Petik Hikmah dari Kisah Nabi Musa dan Khidir, Raih Ilmu Bermanfaat dan Husnul Khatimah di Hari Akhir (Materi Kelima: Buku "Suami Istri Berkarakter Surgawi")
Petik Hikmah dari Kisah Nabi Musa dan Khidir,
Raih Ilmu Bermanfaat dan Husnul Khatimah di Hari Akhir
(Materi Kelima: Buku "Suami
Istri Berkarakter Surgawi")
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Salah satu kisah
dalam Al-Qur’an yang paling terkenal adalah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Kisah ini bercerita tentang perjalanan
pengembaraan ilmu nabi Musa as ketika berguru perihal hikmah dan spritualitas
dengan salah seorang hamba Allah swt yang telah dianugerahkan ilmu laduni
(hikmah dan ma’rifah), yakni nabi Khidir as.
Allah swt telah mengabadikan kisah Nabi Musa
dan Nabi Khidir yang fenomenal tersebut dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82:
وَإِذْ قَالَ
مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ
حُقُبًا
فَلَمَّا بَلَغَا
مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا
قَالَ أَرَأَيْتَ
إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا
الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
قَالَ ذَٰلِكَ
مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا
عِلْمًا
قَالَ لَهُ
مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
قَالَ إِنَّكَ
لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
وَكَيْفَ تَصْبِرُ
عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
قَالَ سَتَجِدُنِي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
قَالَ فَإِنِ
اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
فَانْطَلَقَا
حَتَّىٰ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ
أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا
قَالَ أَلَمْ
أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
قَالَ لَا
تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا
فَانْطَلَقَا
حَتَّىٰ إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ
نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا
قَالَ أَلَمْ
أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
قَالَ إِنْ
سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي
عُذْرًا
فَانْطَلَقَا
حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ
لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
قَالَ هَٰذَا
فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ
صَبْرًا
أَمَّا السَّفِينَةُ
فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
وَأَمَّا الْغُلَامُ
فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
فَأَرَدْنَا
أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
وَأَمَّا الْجِدَارُ
فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا
كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ
مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah
laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya
ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu
tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk
menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara yang aneh sekali". Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita
cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu? Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu,
yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar,
dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun" Dia berkata:
"Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya.
Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa
berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar". Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa
berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini,
maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Khidhr berkata: "Inilah
perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang
mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu
kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Berdasarkan rangkaian ayat tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa Allah SWT telah membimbing Nabi Musa supaya
terlepas dari kesombonganya terkait dengan ilmu yang telah dimilikinya, ketika
Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ada seoramg hamba yang lebih alim dan
berilmu pengetahuan luas dari pada Musa yaitu Khidir. Ada tiga kejadian
terhadap Musa yang diberikan oleh Khidir saat mengikuti perjalanan Nabi Khidir
dalam rangka menuntut ilmu kepadanya, yaitu: melobangi perahu, membunuh anak dan membetulkan dinding yang hampir
roboh.
Sesungguhnya menuntut ilmu adalah salah satu
aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas.
Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa
batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda “Tuntutlah ilmu
semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri
China”.
Dua hadits Nabi di atas secara tersirat
menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits
pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau
dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang
membahari itu. Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang
dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh
dimensi tempat.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu.
Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat
memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam masih
menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau
sejauh apa pun, bahkan sampai ke China, tetap harus dilakukan.
Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan
mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya
pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan
saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang
penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal
dengan adãb al-muta’allim.
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di
abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau
yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh
al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat
menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa
sebelum berguru kepada Nabi Khidir ‘alaihima as-salam. Dari firman
Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi:
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya: Musa berkata kepadanya (Khidir), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau
mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu sebagai
petunjuk”
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi menyampaikan
gagasannya berupa sembilan adab atau tata karma seorang murid dalam menuntut
ilmu, sebagai beriukut:
Pertama: Harus selalu mengabdi dan bersikap tawadhu’ (rendah
hati) terhadap guru. Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud
bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك
(bolehkah aku mengikutimu)
memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya
seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin
terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi
terhadap sang guru. Dan itu adalah bentuk ketawadhu’an atau sikap rendah hati
yang begitu agung dari seorang murid.
