Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu) Bagian Kedua Puluh Empat
Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
Tentang Keutamaan dan Kemuliaan llmu
(Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu)
Bagian Kedua Puluh Empat
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Pada artikel Bagian Kedua Puluh Tiga
mengenai “Pandangan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah Tentang Keutamaan dan
Kemuliaan llmu (Urgensi dan Kebutuhan Manusia Kepada llmu”, telah
Penulis uraikan pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait keutamaan
ilmu dan orang-orang yang berilmu dari sudut pandang keseratus tiga
puluh enam sampai dengan keseratus tiga puluh sembilan. Pembahasan berikutnya
akan Penulis lanjutkan dengan kajian pada sudut pandang yang
keseratus empat puluh hingga sudut pandang keseratus empat pulu tiga.
Berikut ini akan Penulis berikan ulasannya.
Seratus empat puluh. Haruslah kita akui bahwa semua pemilik
barang selain ilmu, jika diketahui bahwa ada barang lain yang lebih
baik kualitasnya dari barang yang dimilikinya, sudah pasti ia akan memandang
rendah terhadap apa yang ia miliki dan merasa tidak membutuhkannya. Ada
dorongan dalam hatinya, dia menginginkan barang lain yang kualitasnya lebih
baik tersebut, dan ingin sekali menukarkan
barangnya dengan barang yang lebih baik itu. Beda halnya dengan pemilik ilmu, karena ia tidak suka
mendapatkan ganti selain ilmu itu.
Berikut ini Penulis ingin menguraikan
beberapa kisah terkait dengan sikap para Pemilik Ilmu. Jika Sufyan ats- Tsaury melihat seorang tua
yang tidak menulis hadits, beliau berkata," Semoga Allah SWT tidak
memberimu ganjaran pengabdian kepada Islam." Abu Jakfar ath-Thahawy berkisah, "Saat itu aku sedang berada di majelis Ahmad bin Abi Imran, ketika
seorang hamba dunia lewat dan aku memandang kepadanya dengan kagum sehingga
lupa bahwa aku sedang belajar, Ahmad berkata kepadaku, 'Sepertinya kamu sedang
memikirkan nikmat dunia yang diberikan kepada orang ini.' Aku jawab, 'Benar.'
la berkata, 'Mari aku tunjukkan kepadamu sebuah hal. Relakah kamu bila Allah
SWT memindahkan nikmat dunia yang ada padanya kepadamu dan memindahkan ilmu
yang ada padamu kepadanya sehingga kamu hidup kaya tapi bodoh dan dia miskin
tapi berilmu?' Aku menjawab, Aku tidak mau Allah SWT menukarkan ilmuku dengan
kekayaan orang itu.'" Jadi, ilmu adalah kekayaan meski tanpa harta, ia
adalah kemuliaan meski tanpa kerabat, dan ia adalah kekuasaan meski tanpa para
pendukung.
Seratus empat puluh satu. Sesungguhnya Allah SWT telah memberitahukan
kita bahwa Allah swt akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang berbuat
ihsan dengan ganjaran yang lebih baik dari kebajikan mereka. Allah juga
memberitahukan bahwa Dia membalas kebajikan itu dengan ilmu. Ini menunjukkan
ilmu termasuk ganjaran yang paling baik. Pernyataan yang pertama ditunjukkan oleh
firman-Nya dalam QS.az-Zumar ayat 33 s.d 35:
وَالَّذِي
جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
لَهُمْ مَا
يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ
لِيُكَفِّرَ
اللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي عَمِلُوا وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan
orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada
sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar
Allah menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka
kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan." (QS.az-Zumar:
33-35)
Tentunya, balasan di sini mencakup ganjaran saat
berada di dunia dan kelak di akhirat. Adapun pernyataan yang kedua
ditunjukkan oleh firman-Nya dalam QS.Yusuf ayat 22:
وَلَمَّا بَلَغَ
أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
"Dan
tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepandanya hikmah dan ilmu. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (Yusuf: 22)
Imam Hasan al-Bashri berkata, "Siapa yang beribadah kepada Allah SWT dengan
baik pada masa mudanya, maka Allah SWT memberinya hikmah pada masa
tuanya." Ini terambil dari firman-Nya: "Dan
tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS.Yusuf
:22) seperti yang telah Penulis kutip di atas.
