Penuhi Hak dan Kewajiban setiap Anggota Keluarga, Niscaya Terwujud Keluarga SaMaRa
Penuhi
Hak dan Kewajiban setiap Anggota Keluarga, Niscaya Terwujud Keluarga SaMaRa
(Oleh:
Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Setiap keluarga tentunya mendambakan
kebahagiaan, ketentraman dan ketenangan jiwa dari semua anggota yang ada dalam
keluarga. Setiap keluarga pun sudah pasti ingin terhindar dari berbagai persoalan
atau konflik dalam keluarga yang akan memunculkan kegelisahan, kesedihan dan pertikaian yang
berujung pada perpecahan dalam keluarga. Sudah barang tentu, semua harapan ini
tidak akan terwujud tanpa didasari oleh dasar keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah SWT, didikung dengan tawakal dan mengembalikan semua urusan kepada-Nya, setelah
melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at Islam.
Esensi keharmonisan keluarga yang berdampak
positif untuk setiap pribadi dan lingkungan keluarga serta masyarakat adalah
pembentukan keluarga dan komitmen setiap anggota keluarga pada nilai kebenaran
yang hakiki. Sungguh Allah SWT telah mempersiapkan tempat yang mulia bagi
manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. Sebagaimana Firman
Allah SWT dalam QS.Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya
adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikan-Nya diantara kamu rasa
kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)
Berdasarkan firman Allah SWT tersebut di atas
maka seharusnya suami dan istri akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman
saat berada dekat pasangannya. Sesungguhnya pilar hubungan suami-istri adalah nuansa
kekerabatan dan persahabatan yang dibangun di atas perasaan cinta dan kasih
sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat antara suami-istri ini dianalogikan
dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Sebagaiman dilustrasikan oleh
Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 187:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
"Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian baginya." (Al
Baqarah: 187)
Patut kita akui dan sadari bahwa dalam upaya menciptakan
sebuah keluarga yang islami pasti tidak terlepas dari berbagai halangan dan
konflik yang terjadi. Konflik dalam keluarga seringkali muncul dalam bentuk
yang beragam. Bagaimana cara menyelesaikan konflik yang terjadi dalam keluarga
kita? Sesungguhnya Islam telah memberikan salah satu cara mengelola konflik yang
efektif, yaitu dengan membudayakan permohonan “maaf” dan budaya
“memaafkan” atas kesalahan yang terjadi di dalam diri suami-istri. Budaya
“Memohon Maaf” dan “Memberikan Maaf” ini merupakan konsep tepat yang secara
implisit bertujuan untuk menghindari terciptanya permusuhan, pertentangan
batin, atau perkelahian/ pertikaian suami-istri atau antar anggota keluarga, yang
sangat berpotensi menceraiberaikan tali ukhuwah di dalam suatu keluarga.
Dalam menciptakan kehidupan keluarga yang
harmonis, kata “maaf” ini harus menjadi budaya bagi semua anggota keluarga.
Suami (Ayah/Papah/Abi) dan Istri (Ibu/Mamah/Ummi) jangan pelit akan sikap saling
memaafkan. Orang tua tentunya tidak akan hina jika harus meminta maaf kepada
anak-anak mereka atas kesalahan yang telah mereka perbuat kepada anak-anaknya.
Pendidikan karakter berupa sikap saling memaafkan ini penting untuk dikembangkan
sebagai Konsep Pendidikan Akhlaq yang Baik (Akhlaqul-Qarimah).
Jika terjadi persoalan atau konflik dalam
keluarga/ rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik, maka terbukalah jalan
untuk membangun komunikasi harmonis dengan memperhatikan Hak, Tugas dan
Kewajiban pada setiap anggota keluarga.
Sesungguhnya, sebagai makhluk Allah SWT yang
paling sempurna dan mulia manusia mempunyai pertanggung jawab yang sangat
berat. Untuk melaksanakan amanat Allah SWT yang mulia dan berat itu, maka Allah
SWT pun telah melengkapi kehidupan manusia dengan perlengkapan yang sesuai
dengan tugas dan kewajibannya.