Melalui kalimat أتّبعك , ar-Razi menyatakan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang
murid harus ikut kepada gurunya secara totalitas (kaaffah), tanpa syarat
dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan
Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun.
Kedua: Harus menyatakan diri sebagai murid yang tidak tahu apa-apa
Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap
angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan
bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu.
Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid
harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak
dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan
yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan
intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu.
Ketiga: Janganlah seorang murid banyak permintaan kepada guru. Dalam menuntut ilmu
kepada seorang guru, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis
meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya, seorang pengemis tidak
mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang
kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta sekian persen saja dari persentase
seluruh harta si kaya. Begitu pula halnya adab seorang murid kepada gurunya.
Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta
banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia
seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk
dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu
menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada
seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu.
Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki
cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak
didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya.
Keempat: Seorang murid harus mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah
swt. Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang
murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa
seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu
yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya
melalui kalimat مما علّمت (sebagian dari ilmu yang diajarkan
kepadamu).
Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta
kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang
diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang
seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan
membimbing sang murid tersebut.
Kelima: Seorang murid haruslah meminta petunjuk dan bimbingan dari gurunya. Telah kita ketahui bahwa tujuan mulia dari
belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia
pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kebodohan, kesesatan dan
kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah
ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan
bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa
ta’ala ممّا علّمت رشدا.
Oleh karena itu, dalam penggalan ayat
tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ‘ilmu’ yang disandingkan dengan kata
الرشد (petunjuk). Dapat disimpulkan bahwa
termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta
ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke
jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai.
Fenomena yang ada, banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan
karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat
dan dorongan agar tidak menyeberang pada jembatan kesesatan.
Keenam: Seorang murid tidak diperbolehankan menentang dan membantah apa yang
diperintahkan oleh gurunya. Penulis telah menjelaskan pada poin sebelumnya
bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu,
yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang
sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim
“menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang
guru”. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf
di Indonesia.
Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan
maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau
pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena
mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan
dinikahkan. Konsep pemikiran yang
digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri
yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya
kepada guru atau sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun
juga menunggu keputusan ng kiai. Tidak diperbolehkannya seorang mudir menentang
dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut
ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun.
Ketujuh: Seorang murid dalam mencari ilmu pengetahuan
tidak boleh memperhitungkan status sosialnya. Termasuk pelajaran yang dapat
kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah
bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini
kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” (perhatikanlah
apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan) yang
dituturkan oleh Sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling
tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini.
Nabi Musa 'alaihissalam dalam
perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan
status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap
menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya,
Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang
menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani
Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak
mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi
kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki.
Kedelapan: Aktivitas seorang santri/ murid saat mondok
adalah untuk mengabdi dan kemudian mengaji. Seorang thâlib al-‘ilmi (pencari ilmu) tatkala
berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang
guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap
diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم (mengabdi
sebelum mengaji). Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك
على أن تعلّمني (apakah aku boleh mengikutimu agar engkau
dapat mengajarkanku..).
Berdasarkan penggalan ayat tersebut di atas,
tampak penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna ‘mengabdi’ disebutkan lebih dahulu
dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna ‘mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh
ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian
terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya.
Kesembilan: Seorang Murid atau Santri haruslah
menyadari bahwa belajar adalah untuk ilmu bukan untuk yang lain. Adab
menuntut ilmu yang terakhir ini adalah berkenaan dengan niat dan tujuan
menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan
dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda;
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن
كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Seluruh
amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan
memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa
hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju
(keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau
kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR.
Bukhari-Muslim).
Nasihat terindah ar-Razi kepada para penuntut
ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai
dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan
sebagai ladang mencari harta kekayaan dan tahta atau jabatan di masa yang akan
datang. Wallahu a’lam Bisshowab
Komentar
Posting Komentar