KDRT dalam Keluarga tidak akan ada dalam Keluarga yang SaMaRa
KDRT dalam
Keluarga tidak akan ada
dalam
Keluarga yang SaMaRa
(Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Setiap pasangan hidup dalam suatu keluarga
tentunya mendambakan sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Rahmah (SaMaRa)
dalam suasana yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Hanya saja, perlu
disadari bersama bahwa menikah itu langkah awal membangun sebuah keluarga,
Sedangkan membangun keluarga yang baik diperlukan ilmu dan kesiapan mental yang
matang. Hal ini karena keluarga adalah sebuah ikatan “mitsaqan ghalidza”, atau sebuah perjanjian
yang agung, perjanjian yang kuat, perjanjian yang serius, bukan perjanjian
main-main. Jadi pernikahan itu bukan hanya seumur jagung atau untuk 1 atau
2 tahun saja lalu cerai, kawin lagi cerai tetapi harus sampai ke akhir
hayat. Jalinan pernikahan sungguh sangat istimewa, sehingga di dalam
jalinan pernikahan tidak akan pernah saling mencaci maki, menghakimi,
menjatuhkan, menertawakan kelemahan masing-masing. Sebab keluarga adalah tempat
bagi seseorang untuk mendapatkan rasa cinta dan hormat dan kasih sayang.
Hanya sangat disayangkan, fenomena yang
terjadi, betapa para pemuda, kaum pria, saat mengejar cintanya rela melakukan
apa saja, berbagai upaya dilakukan demi mendapatkan cinta si Jantung Hati. Dan
saat si Jantung Hati jatuh ke pelukannya, itu adalah kebahagiaan terbesar
baginya. Hanya saja satu hal yang sangat disayangkan yaitu adanya pemahaman
yang salah dalam diri sebagian kaum laki-laki, sebagai suami, akan kedudukan
subordinatif kaum perempuan, sebagai istri mereka, dan fenomena yang sering
terjadi memunculkan relasi gender yang tidak seimbang antara suami dan istri. Asumsi
sebagian kaum pria, para suami, bahwa istri mereka lah yang bertanggung jawab
dalam hal mengurus semua masalah rumah tangga, seperti memasak dan menyiapkan hidangan
masakan untuk makan anggota keluarga, mengurus anak, mencuci piring dan pakaian,
membersihkan rumah, dan beberapa pekerjaan rumah lainnya. Padahal relasi antara
suami-istri yang timpang tersebut sangatlah berpotensi menimbulkan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT). Terkesan Sang Suami merasa memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dari istri bahkan dari seluruh keluarga, karenanya suami mempunyai
kekuasaan penuh dalam menjalankan biduk rumah tangga.
Akhirnya, kaburlah makna cinta dan kasih
sayang yang semula dijadikan landasan dalam membangun rumah tangga. Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan suami dan istri tidak selamanya berjalan mulus
tanpa masalah atau konflik dan perdebatan. Hanya saja, patut disadari bahwa
perbedaan adalah hal yang sudah pasti terjadi dalam biduk rumah tangga,
sehingga harus dikelola untuk menemukan saling pengertian dan saling memahami
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saami-istri haruslah saling saling
mengisi. Semangat dan kesadaran saling pengertian dan saling mengisi akan
menafikan adanya kekuasaan yang dominan dari satu pihak ke pihak yang lain,
kekuasaan yang menempatkan satu pihak dominan sebagai yang bisa mendidik,
menyalahkan, mengadili, bahkan menghakimi terhadap pihak lain yang dianggap
derajatnya lebih rendah.
Sesungguhnya, kekuasaan yang demikian rawan
melahirkan kekerasan yang menistakan. Membangun keluarga harus dipersiapkan
dengan matang dari awal sejak sebelum menikah, perlu ditanamkan bahwa menikah
itu harusnya lillahi ta’ala dan menjalankan Sunnah Rasulullah SAW.
Dengan dasar inilah maka akan terwujud keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Rahmah
(SaMaRa). Sudah barang tentu dalam keluarga yang dibingkai dengan lillahi ta’ala, karena Allah, suami
bekerja dalam rangka bisa memberikan nafkah, senantiasa berusaha membahagiakan
istri dan keluarga serta menyayangi dan menjaga mereka, dengan dasar niat karena
Allah memerintahkan itu. Sementara istri dalam merawat anak-anak, melakukan
pekerjaan rumah tangga semata istri melakukannya karena pengabdian kepada suami
dan rasa cinta dan saying kepada anak-anak, dengan didasari niat karena Allah.
