Pilar-Pilar Kokoh Penyanggah Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Al-Qur’an
Pilar-Pilar Kokoh Penyanggah Keluarga Sakinah
Dalam Perspektif
Al-Qur’an
(Oleh:
Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Sesungguhnya tujuan dasar disyari’atkannya
perkawinan adalah untuk mencari rahmah (kasih sayang), baik itu kasih sayang
dari pasangannya maupun rahmah dari Allah swt yang tujuan akhirnya adalah untuk
mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Dalam upaya mewujudkan kebahagian,
ketenteraman, dan ketenangan hidup atau yang dalam al- Qur’an disebut dengan
sakinah itu maka harus dirumuskan bagaimana keluarga sakinah itu bisa terwujud.
Jika kita telaah secara etimologi (Ilmu Bahasa
yang mengkaji tentang asal-usul terbentuknya suatu kata), kata sakinah terambil
dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf yaitu: sin, kaf, dan nun yang
mengandung makna ketenangan, atau anonim dari guncang dan gerak. Berbagai
bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada
makna ketenangan tersebut. Misalnya, kata rumah dinamai “maskan” karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah
sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar). Sedangkan menurut
Quraish Shihab, sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau
tenangnya sesuatu setelah bergejolak.
Pemakaian kata sakinah dalam pembahasan
keluarga pada dasarnya diambil dari al- Qur’ān surat ar-Rum (30): 21 “litaskunu ilaiha” yang artinya bahwa
Allah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenang terhadap
yang lain. Kata sakinah yang digunakan dalam mensifati kata ”keluarga” merupakan tata nilai yang
seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang
dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan di akhirat
kelak.
Dalam kehidupan suatu rumah tangga seharusnya
menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia merupakan tempat
kembali kemana pun mereka pergi. Mereka merasa tenang di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
Keluarga sakinah tidak terjadi begitu saja, akan tetapi perlu ditopang oleh
pilar-pilar yang kuat yang memerlukan perjuangan dan butuh waktu serta
pengorbanan.
Suatu keluarga yang sakinah sesungguhnya merupakan
subsistem dari sistem sosial (social system) dan bukan hanya sebatas “bangunan”
yang berdiri di atas lahan yang kosong. Dalam upaya memangun keluarga sakinah
juga tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun butuh sebuah perjuangan
yang memerlukan pengorbanan dan kesadaran yang cukup tinggi. Namun demikian
semua langkah untuk membangunnya merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.
Terdapat langkah-langkah standar yang dapat
ditempuh untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga yang indah dan keluarga
sakinah. Upaya dalam merumuskan hakekat keluarga di dalam al-Qur’an mengacu
pada pembentukan keluarga sakinah, dapat dilihat dari unsurnya yang terdapat
dalam pemaknaan terminologi keluarga itu sendiri. Berikut ini merupakan pilar-pilar
yang untuk mewujudkan profil keluarga sakinah:
Pertama: Kemampuan dalam mewujudkan ketenteraman,
baik secara ekonomis, biologis maupun psikologis, ini terambil dari makna yang
terkandung dalam kata “al-ahl”. Kehidupan keluarga sakinah
tidak akan tercipta oleh orang yang tidak memiliki kemampuan itu.
Kedua: Pergaulan atau sebuah interaksi yang baik (al-mu’asyarah bi al-ma’ruf) atas dasar cinta dan kasih sayang di
antara anggota keluarga, ini terambil dari makna kata yang terkandung dalam
kata al-‘asyīrah.
Pergaulan yang baik ini berupa komunikasi dan interaksi perbuatan maupun sikap
antar anggota keluarga merupakan perangkat vital dalam mewujudkan ketenteraman,
kedamaian dan kesejahteraan.
Ketiga: Mempunyai kekuatan yang kokoh dalam upaya melindungi anggota keluarga
dan menjadi tempat bersandar atau berlindung bagi mereka. Suasana yang nyaman
dalam lingkungan keluarga memungkinkan untuk tumbuh kembangnya generasi yang
terdidik dan memiliki akhlak yang mulia sebagai penyangga kekuatan suatu bangsa.