Seorang ulama menyatakan, Sesungguhnya “Hikmah' berkata, 'Siapa yang mencariku dan
tidak mendapatkanku, hendaknya ia melakukan hal terbaik yang ia ketahui dan
meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Bila ia melakukan itu, aku berada
padanya meski ia tidak mengetahuiku.”
Seratus empat puluh dua. Patut kita ketahui bahwa sesungghuhnya Allah
SWT menjadikan ilmu bagi hati manusia seperti hujan bagi bumi. Bumi tidak dapat
hidup tanpa hujan, demikian pula hati akan mati tanpa ilmu. Dalam al-Muwattha' disebutkan bahwa Luqman
al-Hakim berkata kepada anaknya, "Anakku,
dekatilah majelis para ulama dan desaklah mereka dengan lututmu karena Allah
SWT menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah (ilmu) seperti Dia
menghidupkan bumi dengan hujan deras."
Bumi memerlukan hujan sebagian waktu saja.
Bila hujan terus menerus turun, bumi mengharapkan hujan berhenti. Tapi ilmu
dibutuhkan sebanyak tarikan nafas. Banyaknya ilmu tidak menambah selain manfaat
dan kebaikan.
Seratus empat puluh tiga. Sesungguhnya begitu banyak sifat yang
tercela pada diri seseorang akan menjadi terpuji dalam hal mencari ilmu;
seperti mencari muka, tidak malu-malu, merendahkan diri, bolak-balik ke tempat
para ulama, dan Iain-lain. Ibnu Qutaibah berkata, "Disebutkan dalam hadits
bahwa "mencari muka bukanlah akhlak
orang beriman kecuali dalam menuntut ilmu." Saya katakan bahwa sebenarnya
itu adalah ucapan seorang salaf, bukan hadits Nabi saw.. Ibnu Abbas r.a.
berkata, "Aku rendah dan hina saat masih mencari ilmu, tapi mulia saat
orang telah membutuhkan ilmuku." la juga pernah berkata, "Aku mendapati kebanyakaan ilmu
Rasulullah saw. berada pada perkampungan Anshar ini. Terkadang aku tidur siang
di depan pintu rumah salah seorang dari mereka. Kalau aku mau, dia pasti mengizinkanku
masuk. Namun, dengan berlaku begitu, aku mengharapkan kerelaan hatinya."
Abu Ishaq menuturkan perkataan Ali, "Ada beberapa kalimat yang amat
bernilai. Yaitu, Hendaknya seorang hamba tidak meletakkan pengharapan kepada
selain tuhannya, hendaknya tidak takut selain dosanya, hendaknya orang yang
tidak tahu tidak malu belajar, dan jika ditanya tentang sesuatu yang tidak
diketahuinya hendaknya tidak malu mengatakan Aku tidak tahu'. Dan ketahuilah,
kedudukan sabar dalam iman seperti kedudukan kepala bagi badan. Bila tidak ada
kepala, maka badan tidak ada fungsinya. Bila sabar lenyap, maka iman pun
sirna." Di antara mutiara kata seorang ulama, "Ilmu tidak didapat
oleh orang yang malu dan angkuh. Yang pertama terhalangi oleh malunya untuk
belajar, dan yang kedua terhalangi oleh kesombongannya." Sifat-sifat yang
tercela tersebut menjadi terpuji dalam menuntut ilmu karena ia merupakan jalan
dalam mendapatkan ilmu itu. Sehingga, sifat-sifat itu terhitung sebagai tanda
kesempurnaan seseorang.
Mari kita perhatikan juga perkataan dari beberapa
Pemilik Ilmu, berikut ini. Hasan al-Basri berkata, "Siapa
yang menghalangi dirinya menuntut ilmu karena malu, berarti ia telah memakai
kebodohan sebagai jubahnya. Maka, potonglah jubah malu; sebab orang yang pemalu
ilmunya lemah." Al-Khalil berkata, "Posisi jahl (kebodohan) adalah antara malu
dan kesombongan." Ali berkata, "Keangkuhan
berakhir dengan kekecewaan, dan malu berakhir dengan kegagalan." Ibrahim
berkata kepada Manshur, "Bertanyalah
dengan pertanyaan orang-orang bodoh dan hafallah seperti hafalan orang-orang
jenius." Meminta sesuatu kepada orang lain termasuk aib dan kehinaan
yang menghilangkan kewibawaan diri seseorang, kecuali dalam mencari ilmu.
