nafsunya, maka ia tak akan melakukan perbuatan dosa tersebut.

Apabila ada godaan semacam itu dan seseorang memikirkan akibat fatal, kepedihan serta kesedihan yang tidak sebanding dengan kenikmatan dan kesenangan yang ia dapat, maka ia tidak akan melakukannya. Begitu juga jika hatinya dilanda godaan untuk santai, malas-malas, tidak mau menanggung beban dan kepayahan dalam beribadah. Apabila pikirannya dapat melampaui persoalan-persoalan itu, kemudian dengan pikirannya menyeberang ke hasil akhir yang berupa kelezatan, kebaikan, dan kegembiraan yang menutupi kepedihan yang terasa pada permulaannya, maka makin dalam pikirannya menyelami hal itu, makin kuat dorongan untuk mendapatkannya. Pada saat seperti ini beban pun terasa ringan, dan dia menghadapinya dengan giat, kuat, juga semangat.

Demikian halnya bila ia merenungkan hasil akhir dari apa yang memperbudaknya, yaitu harta, kedudukan, dan kecantikan. Apabila seseorang melihat akibat akhir dari semua itu dengan memakai mata nalarnya, tentu ia akan malu terhadap akal dan jiwanya sendiri kalau sampai menjadi budak hal-hal semacam itu. Seperti dikatakan, "jika seorang perindu memikirkan keindahan yang memikatnya Niscaya ia tak akan terpikat oleh keindahan itu." Demikian pula bila seseorang memikirkan dari mana asalnya makanan yang lezat-lezat yang diburu oleh jiwa-jiwa yang mirip binatang itu. Ataupun, apabila ia merenungkan apa yang terjadi pada makanan itu saat keluar dari lubang pembuangan. Apabila seseorang memikirkan kedua hal itu, pasti ia tidak akan mau menjadikan makanan sebagai sembahan hati, yang selalu dicari, diusahakan, diperjuangkan, dan diagung-agungkan.

Disebutkan dalam musnad bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT menjadikan makanan anak Adam seperti dunia. Sekalipun dia membumbui dan menggaraminya, dia pasti tahu akan jadi apa nantinya. "(HR Baihaqi). Apabila seseorang mau merenungkan hasil akhir dari semua itu sedang jiwanya merdeka dan mulia, tentu dia tidak mau menjadikan jiwanya budak sesuatu yang akibat akhirnya paling busuk dan menjijikkan seperti ini

Demikianlah uraian Penulis tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Tujuh untuk sudut pandang keseratus empat Lima puluh satu hingga sudut pandang keseratus lima pulu tiga. Dengan selesainya pembahasan pada sudut pandang keseratus lima puluh tiga pada bagian kedua puluh tujuh ini maka tuntaslah sudah tugas Penulis untuk melakukan pembahasan tentang sudut pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi orang-orang yang berilmu. Agar para pembaca dapat memahami secara utuh, Penulis menyarankan adar Para Pembaca Artikel keluargasamara.com ini melakukan tela’ah secara sistematis dan bertahap dari Bagian Pertama hingga Bagian Kedua Puluh Tujuh pada tulisan ini agar substansi isinya dapat dipahami secara komprehensif (Menyeluruh).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

NASEHAT INDAH GUNA MENJAGA KEHARM0NISAN DALAM KELUARGA

5 RESEP DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA ISLAMI