Keempat: Adanya hubungan kekerabatan atau jalinan
persaudaraan yang baik dengan kerabat dekat. Ini terambil dari makna yang
terkandung dalam zawi al-qurba, za al-qurba, za
al-muqarabah dan a al-qurba. Tentunya dalam suatu keluarga
tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, butuh jalinan yang baik dan harus
diwujudkan dengan keluarga dekat maupun lingkungan sosialnya, termasuk dengan tetangga,
yang merupakan unsur eksternal di dalam mewujudkan sebuah ketenangan dalam kehidupan
rumah tangga.
Kelima: Proses pembentukan keluarga atau mahligai rumah tangga haruslah
melalui proses pernikahan yang sah sesuai dengan ketentuan/ aturan atau syari’at
agama, yakni memenuhi syarat dan rukunnya, ini terambil dari makna yang
terkandung dalam kata zauj dan nikah. Menurut al-Qur’ān
keluarga harus dibangun melalui perkawinan atau pernikahan sebagai aqad
(perjanjian luhur) yang dengannya akan menimbulkan hak dan tanggung jawab.
Keenam: Di dalam suatu keluarga terdapat pembagian tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan status, tugas dan fungsinya (Tupoksi) sebagai anggota keluarga,
yakni sebagai suami-istri (Orang Tua) dan anak. Masing-masing status di dalam
keanggotaan keluarga mempunyai konsekuensi fungsi dan tanggung jawab masing-masing.
Oleh karena itu al-Qur’an menyebutkan beragam diksi, seperti kata abb,
umm, zurriyah, walad dan ibn atau bint. Terkait dengan makna
yang terkandung dalam kata-kata ini pula berimplikasi terhadap anak (kewajiban
anak kepada orang tua), hak anak terhadap orang tua (kewajiban orang tua kepada
anak).
Kesimpulannya, berdasarkan uraian dan penjelasan mengenai
keluarga dalam perspektif al-Qur’an tersebut, patutlah agar kehidupan keluarga
menjadi bahan pemikiran yang mendalam bagi setiap insan dan hendaknya dari
kehidupan keluarga tersebut dapat ditarik pelajaran berharga sehingga hakikat
keluarga itu bisa dimengerti. Al-Qur’ān telah menunjukkan, di samping menjadi
salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi (ayat),
kehidupan kekeluargaan juga merupakan pembelajaran bagi setiap manusia. Di samping
itu, keluarga sekaligus merupakan nikmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan
sebaik mungkin. Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam tatanan kehidupan
bernegara, ia hanya dibentuk oleh dua orang atau lebih, namun pengaruhnya
sangat besar di dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan juga beragama. Analoginya,
andaikan negara diibaratkan seperti rumah, maka keluarga adalah asas atau
tapaknya. Dalam memperjuangkan sebuah negara, asas inilah yang perlu di bangun
terlebih dahulu. Jika asasnya kokoh, akan kokohlah negara yang ditegakkan
nanti. Tetapi jika sebaliknya, negara yang dapat ditegakkan itu tidak akan
bertahan lama.
Sebegitu penting fungsi keluarga dalam
kehidupan ini sehingga al-Qur’an pun memberikan gambaran konsep mengenai
kelurga tersebut. Islam menempatkan keluarga sebagai institusi paling penting
dalam membentuk suatu masyarakat. Keluarga merupakan suatu jalinan hidup
bersama antara laki-laki dan perempuan yang diikat dalam suatu ikatan
perkawinan dengan “janji setia yang kokoh”
(mitsaqan ghalizan) dan menggambarkan
perpaduan kedua belah pihak (suami-istri) sebagaimana perpaduan kesepakatan di
atas landasan satu hati, satu rasa dan satu jiwa.
Komentar
Posting Komentar