Bertanya tentang ilmu justru menunjukkan kesempurnaan, kemuliaan, dan
kewibawaannya.
Seorang salaf berkata, "Sebaik-baik sifat seseorang adalah mau bertanya tentang
ilmu." Yang lain pernah berkata, "Jika
kamu duduk bersama seorang ulama, maka bertanyalah untuk mengetahui bukan untuk
adu mulut." Ru'bah Ibnul 'Ajjaj bercerita, "Pernah aku mendatangi an-Nassabah al-Bakry, lalu ia bertanya
kepadaku, 'Siapa kamu?' Jawabku, 'Aku Ibnul 'Ajjaj.' la berkata, 'Aku tahu.
Mungkin kamu seperti orang-orang yang bila aku diam mereka tidak menanyaiku,
dan bila aku berbicara mereka tidak paham.' Aku berkata, 'Semoga aku tidak
seperti itu.' Ia bertanya, 'Siapa musuh-musuh muru "ah, 'kewibawaan'?' Aku
berkata, 'Beritahukanlah kepadaku!' Ia menjawab, 'Teman-teman yang jahat. Bila
melihat kebaikan temannya, mereka menutup-nutupinya. Tapi bila melihat
keburukan, mereka menyebarkannya.' Ia melanjutkan, 'Ilmu itu punya aib,
kemalangan, dan cacat. Aibnya adalah melupakannya, kemalangannya adalah
berdusta dengannya, dan cacatnya adalah menyebarkannya kepada orang yang tidak
layak."
Sesungguhnya Ilmu itu mempunyai enam tingkatan.
Pertama:
kepandaian bertanya. Kedua: diam dan mendengarkan. Ketiga:
memahami dengan baik. Keempat: hafal. Kelima:
mengajarkan. Keenam: buahnya, yakni mengamalkannya dan menaati Batasan-batasannya.
Ada orang yang tidak mendapatkan ilmu
gara-gara tidak pandai bertanya. Dia sama sekali tidak bertanya, atau bertanya
tentang sesuatu padahal ada hal yang lebih penting untuk ditanyakan. Misalnya,
orang yang bertanya tentang topik-topik tambahan dalam suatu ilmu yang tidak
penting untuk diketahui tanpa menanyakan apa yang perlu ditanyakan. Inilah yang
terjadi pada banyak orang tak berilmu yang sedang belajar.
Ada pula orang yang tidak mendapatkan ilmu
sebab tidak pandai diam. Ia lebih suka bicara dan adu mulut daripada diam. Ini
adalah aib yang tersimpan dalam diri kebanyakan orang yang menuntut ilmu. Aib
ini menghalangi ia mendapat banyak sekali ilmu meski pemahamannya bagus (IQ-nya
tinggi). Ibnu Abdul Barr menyebutkan perkataan seorang salaf, "Orang yang pemahamannya bagus tapi
tidak pandai mendengarkan, maka kebaikannya tidak sebanding dengan
keburukannya." Abdullah bin Ahmad menuturkan dalam kitab al-'Ilal, "Urwah bin Zubair itu senang berdebat dengan
Ibnu Abbas. Dan, karenanya Ibnu Abbas menyimpan ilmunya (tidak memberikannya
kepada 'Urwah). Sementara Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah lembut dalam
bertanya, maka Ibnu Abbas amat memuliakannya dengan ilmu." Ibnu Juraij
berkata, "Aku tidaklah menggali ilmu yang aku dapat dari Atha' kecuali
dengan bersikap lembut kepadanya." Seorang salaf, berkata, "Jika kamu
berhadapan dengan seorang ulama, maka hendaknya kamu lebih suka mendengar
daripada berbicara."