Jika situasi dan kondisi ini yang terbangun maka suami-istri, keduanya akan saling
mencintai dan menyayangi dalam ketakwaan sehingga akan terbentuk keluarga
harmonis yang bermuara pada satu tujuan. Sebagaimana yang Allah SWT nyatakan
dalam firman-Nya QS. ar-Rum: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Allah SWT pun telah menegaskan terkait dengan
tujuan diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan di muka bumi ini. Allah SWT
berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu jenis laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat Ayat 13).
Dalam ayat ini Allah SWT telah menegaskan
tujuan dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan agar dapat merasa tentram
(sakinah). Manusia dijadikan berpasang-pasangan agar suami-istri saling
membantu dalam menghadapi gelombang kehidupan, menciptakan keluarga yang kuat
fondasi dan aturannya serta untuk ketenangan dan kebahagiaan. Hubungan keduanya
dikuatkan dengan saling mengasihi, saling cinta, saling menyayangi dan saling
bermurah hati. Dengan demikian, sakinah menjadi tujuan dalam berkeluarga.
Keluarga sakinah hanya bisa terwujud jika
hubungan timbal balik antar anggota keluarga seimbang dan setara dengan saling
menguatkan, saling cinta dan mengasihi, serta kerjasama lainnya yang harmonis.
Maka barulah akan tercipta sakinah dalam keluarga, keluarga yang tenang,
tentram, baik dan bahagia karena hilangnya hal yang dapat menyebabkan kerusakan
dan ketakutan atau kepanikan pada diri setiap anggota keluarga yang ada di
dalamnya.
Boleh jadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) kerap terjadi karena salah persepsi terhadap konteks firman Allah SWT
berikut ini:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(Q.S. Annisa : 34)
Begitu juga dengan redaksi Hadis Nabi berikut
ini:
بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الرَّبِيعِ
بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِّمُوا الصَّبِيَّ الصَّلَاةَ ابْنَ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُ
عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
أَبُو عِيسَى حَدِيثُ سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
وَقَالَا مَا تَرَكَ الْغُلَامُ بَعْدَ الْعَشْرِ مِنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَسَبْرَةُ هُوَ ابْنُ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيُّ وَيُقَالُ هُوَ ابْنُ
عَوْسَجَةَ
“Telah
menceritakan kepada kami Ali bin Hujr berkata; telah mengabarkan kepada kami
Harmalah bin Abdul Aziz bin Ar Rabi' bin Syabrah Al Juhani dari Abdul Malik bin
Ar Rabi' bin Sabrah dari Ayahnya dari Kakeknya ia berkata; "Rasulullah SAW
bersabda: "Ajarkanlah shalat kepada anak-anak diumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka ketika meninggalkan shalat di umur sepuluh tahun." Ia
berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin 'Amru."
Abu Isa berkata; "Hadits Sabrah bin Ma'bad Al Juhani derajatnya hasan
shahih." Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini. Dan pendapat inilah
yang diambil oleh Ahmad dan Ishaq. Keduanya berkata; "Shalat yang
ditinggalkan oleh anak yang telah berumur sepuluh tahun, maka ia harus
mengulanginya." Abu Isa berkata; "Sabrah adalah Ibnu Ma'bad Al
Juhani, ia disebut juga dengan nama Ibnu Ausajah."(H.R. Tirmidzi Nomor
372).
Berdasarkan kedua dalil tersebut di atas
(Firman Allah SWT dan Hadis Nabi SAW), muncul pandangan yang keliru yang mengatakan bahwa agama Islam
membolehkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya suami boleh
memukul istri dan anaknya. Sesungguhnya, persepsi ini terjadi karena
ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka terhadap Islam yang sesungguhnya, dan
sayangnya banyak masyarakat awam yang berpandangan
keliru tersebut menerapkannya dalam keluarga mereka. Padahal tidaklah benar
anggapan yang mengatakan bahwa ajaran Islam menganjurkan kepada umatnya untuk
melakukan tindakan tidak beradab seperti itu.
Jika kita amati dari korban kekerasan yang
kebanyakan berjenis kelamin wanita, maka ada yang beranggapan bahwa KDRT adalah
masalah gender. Dan, ajaran agama Islam dituduh melanggengkan budaya ini. Akhirnya
ada persepsi salah yang menganggap syariat Islam dicap sebagai upaya memarjinalkan
posisi kaum perempuan atau wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk
memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan atau KDRT.
Dalam upaya menghapuskan tindakan KDRT maka tentunya
perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam kehidupan
rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki kewenangan yang tidak
harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan penghapusan
KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita. Namun demikian, tindak kejahatan
bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa
saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa
pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat
apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya
laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah
SWT atau tidak.
Sekalipun kuat alasan bahwa pemukulan kepada
wanita diijinkan oleh agama, tentunya Islam telah menetapkan batasan-batasan
dan syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan
pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk
membalas dendam, menghinakan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang
tidak keras. Tidak boleh melampaui batas. Perlu digarisbawahi bahwa dalam
konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan
anak-anaknya agar taat kepada Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(Q.S.
at-Tahrim : 6).
