Ketika Zaman Sudah Diwarnai Fitnah, Kita Pilih ‘Uzlah ataukah Khulthah ?
Ketika Zaman Sudah Diwarnai Fitnah, Kita Pilih
‘Uzlah ataukah Khulthah ?
(Oleh: Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Fenomena yang ada di zaman ini tampaknya telah
dipenuhi dengan pemandangan yang penuh fitnah. Tampak jelas terlihat adanya fitnah
syubhat dan pelampiasan syahwat begitu kerap menerpa ,kesyirikan merajalela, kemaksiatan dianggap menjadi kewajaran dalam kehidupan,
sekelompok orang yang bersemangat
menjalankan sunnah dianggap aneh dan mereka yang benci akan sunnah merasa
resah, sementara bid’ah dianggap sunnah. Pada akhirnya orang yang ingin
berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh pada dua pilihan: apakah memilih bersikap ‘uzlah (mengasingkan
diri) ataukah harus memilih bersikap khulthah (tetap
bergaul di tengah masyarakat)?
Banyak dalil dan fatwa Ulama yang
menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi
menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak
terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya pernyataan Ibnu
'Utsaimiin rahimahullaahu, beliau berkata : "Apabila
zaman telah rusak dan engkau melihat pergaulanmu dengan manusia hanya menambah
kejelekan serta semakin jauh dari Allah, maka wajib bagimu untuk menyendiri
(menjauhi pergaulan manusia)" [Syarh Riyaadlish-Shaalihiin, 5/354].
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ
فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ
، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan
dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi
musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya.
Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan
apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).
Sebagaimana juga dalam hadits Rasulullah SAW
berikut ini:
قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ يا رسولَ اللهِ ? قال مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال
: ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ
من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه
“Seseorang
bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’
Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan
Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang
yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan
menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).
Bahkan, Jika hanya ada satu-satunya jalan supaya
selamat dari fitnah yaitu hanya dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan
puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik untuk dilakukan daripada agama kita
terancam dari kehancuran. Hal ini dinyatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam sabdanya:
يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ
يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ
“Hampir-hampir harta seseorang yang paling
baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia
lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al
Bukhari 3300).
Berikutnya,
kita coba tela’ah terkait dalil yang menganjurkan kita harus memilih untuk bersikap
khulthah (tetap
bergaul di tengah masyarakat)
Dalil yang menganjurkan kita untuk bergaul di
tengah masyarakat meskipun dosa dan
kemaksiatan merajalela, sebagai upaya dalam berdakwah dan melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).
Begitu juga dengan firman Allah Ta’ala:
وَالْعَصْرِ )١( إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
)٢( إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ)٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3)
Anjuran untuk bersikap khulthah (tetap bergaul di tengah
masyarakat) juga disampaikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya:
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ
منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah
masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada
seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar
terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul
Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih
dalam Mafatihul Fiqh 44).
Begitu juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ
النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab
hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah”
(HR. Al Bukhari 2942)ز
Hal tersebut diperkuat pula melalui sabda Shallallahu’alaihi
Wasallam:
اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ
الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ
“bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun
berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang
bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan
akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih
Al Jami, 97).
Tentunya masih banyak lagi dalil-dalil yang
lainnya yang terkait dengan anjuran bersikap khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)
meskipun dalam kondisi zaman yang penuh fitnah.
Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan
bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat bermakna
bahwa hal itu berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam
menjalankan perintah agama. Namun sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya
pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah
agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul)
atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang
yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka
lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia
harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab
salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit,
melayat orang yang meninggal, meskipun berada di lingkungan masyarakat yang penuh
dengan kemaksiatan dan kedzholiman. Hanya saja yang di dalam keadaannya ini
adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam
bergaul atau bermasyarakat).
Sementara itu, Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Asqalani menyatakan: “Para salaf berbeda
pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di
tengah masyarakat (yang bobrok akhlaqnya) itu lebih utama karena dengan hal itu
didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam,
memperkokoh kekuatan kaum Muslimin (Ukhuwwah Islamiyyah), tercapainya banyak
kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi,
dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari
keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul
Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).
Imam An Nawawi menjelaskan: “Yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di
masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak
akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut
bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah.
Sebagian ulama mengatakan, keputusannya
tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga
masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk
bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka
hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantung keadaan dan
kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih
bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa
menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama
tidak ada fitnah yang tersebar luas.
Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan
untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi
pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan
ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku
keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk
ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan
ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 46).
Sementara itu saat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ditanya: “Apakah bagi orang yang
berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di
tengah masyarakat?”. Beliau menjawab:
“Masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di
tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang
diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang
diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah
dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam
bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa
dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama
orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at,
shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikian
juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang
kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat
itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah
keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi
manfaat, atau semisal itu.
Dan
semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa,
berdzikir, shalat, ber-tafakkur, muhasabah, memperbaiki hatinya, dan
hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh
bersendirian. Baik di rumahnya, sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat
bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan
pandangannya dan lisannya disana’ , maupun di luar rumah.
Maka
memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah
kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan.
Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini
ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini
sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami
jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa,
10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).
Demikianlah penjelasan dari Penulis dengan
harapan bermanfaat dan bermaslahat bagi para
pembaca dalam menentukan sikap di zaman yang penuh dengan ujian yang sungguh
berat.
Komentar
Posting Komentar