Allah SWT berfirman,
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ
قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
"Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya." (QS. Qaaf:
37)
Mari kita renungkan kandungan ilmu yang
tersirat di balik rangkaian kalimat tersebut di atas. Betapa mengikuti
petunjuknya dapat membuka pintu ilmu dan hidayah bagi seorang hamba; dan betapa
pintu ilmu tertutup akibat mengabaikannya. Allah SWT menyuruh hamba-hamba-Nya
merenungkan ayat-ayat-Nya yang tertulis (Al-Qur'an) dan ayat-ayat-Nya yang
terlihat (alam semesta) sehingga menjadi tadzkirah
(pengingat) bagi orang yang punya hati. Akan tetapi, orang yang tidak punya
hati tidak dapat mengambil faidah dari setiap ayat yang lewat di depannya.
Lewatnya ayat-ayat tersebut seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang di
hadapan orang buta. Apabila dia punya hati, ia sama dengan orang yang dapat
melihat bila lewat di hadapannya benda-benda kongkrit. Namun, orang yang punya
hati tidak mengambil manfaat dari hatinya kecuali dengan dua hal. Pertama:
menghadirkan hati. Kedua: mengkonsentrasikannya terhadap apa yang disampaikan
kepadanya.
Bila ia tidak mengambil manfaat dari hatinya
dengan dua hal tersebut di atas, dan ia terbang dalam angan, khayal, dan
syahwat; maka ia tidak dapat menarik manfaat dari hatinya. Biarpun ia
menghadirkan hatinya, ia juga tidak dapat mengambil faedah kecuali bila ia
memasang telinga dan memusatkan pendengarannya kepada yang diajarkan kepadanya.
Jadi, di sini terkandung tiga hal. Pertama:
Kebersihan dan penerimaan hati. Kedua: Menghadirkannya dan
mencegahnya dari lamunan, tidak konsentrasi. Ketiga: Memasang telinga
dan melakukan zikir. Ketiga hal inilah yang disebutkan Allah SWT dalam ayat di
atas. Ibnu Athiyyah berkata, "Yang
dimaksud hati di sini adalah akal karena hati adalah tempat akal. Jadi artinya,
bagi orang yang punya hati yang dapat memahami dan dapat mengambil
manfaatnya." Ia berkata juga, "Asy-Syibly berpendapat bahwa hati yang
hadir bersama Allah SWT, tidak lalai dari-Nya walau sekejap mata." dia
menyaksikan' (syaahid) menghadapi suatu urusan, tidak berpaling dan memikirkan
selain yang sedang dia dengar. Ibnu 'Athiyyah berkata, "Qatadah berpendapat bahwa itu adalah isyarat kepada Ahli Kitab.
Seakan-akan Allah SWT berfirman, 'Ini benar-benar menjadi pelajaran bagi orang
yang punya pemahaman dan merenungkan hal itu, atau bagi orang yang telah
mendengarnya dari Ahli Kitab lalu "mempersaksikan" kebenarannya
karena dia telah punya ilmu (pengetahuan) akan hal itu dari kitabnya, Taurat
dan kitab-kitab Bani Israel lainnya." Dengan demikian, menurut takwil
pertama, syahiid adalah dari kata 'musyaahadah' (menyaksikan). Sedangkan
menurut takwil kedua dari kata syahaadah (persaksian).
Telah disebutkan dalam tafsir bahwa yang
dimaksud di sini adalah Ahli Kitab yang mereka mempunyai keterangan sifat Nabi
saw. Jadi, maknanya adalah 'atau dia
mendengarkan sedang hatinya bersaksi bahwa sifat Nabi saw. termaktub dalam
kitabnya'. Makna inilah yang dituturkan oleh Ibnu Athiyyah dari Qatadah,
dan dia menyebutkan bahwa syahiid di
sana bermakna syaahid yang berarti 'yang
mengetahui'. Adapun az-Zamakhsyary, pengarang tafsir al-Kassyaaf, berkata, "Bagi orang yang punya hati yang paham,
karena orang yang hatinya tidak dapat memahami sama saja dengan tidak punya
hati. flqaa ‘us-sam'i artinya memasang
pendengaran. Wa huwa syahiid artinya hadir dengan kesadarannya, karena orang
yang pikirannya tidak hadir (mengawang) seperti orang yang tidak berada di
tempat; atau artinya 'dia beriman dan mempersaksikan kebenarannya bahwa dia
adalah wahyu Allah SWT.' Dan dia adalah sebagian saksi yang tersebut dalam
firman-Nya, syuhadaa" 'alan-naas."