Sebelum membahas tentang kewajiban seseorang
terhadap orang lain, maka terlebih dahulu harus diperhatikan kewajiban sesorang
terhadap diri sendiri. Kewajiban seseorang terhadap dirinya yang terpenting
adalah menjaga diri sebaik-baiknya, sehingga memenuhi fungsinya dengan
semestinya. Diantara kewajiban terhadap diri sendiri yaitu : memelihara dan
menjaga badan jasmani sehingga menjadi sehat dan kuat, memelihara dan menjaga
jiwa dan hati sehingga dapat memenuhi tugasnya sebagai manusia, memelihara dan
mempertahankan agamanya sehingga mendapatkan keridhaan dari Allah SWT agar
memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Kewajiban berikutnya adalah terkait dengan kewajiban
dari seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Kewajiban suami merupakan salah
satu syarat untuk menuju kepada kesejahteraan keluarganya. Diantara
kewajiban-kewajiban suami terhadap istri adalah berlaku baik,santun dan selalu mewujudkan
rasa kasih sayang kepada istrinya. Seorang suami tidak boleh bertindak kasar atau
mengeluarkan ucapan-ucapan yang dapat menyinggung perasaan istrinya.
Menaruh perhatian terhadap istrinya dengan
selalu menjaga kehormatannya, serta menjaga nama baik istri dan keluarganya
adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan bagi seorang suami. Mencukupi kebutuhan
rumah tangga terutama untuk makan, minum dan perumahan serta pakaian menurut
kadar kekuatan/ kemampuannya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dan Ahmad bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya :
“Uang dinar yang kamu berikan untuk
kepentingan sabilillah, memerdekakan budak, kamu sedekahkan kepada orang miskin
dan yang kamu berikan sebagai nafkah kepada istrimu, diantara kesemuanya itu
yang terlebih besar pahalanya ialah yang kamu berikan kepada istrimu.”
Suami hendaknya berlaku sabar, tenang, lapang
dada dalam menghadapi kekurangan-kekurangan yang ada pada istrinya dengan
selalu memberikan bimbingan dan pendidikan ke arah kebaikan dan mendidik
istrinya ke arah kemuliaan budi pekerti serta akhlaknya.
Seorang istri hendaknya bersikap taat dan
patuh serta hormat terhadap suaminya, karena mengingat bahwa tanggung jawab
yang besar di dalam rumah tangga adalah di tangan suami. Perlu diperhatikan
bahwa persamaan hak antara suami dan istri bukanlah berarti bahwa istri dengan leluasa mengabaikan perintah
suaminya. Istri hendaknya berlaku sopan santun dan menampakkan rasa kecintaan
dan penuh kepercayaan terhadap suami. Senyum simpul yang selalu tampak pada
wajahnya, dan budi pekertinya serta budi bahasanya yang lemah lembut adalah
sifat yang sangat menarik perhatian suami, yang dapat melipur lara dan
menenangkan hati suami saat hatinya gelisah.
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW pernah
bersabda, yang artinya:
“Sebaik-baiknya perempuan (istri) ialah yang
menyenangkan hatimu bila engkau melihatnya dan ta’at kepadamu jika engkau perintah, serta dapat
menjaga kehormatan dirinya dan harta bendamu di waktu engkau pergi”
Selanjutnya, Penulis ingin bahas terkait
kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Sungguh orang tua adalah orang yang
paling besar jasanya kepada anaknya. Keduanya telah menanggung kesulitan dalam
memelihara dan merawat anak mereka sejak dalam kandungan sampai lahir dan
menjadi dewasa. Sebagai timbal balik, islam mengajarkan tuntunan bagaimana
seharusnya seorang anak berbakti pada orang tuanya, yakni :
Pertama: Mencukupi
Kebutuhan Orang Tua
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Baqarah [2] : 215
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ
مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka
bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan".
Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya.”
Akhlak ini tentunya berlaku kepada anak yang
sudah mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. Meskipun ia sudah sanggup
membiayai dirinya sendiri dengan penghasilan yang diperoleh, hendaknya ia tidak
lupa untuk menafkahkan sebagian penghasilannya kepada orang tuanya.
Kedua: Melayani Orang Tua ketika Dibutuhkan
Melayani orang tua memiliki nilai ibadah yang
sangat besar di hadapan kepada Allah SWT, terutama ketika orang tua sangat
membutuhkan pertolongan anaknya. Sudah semestinya sang anak selalu siaga untuk
melayani orang tuanya, meski tidak dibutuhkan. Kadang, orang tua malu atau
segan meminta bantuan kepada anaknya.
Oleh karena itu, seorang anak dituntut
memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi. Ia mesti menyelidiki apa saja
yang bisa dibantu. Ketika orang tua memikul beban kehidupan yang cukup berat,
dengan sigap sang anak ikut menopangnya. Jika orang tua kesulitan memecahkan
problematika hidup, dengan gesit anak mencurahkan kepeduliannya.