Dalam proses Pendidikan terhadap istri dan
anak seorang suami atau ayah, dibolehkan memukul dalam konteks pendidikan atau
ta’dib dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas. Antara lain:
pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan apalagi sampai mematikan;
pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah
ditempuh) untuk memberi hukuman/ pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam
keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan melampaui batas kewajaran dan membahayakan);
tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada;
tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan
tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10
tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan
bertobat dan minta maaf atas perbuatannya.
Dengan demikian jika ada seorang ayah yang
memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10
tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut
telah menganiaya anaknya. Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misalnya tidak mau melayani suami
padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami
memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang
melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan
di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah
menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Intinya, seorang suami boleh memukul istrinya
jika ada indikasi istrinya tersebut telah nusyuz. Nusyuz adalah tindakan atau
perilaku seorang istri yang tidak bersahabat pada suami. Dalam Islam
suami-istri ibarat satu jasad, jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus
saling menjaga, saling mengingatkan, saling menghormati, saling mencintai,
saling menyayangi, saling mengasihi, saling memuliakan dan saling menjaga.
Istri yang nusyuz adalah istri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga
dan memuliakan suaminya. Istri yang sudah tidak lagi komitmen pada ikatan suci
pernikahan. Misalnya, istri selingkuh dengan pria lain.
Jika seorang suami telah melihat gejala
nusyuz dari istrinya maka Alqur`an memberikan tuntunan bagaimana mengambil
sikap sehingga dapat mengembalikan istrinya ke jalan yang benar. Tuntunan itu
terdapat dalam surat An-Nisa ayat 34 seperti yang telah disebutkan diatas,
yaitu :
Pertama: Menasehati dengan sebaik-baik nasehat.
Allah memerintahkan kita untuk mengedepankan
nasehat dalam mengatasi istri yang nusyuz, karena nasehat mempunyai pengaruh
yang besar dalam memperbaiki perilaku seseorang, terutama wanita. Wantia
cenderung mempunyai perasaan yang lembut, yang apabila suami selalu
mengingatkannya dengan surga dan ancaman pedihnya adzab Allah, niscaya seorang
istri akan mudah tersentuh dengannya. Oleh karenanya, sang suami harus selalu
menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat. Nasehat bukan hanya milik seorang
suami, tapi seorang istri juga berhak menasehati suaminya jika dia mendapati
kesalahan pada diri suami yang sudah menyelisihi aturan Allah. Tapi yang perlu
diingat, dalam menasehati harus pandai-pandai memilih kata yang lembut yang
tidak menyakiti hati pasangan kita, sehingga nasihat akan mudah diterima dengan
baik.
Kedua: Pisah ranjang.
Pisah yang dimaksud di sini pun hanya dalam
urusan ranjang saja, tidak termasuk urusan-urusan yang lain. Dalam pelaksanaan hajr (pisahan)
ini ada hal yang harus diperhatikan. Sang suami boleh menghajr istrinya tapi tidak boleh mengusirnya keluar rumah atau
memulangkannya kepada pihak keluarga istri. Hal seperti ini yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat hajr. Akan tetapi, jika
sang suami memang ingin menenangkan diri, dia boleh keluar rumah misalnya ke
masjid. Keluarnya suami itu lebih baik dari pada istri yang keluar. Tetapi,
jika sang istri memang meminta untuk pulang kekeluarganya demi kemaslahatan,
sang suami juga tidak boleh melarangnya, sehingga timbullah saling menghargai
di antara kedua pasangan walau ketika ada masalah.
Bentuk pelaksanaan Hajr: Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai bentuk hajr itu
sendiri, sebagian ulama mengatakan bahwa hajr yaitu saling membelakangi antara
suami dan istri ketika di atas ranjang. Sebagian yang lain mengatakan bahwa
hajr yaitu meninggalkan jima' (hubungan suami-istri). Sebagian lain lagi
mengatakan bahwa hajr itu pisah ranjang antara suami dan istri. Adapun lama
waktu hajr berakhir ketika sang istri sudah taubat dari nusyuznya dan meminta
maaf kepada suami, karena alasan adanya hajr adalah adanya nusyuz dari istri
yang dimaksudkan untuk mendidik dan memberi pelajaran bagi istri. Maka, jika
tujuan sudah tercapai, masa hajr pun juga harus segera diakhiri.maksimal hajr
adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa
melakukan cara hajr yang lain.