Disebutkan pula pendapat Qatadah bahwa
artinya adalah 'sementara dia menjadi
saksi kebenarannya dari kalangan Ahli Kitab karena karakternya (Nabi Muhammad)
disebutkan dalam kitabnya'. Dengan demikian, semua sepakat bahwa yang
dimaksud dengan 'al-qalb' di sini adalah hati yang dapat memahami; dan yang
dimaksud dengan ilqaa ‘us-sam'i adalah memasang pendengaran kepada pemberi
nasehat. Tapi, mereka berbeda pendapat soal kata 'syahiid'.
Ada empat pendapat. Pertama: ia terambil dari
kata musyaahadah
yang berarti al-hudhuur (kehadiran).
Inilah pendapat yang paling benar. Pendapat-pendapat yang lain tidak pas dengan
ayat ini. Kedua: terambil dari kata syahaadah. Sesuai dengan makna ini
ada tiga pendapat: 1. Dia mempersaksikan
kebenaran keyakinannya. 2. Dia adalah
salah satu saksi atas manusia pada hari kiamat. 3. Dia adalah persaksian dari
Allah SWT yang ada padanya atas kebenaran kenabian Muhammad saw dengan apa yang
diketahuinya dari kitab-kitab samawi yang diturunkan. Yang benar adalah
pendapat pertama, karena firman-Nya wahnwa
syahiid adalah berposisi sebagai haal (keadaan), dan 'wawu' di sana adalah wawu
haal (wawu yang menunjukkan arti keadaan). Jadi, artinya adalah 'dia
memasang pendengaran dalam keadaan tersebut'. Ini menuntut dia, saat memasang
pendengaran itu, hadir (sadar). Kalau maksudnya adalah persaksian atas manusia
di akhirat atau dunia tentu tidak ada gunanya dikaitkan dengan ilqaa'us-sam'i karena firman itu nanti
berarti 'Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai had atau
yang menggunakan pendengarannya dengan syarat dia adalah orang yang bersaksi
dengan keterangan dalam Taurat, atau dengan syarat dia menjadi saksi pada hari
kiamat'.
Terkait dengan hal ini, Imam Ibnu Qayyum
berpandangan bahwa tidak diragukan lagi jika ini bukanlah maksud dari ayat
tersebut. Juga, ayat itu umum, mencakup semua orang yang punya hati dan
memasang pendengaran. Sebagaimana diklaim bahwa ayat itu khusus untuk
orang-orang beriman dari kalangan Ahli Kitab yang pada mereka ada persaksian
dari kitab-kitab mereka tentang sifat Nabi Muhammad saw. Di samping itu, surah
ini adalah surah Makkiyyah. Tidak mungkin dalam surah Makkiyyah ada khithab yang khusus berkenaan dengan
Ahli Kitab, terlebih lagi khithab
seperti ini yang kepadanya dikaitkan terwujudnya kandungan ayat dan maksudnya
dengan al-qalbu dan ilqaa 'us-sam'i.
Bagaimana dikatakan ayat ini tentang Ahli
Kitab? Jika dibantah bahwa yang khusus berkenaan dengan mereka adalah
firman-Nya wa huwa syahiid, maka
jawabnya: ini lebih salah lagi karena dhamir
pada wa huwa syahiid kembali kepada keseluruhan orang yang tersebut sebelumnya,
yaitu orang yang punya hati dan memasang telinga. Bagaimana diklaim dhamir
itu kembali kepada hanya sebagian dari yang telah disebutkan di depan padahal
dalam lafalnya tidak ada yang menunjukkan hal itu? Juga, masyhuud bihi (hal yang dipersaksikan) di sini dihapus, tidak
disebutkan secara sharih (tegas), dan tidak ada dalil dalam lafal yang
menunjukkannya. Kalau yang dimaksud adalah wa huwa syaahid bi-kadzaa
(sedang dia menjadi saksi atas hal ini), pasti hal yang dipersaksikan tersebut
dinyatakan karena tidak ada yang menunjukkan kepadanya dalam kalimat itu.