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani,
Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya: “Layanilah
orang tua mu. Jika kamu ikhlas melakukannya, maka nilainya sama dengan pahala
naik haji, umrah, dan berjihad di jalan Allah,” (H.R. ath-Thabrani)
Ketiga: Memenuhi Panggilan Orang Tua
Ketika orang tua memanggil Sang buah hatinya/
anaknya, biasanya mereka memerlukan sesuatuOleh karena itu, anak wajib menjawab
dan memenuhi panggilan mereka. Orang tua akan sangat bahagia bila sang anak
dengan segera memenuhi panggilannya. Lebih senang lagi, jika panggilan mereka
disambut dengan penuh hormat dan sikap santun.
Bila orang tua memanggil, sebisa mungkin sang
anak cepat-cepat menghadap. Apa pun yang sedang dikerjakan, ia harus
meninggalkannya untuk sementara waktu guna memenuhi panggilan orang tua. Hukum
memenuhi panggilan orang tua adalah wajib.
Keempat: Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua
Anak wajib mematuhi perintah orang tua, sepanjang
perintah orang tua mengandung unsur kabaikan atau kemaslahatan. Akan tetapi,
bila perintah tersebut menjurus kepada kemaksiatan, maka anak tidak wajib taat.
Hanya saja, kendatipun sikap orang tua menyimpang dari garis aqidah agama atau
syari’ah, seorang anak harus tetap berkewajiban menghormati dan berinteraksi
dengan mereka secara baik. Bahkan meski orang tua musyrik, anak masih
berkewajiban menyayangi dan menyantuni mereka.
Kelima: Berbicara kepada Orang Tua dengan
Bahasa yang Sopan dan Lemah Lembut
Wujud penghormatan seorang anak kepada orang
tua adalah berbicara atau bertutur kata yang baik. Sebagaiman firman Allah SWT
dalam QS.al-Isra ayat 23:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ
إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا
كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik. (Q.S. al-isra [17] : 23)
Berdasarkan firman Allah SWT tersebut dia
atas, tampak jelas bahwa Allah SWT menyuruh anak untuk senantiasa menghormati
orang tuanya. Saat seorang anak berbicara dengan orang tuanya, hendaknya tidak
ada sepatah kata pun yang menyakiti hati mereka, baik dari segi isi ucapan
maupun kata-kata yang digunakan. Maksud dari isi ucapan adalah seperti kata-kata
bantahan dan penolakan. Adapun yang dimaksud dengan kata-kata adalah seperti
tutur kata yang kasar dan suara yang keras atau intonasi yang tinggi.
Keenam: Selalu Mendoakan kedua Orang Tua
Mendoakan orang tua adalah kewajiban dan
bakti seorang anak, baik ketika orangtua masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Hubungan psikologi anak dengan orang tua begitu dekat, sehingga sangat
besar kemungkinan doa dipanjatkan dengan khusyuk. Doa yang khusyuk mudah
dikabulkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, anak harus selalu berdoa untuk kedua
orang tuanya.
Sebagaiman Firman Allah SWT di dalam Surah
al-Isra [17] ayat 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya
dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”
Melalui firman Allah SWT tersebut diatas
menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk mendoakan orang tuanya.
Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga Allah menyayangi keduanya
sebagaimana mereka menyayangi pada waktu kecil. Salah satu kemuliaan anak di
dunia dan akhirat adalah kalau mendapatkan restu dan rida orang tua. Orang tua
akan sangat senang dan rida jika sang anak mendoakannya. Tanpa diminta pun,
mereka akan mendoakan keselamatan dan kebahagiaan sang anak di dunia dan
akhirat.
Selanjutnya, pada akhir tulisan ini, Penulis
ingin menguraikan tentang Kewajiban Orang Tua kepada Anak-Anaknya.
Kebahagiaan suami istri dalam mengarungi
biduk rumah tangga tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Dengan demikian,
anak adalah buah hati dan tambatan jiwa. Kepada anak, orang tua menggantungkan
keberlangsungan generasi atau keturunan dan tempat menumpahkan kasih sayang.
Berikut panduan islam tentang kewajiban orang tua kepada anak :
Pertama: Melindungi Janin dengan Ikhtiar
Lahiriah dan Bathiniah
Ketika Sang Buah Hati masih berada dalam kandungan,
sudah menjadi kewajiban ibu menjaga sang janin dari segala marabahaya yang bisa
menimpa. Karenanya, aborsi dalam islam termasuk perbuatan yang sangat dilaknat
oleh Allah SWT. Tindakan itu merupakan pembunuhan terhadap makhluk Allah SWT.