Ada baiknya kita simak Hadis Nabi SAW, yang
artinya :
“Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik
dari Ibnu Syihab dari 'Athaa bin Yazid Al Laitsi dari Abu Ayyub Al Anshari
bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim tidak
bersapaan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga malam. Keduanya saling
bertemu, tetapi mereka saling tak acuh satu sama lain. Yang paling baik di
antara keduanya ialah yang lebih dahulu memberi salam." Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan Abu Bakr bin Abu Syaibah serta Zuhair bin
Harb mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin
Yahya; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku
Yunus; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan
kepada kami Hajib bin Al Walid; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Harb dari Az Zubaid; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali dan Muhammad bin Rafi' serta
'Abad bin Humaid dari 'Abdur Razzaq dari Ma'mar seluruhnya dari Az Zuhri dengan
sanad Malik, dengan Hadits yang serupa. Kecuali Malik yang menggunakan lafazh:
'Fayashuddu Hadza wa yashuddu Hadza.' (keduanya saling berpaling).” (H.R. Muslim Nomor. 4643).
Ketiga: Memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan pada area-area
tertentu dan tidak menimbulkan bekas di anggota tubuh.
Walaupun begitu, menahan diri untuk tidak
memukul sebisa mungkin juga merupakan sunnah Nabi SAW, karena Rasulullah tidak
pernah memukul istri maupun pembantu beliau kecuali dengan pukulan ringan saja.
Pukulan yang dimaksud disini adalah pukulan yang dibarengi rasa kasih sayang
suami kepada sang istri. Bukan pukulan yang keras hingga membuat istri lari
dari suaminya, menumbuhkan kebencian, dan memupus rasa cinta. Sekalipun pukulan
ini pahit, namun bagi seorang wanita hancurnya rumah tangga lebih terasa pahit
dan menyakitkan. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Siti Aisyah
dikatakan bahwa:
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Saya tidak pernah
melihat sama sekali Rasulullah SAW memukul pembantunya dan tidak pula
isterinya. Dan, beliau tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya sama
sekali kecuali ketika beliau berjihad di jalan Allah. Tidaklah beliau pernah
mendapatkan masalah sedikitpun kemudian ia membalas pelakunya kecuali karena
Allah Azzawajalla. Jika karena Allah, maka beliau membalasnya. Dan tidaklah
beliau dihadapkan dengan dua perkara kecuali beliau akan mengambil yang paling
mudah melainkan bila ia mengandung dosa. Karena apabila mengandung dosa, beliau
adalah orang yang paling jauh darinya.”. (HR. Ahmad Nomor 24734) Dalam hal ini, walaupun rasulullah SAW tidak
pernah memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya, namun ada beberapa
riwayat yang mengatakan bahwa memukul dalam arti mendidik diperbolehkan oleh
rasululullah SAW. Kebolehan itupun harus memperhatikan aturan Islam yang
mengajarkannya, antara lain:
a.
Memukul dengan
pukulan yang tidak membahayakan. Sebagaimana nasihat Nabi SAW ketika haji
wada‟,
“...kemudian jangalah dirimu terhadap wanita.
Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu
dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas
mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu.
Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan.
Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas...”
(H.R. Muslim Nomor. 2137)
b.
Tidak boleh
lebih dari sepuluh pukulan.
“Janganlah
kalian menjilid diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu hukuman had
Allah.” (H.R. Bukhari Nomor. 6344 dan Muslim Nomor. 3222).
c.
Tidak boleh
memukul istri di wajah
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di
wajahnya” (H.R. Abu Daud Nomor. 1830)
“Telah menceritakan kepada kami Nashr bin
'Ali Al Jahdhami; Telah menceritakan kepadaku Bapakku; Telah menceritakan
kepada kami Al Mutsanna; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim; Telah menceritakan kepada kami
'Abdur Rahman bin Mahdi dari Al Mutsanna bin Sa'id dari Qatadah dari Abu Ayyub
dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: -sedangkan di dalam Hadits
Abu Hatim disebutkan dengan lafazh 'dari Nabi SAW: -"Apabila salah seorang
darimu berkelahi dengan saudaranya yang muslim, maka hendaklah ia menghindari
bagian wajah, karena Allah telah menciptakan Adam dengan rupa dan bentuk
wajahnya.” (H.R. Muslim Nomor. 4728, 4731 dan 4732)
4. Setelah tiga tahapan dalam menghadapi
sikap istri yang nusyuz di atas, Allah Ta'ala melanjutkan firmannya,
"Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti
nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah
SWT:
“... Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. Al-Baqarah:228).
Jika masing-masing, baik suami maupun istri
menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam,
niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk
rumah tangga dibangun dengan Sakinah, Mawaddah dan Rahmah. Jika SaMaRa tercipta
dalam suatu keluarga niscaya KDRT tidak akan pernah ada dalam kehidupan rumah
tangga.
Komentar
Posting Komentar