Berbeda halnya jika kata itu ditafsirkan
berasal dari syuhuud yang berarti
kehadiran. Ia tidak memerlukan maf'ul yang menjadi objek kehadiran untuk
sempurnanya kalimat itu. Di samping itu, ayat tersebut mengandung dua pembagian
dan pengulangan. Pertama: orang yang berhati. Kedua: orang yang
memasang pendengaran dan hadir dengan hatinya, tidak melamun. Wallahu a'lam, ini
adalah rahasia dipakainya kata 'au' (atau), bukan wa (dan). Karena, manusia
yang mengambil faedah dari ayat-ayat itu ada dua macam, yaitu :
Pertama: orang yang punya hati yang dapat paham serta suci batinnya. Dia
mendapat hidayah cukup dengan sedikit memasang perhatian. Dia tidak perlu
menghadirkan hatinya dan mengumpulkan pikirannya yang cerai-berai. Hatinya
dapat paham, suci, menerima hidayah, dan tidak berpaling darinya. Yang
diperlukan oleh orang seperti ini hanyalah sampainya hidayah itu, karena dia
punya kesiapan yang sempurna dan fitrahnya bersih. Bila hidayah datang, hatinya
cepat menerima, seakan[1]akan hidayah itu telah
tertulis dalam hatinya. la telah memilikinya secara global, lalu datanglah
hidayah itu untuk memerinci apa yang telah dipersaksikan kebenarannya oleh
hatinya secara global itu. Inilah keadaan orang yang paling baik jawabannya
terhadap dakwah para rasul, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq.
Kedua: orang yang tidak punya kesiapan dan penerimaan seperti ini. Jika
petunjuk (hudaa) datang kepadanya, ia memasang pendengarannya, menghadirkan
hatinya, dan memusatkan pikirannya. Dia tahu kebenaran dan kebaikannya dengan
merenungkannya. Ini adalah cara kebanyakan orang yang menjawab seruan dakwah.
Untuk merekalah dibuat berbagai variasi perumpamaan, pemaparan hujah-hujah, dan
disebutkan syubhat dan bantahannya.
Orang-orang yang pertama itulah yang diseru dengan
hikmah. Sedang yang ini diseru dengan mau'izhah hasanah. Inilah
dua macam orang yang menjawab seruan dakwah. Adapun orang-orang yang
membangkang dan yang diseru kepada kebenaran ada dua macam juga. Mereka yang
didakwahi dengan cara mujaadalah billatii hiya ahsan, 'debat dengan cara terbaik'. Jika mereka
tidak memenuhi seruan dengan cara ini, mereka didakwahi dengan mujaaladah
(kekerasan).
Terhadap mereka yang membangkang ini
diperlukan jidaal (adu argumen) atau jilaad (kekerasan). Siapa pun yang
memperhatikan dakwah Al-Qur'an akan menemui dakwahnya itu mencakup pembagian
ini seluruhnya. Allah SWT berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ ۚ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (an-Nahl: 125)
Mereka-mereka ini didakwahi dengan omongan.
Adapun yang memerlukan kekerasan (jilaad) adalah orang-orang yang kita
diperintahkan oleh Allah SWT memerangi mereka sampai tidak terdapat fitnah dan
agar agama semuanya menjadi milik Allah SWT. Namun demikian, ada orang yang
menafsirkan ayat ini bahwa maksud dari man
kaana lahuu qalbun adalah orang yang dengan fitrahnya tidak membutuhkan
ilmu mantik. Yaitu, orang yang disokong oleh kekuatan sakral yang dengannya dia
mendapatkan al-haddul awsath (batas
tengah) dengan cepat.
Dengan fitrahnya yang murni ini tidak perlu
memperhatikan ketentuan kaidah-kaidah mantik. Yang dimaksud dengan alqas-sam 'a wa huwa syahiid adalah
orang yang tidak memiliki potensi seperti itu. la perlu belajar mantik agar
dengan mengikuti kaidah-kaidahnya pikirannya lurus: tidak tersesat. Mereka
menafsirkan 'hikmah' dalam firman-Nya;
dengan qiyas burhani 'silogisme demonstratif';
'mau 'izhah hasanah' dengan qiyas
khithaby 'silogisme retorik', dan 'jidal
billaty hiya ahsan' dengan qiyas jadaly 'silogisme dialektik'.