Guna melindungi kesehatan Sang Jabang bayi,
ibu perlu mengonsumsi makanan-makanan yang bergizi. Sebab, saripati makanan itu
diserap oleh janin dan disalurkan ke seluruh bagian fisiknya. Jika saripati
makanan tersebut mengandung gizi yang tinggi, tentu kondisi fisik anak akan
kuat dan tangguh. Sebaliknya, kondisi sang anak akan lemah jika asupan makanan
ibunya mengandung kadar gizi yang rendah.
Kondisi psikologis Sang ibu juga perlu
mendapat perhatian. Ketika mengandung, ibu perlu menata hati agar tidak mudah
terguncang. Guncangan yang hebat memiliki pengaruh fatal pada janin yang ada
dalam kandungannya
Kedua: Memberikan Nafkah Kepada Anak dengan
Harta yang Halal
Dampak nafkah yang halal terhadap kualitas
anak yang akan dilahirkan sangatlah besar. Setiap nafkah yang dikonsumsi anak
dapat memengaruhi kualitas keimanan dan kesalehannya. Jika makanan yang
diberikan kepada anak bersumber dari nafkah yang halal, baik dari segi dzat
maupun cara perolehannya, maka peluang anaknya untuk menjadi sosok anak yang saleh
sangatlah tinggi. Sebab, makanan itu akan mengalir dalam darahnya dan
mengiringi setiap langkah hidupnya. Begitu juga, jika nafkah yang diberikan
kepada anak berasal dari barang haram, mustahil ia tumbuh menjadi anak yang
pintar, cerdas, dan brilian, tetapi kualitas hatinya sangat kerdil.
Ketiga: Mengkhitan Anak
Khitan adalah praktik memotong selaput kulit
yang menutupi kepala zakar lelaki atau memotong sedikit ujung daging yang
tumbuh dalam kemaluan perempuan. Khitan bagi anak laki-laki mengandung hikmah
yang sangat banyak. Menurut kedokteran, khitan dapat menyehatkan organ seksual
dan menyelamatkannya dari bakteri-bakteri pengganggu, serta menjaga zakar dari
kenajisan air kencingnya.
Mengenai hukum berkhitan, tampaknya terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Hasan al-Basri, hukum khitan adalah sunah. Tetapi bagi Imam Syafi’i dan Imam
Malik, hukum khitan adalah wajib.
Keempat: Merawat, Membesarkan dan Mengasuh Anak
dengan Penuh Kasih Sayang
Sebagai amanat yang dititipkan Allah kepada
orang tua, anak wajib dirawat, dibesarkan, dan diasuh dengan penuh kasih
sayang. Salah satunya adalah dengan memberikan asupan makanan yang bergizi.
Melalui cara ini, anak dapat tumbuh sehat dan cerdas.
Dalam Islam, seorang ibu harus menyusui
anaknya sampai anak berumur dua tahun. Mulai sejak lahir sampai berumur dua
tahun, hendaknya anak hanya diberikan air susu ibu (ASI), bukan makanan
lainnya. Panduan tentang menyusui anak ini tertuang dalam firman Allah dalam
QS.al-Baqarah ayat 233:
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ
لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى
ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya
selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban
ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang
tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli
waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. al-Baqarah [2] : 223)
Kelima:
Orangtua Harus Mendidik Anak dengan Baik
Sebagai amanat Allah yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya, kehadiran anak dalam keluarga memerlukan
pendidikan yang baik dan memadai dari orang tua. Pendidikan di sini bermakna
luas, baik berupa akidah, etika, sopan santun/ tata krama dan ilmu keislaman.
Selain itu, pendidikan tidak hanya dapat dijalankan di sekolah, tetapi juga harus
diterapkan saat anak berada di rumah.
Pendidikan di rumah dilakukan sejak anak masih
kecil (Usia Dini) sampai beranjak dewasa. Pendidikan di sekolah hanya menjadi
bagian kecil dari keseluruhan peran orang tua yang diserahkan kepada guru. Pada
hakikatnya, yang lebih dominan adalah pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua
kepada anak-anak mereka. Pendidikan di sekolah hanya mencakup pendidikan
keilmuan, sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan akidah dan akhlak tetap
berada dalam tanggung jawab orang tua sepenuhnya.
Komentar
Posting Komentar