Ibnu Qoyyum al-Jauziyyah memandang bahwa penafsiran
seperti ini bukan penafsiran tabi'in, sahabat, ataupun salah seorang ulama
tafsir, bahkan juga bukan penafsiran kaum muslimin. Itu tidak lain adalah
tahrif (penyelewengan arti) terhadap firman Allah SWT dengan menakwilkannya
menurut istilah ilmu mantik yang tidak mendapat tempat dalam akal dan iman. Ini
sama dengan penafsiran aliran Qaramithah, Kebatinan, serta
Syi'ah Ismailiyyah yang ekstrim ketika mereka menafsirkan ayat Al-Qur'an agar
sesuai dengan mazhab-mazhab mereka yang batil dan sesat.
Sesungguhya Al-Qur'an sendiri bersih dari
semua kandungan arti itu. Kami telah menyebutkan batilnya penafsiran ahli-ahli
mantik terhadap ayat ini dan ayat lain di tempat terpisah dari beberapa sisi.
Kami terangkan kesalahannya dari sisi akal, syara', bahasa, adat. Kami jelaskan
bahwa Kalamullah tidak mungkin diartikan seperti itu. Tujuan utama dari penjelasan
ini, menururt Ibnu Qoyyim, adalah menerangkan bahwa seseorang tidak mendapat
ilmu gara-gara keenam hal berikut ini: Pertama: tidak bertanya. Kedua:
tidak pandai diam dan tidak memasang pendengaran. Ketiga: pemahaman yang
buruk. Keempat: tidak hafal. Kelima: tidak menyebarkan dan mengajarkannya.
Kalau orang menyimpan ilmunya dan tidak mengajarkannya, Allah SWT akan
membalasnya dengan menjadikan dia melupakan ilmunya. Ilmunya itu lenyap. Itulah
balasan yang sepadan dengan kelakuannya. Dan ini fakta. Keenam: tidak
mengamalkannya. Mengamalkan ilmu menjadikan seseorang mengingat dan
memperhatikan ilmu itu. Bila tidak diamalkan, ilmu akan terlupakan.
Seorang salaf berkata, "Kami menjaga hafalan akan ilmu dengan mengamalkannya."
Seorang salaf yang lain juga berkata, "Ilmu
memanggil seseorang untuk beramal. Jika ia penuhi panggilan itu, maka ilmu akan
berdiam pada dirinya. Jika tidak, maka ilmu akan meninggalkannya."
Jadi, mengamalkan ilmu adalah salah satu
faktor penjaganya yang paling efektif; dan tidak mengamalkan adalah sebab
lenyapnya. Tidak ada yang dapat mendatangkan ilmu dengan begitu derasnya
melebihi pengamalan ilmu itu. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ
رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan
berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua
bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.al-Hadiid: 28)
Adapun firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat
282:
وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
"Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu”
Menurut Imam Ibnu Qoyyim "tidak termasuk dalam masalah ini.
Karena, firman tersebut mengandung dua kalimat yang independen. Kalimat pertama
thalabiyyah, yaitu perintah bertakwa; sedang kalimat kedua
khabariyyah (berita). Jadi, artinya 'dan Allah mengajarkan kepadamu apa
yang harus kalian takwa terhadapnya'. Kalimat kedua ini bukan jawaban dari
perintah pada kalimat pertama.
Demikianlah uraian Penulis tentang sudut
pandang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap kutamaan ilmu dan kemulyaan bagi
orang-orang yang berilmu pada Bagian Kedua Puluh Empat untuk sudut
pandang keseratus empat puluh hingga sudut pandang keseratus empat puluh tiga ini.
In syaa Allah akan Penulis lanjutkan pembahasan Bagian Kedua Puluh Lima untuk
sudut pandang keseratus Empat Puluh Empat hingga sudut pandang
selanjutnya, pada postingan artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar