BERSAMA ANGGOTA KELUARGA DI DUNIA DAN DI AKHIRAT
BERSAMA ANGGOTA KELUARGA DI DUNIA
DAN DI AKHIRAT
(Oleh:Dr.H.Sukarmawan,M.Pd.)
Sungguh Idul Fitri merupakan momen berkumpul
bersama segenap anggota keluarga. Momen ‘Idul Fitri adalah saat yang paling
ditunggu dan dinantikan oleh seluruh umat Islam. Terlebih pada momentum budaya
lebaran saat Idul Fitri tiba bagi umat Islam di Indonesia.
Budaya “Mudik” pada beberapa hari menjelang
tibanya Idul Fitri juga menjadi salah satu daya tarik bagi Umat Islam Indonesia.
Budaya “Mudik” di Indonesia seolah menjadi ritual wajib pada saat menjelang
Idul Fitri. Meskipun perjalanan dengan jarak tempuh yang sangat jauh dan
melelahkan, belum lagi kemacetan dan harga tiket yang melambung, tampaknya
tidak menjadi kendala dan penghalang demi bisa berkumpul bersama keluarga di
kampung halaman.
Tradisi atau budaya yang tidak kalah menarik
di Indonesia di bulan Syawal, beberapa hari setelah melewati momentum Idul
Fitri yaitu acara kumpul bareng dan forum silaturrahmi keluarga besar dan kerabat
serta para sahabat. Tradisi ini dikenal dengan tradisi halal bil halal.
Sebenarnya acara kumpul bareng, terutama
dalam lingkup keluarga kecil, sudah dimulai sejak Ramadhan tiba hingga
berakhirnya Ramadhan. Dari mulai acara ifthar (berbuka puasa)
yang sering pula dikenal dengan sebutan Buka Puasa Bersama (Bukber) dan makan
sahur bersama anggota keluarga. Sungguh budaya yang tampak sepele dan sederhana,
di era modern yang hedonis dewasa ini, rutinitas makan bersama keluarga mulai jarang
dilakukan kecuali hanya terjadi di bulan Ramadhan. Padahal budaya makan bersama
ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana sebagaimana diterangkan
oleh Imam Abu Daud, hadits nomor 3764, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya
Rasulullah sesungguhnya kami selalu makan namun tidak pernah kenyang.”
“Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” Tanya Nabi.
Mereka menjawab “Benar demikian, ya
Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah SAW pun bersabda, “Berjamaahlah kalian di
waktu makan, sebutlah asma Allah, niscaya kalian akan diberi keberkahan.”
Momentum kumpul bareng lainnya di bulan
Ramadhan adalah menjalankan shalat tarawih berjamaah, sehingga terjadilah
silaturrahmi dan hubungan sesama anggota keluarga, kerabat, sahabat dan
tetangga muslim di suatu keluarga, Kawasan atau lingkungan perumahan/pemukiman.
Hubungan persaudaraan yang juga tercipta di
momentum Ramadhan yaitu saat yang Kaya memberikan zakat dan sedekah kepada kaum
dhuafa/ fakir miskin, akan terjalin silaturrahmi dan semangat
kekeluargaan di antara mereka.
Sungguh pada momen mudik akan tampak terlihat
budaya saling mengunjungi dan kumpul bareng keluarga. Fenomena seperti itu
kelak sangat didambakan oleh penghuni syurga di akhirat kelak, yakni reuni keluarga
di Surga Adn. Sebagaimana firman Allah SWT :
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ
مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ
يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
“(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS. Ar-Ra‘du: 23)
Sesungguhnya, momentum pertemuan akbar para
anggota keluarga Surga ini, dihadiri oleh anak keturunan (Dzurriyah)
mereka yang mukmin dan layak menghuni Surga.
Sebagai bahan motivasi bagi kita, ada baiknya
kita simak pernyataan Imam Ibnu Katsir bahwa, “Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di
dalam Surga yaitu orang tua, istri-istri, dan anak keturunan mereka yang mukmin
dan layak masuk Surga. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah
menjadi tinggi tanpa mengurangi derajat keluarga yang tinggi.”
Sesungguhnya seorang anak bisa mengangkat
derajat orang tua mereka. Sebaliknya, Orang tua pun bisa menarik anaknya ke
tingkatan Surga yang lebih tinggi. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak
cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21)
Menurut kajian Tafsir Jalalain dijelaskan,
bahwa maksud dari ‘Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka’ yaitu,
anak cucu mereka kelak di Surga, sehingga jadilah anak cucu mereka sama
derajatnya dengan mereka. Hal ini semua tiada lain sebagai penghormatan
terhadap bapak-bapak mereka agar bisa berkumpul dengan anak cucu mereka (di
Surga kelak).
Sesungguhnya AllahSWT telah menetapkan pada
penduduk Surga akan kehidupan yang kekal selama-lamanya. Dan sebaik-baik yang kita
dengar di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ
يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ
“Ada
dua kebahagiaan bagi orang yang melaksanakan puasa, kebahagiaan ketika ia
berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya.” (HR.
Al-Bukhari No. 7045)
Setiap kita akan berbuka puasa, kita
mengingat akan pertemuan dengan Allah, dan berdoa, “Ya Allah anugerahkanlah
padaku kebahagiaan ketika bertemu dengan-Mu, sebagaimana Kau bahagiakan aku
ketika aku berbuka puasa”.
Sungguh tiada kenikmatan yang paling tinggi kualitasnya
di Surga nanti melainkan bisa memandang wajah Allah. Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di dalam kitab Taisirul Karimir Rahman menjelaskan, “Waktu mereka memandang wajah Allah Ta’ala sesuai dengan tingkatan
Surga yang mereka tempati.”
“Karenanya,” lanjut beliau, “ Akan ada
penghuni Surga yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang dan ada
yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan. Pemberian yang mulia itu
semata-mata dikarenakan rahmat Allah SWT kepada hamba yang dicintai-Nya.”
Tak akan terbayang bagaimana bahagianya diri
kita, jika sekiranya berita pada saat itu adalah kita bersama kedua orang tua
kita dan orang-orang yang kita cintai di Surga bersama-sama dapat memandang
Wajah Allah tanpa kesulitan dan berdesak-desakan?
Maka, tiada pernah ada kebahagiaan dan
kenikmatan sebaik itu. Cukuplah firman Allah ini menggambarkan
(mendeskripsikan) kegembiraan orang-orang Mukmin,
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ. اِلٰى
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri (indah). Kepada Rabb-nya lah mereka
melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Rasulullah SAW pun bermunajat kepada Allah
SWT agar dapat memandang Wajah-Nya, sebagaimana untaian doa beliau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ لَذَّةَ
النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ
مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Ya Allah, Aku mohon kepada-Mu kenikmatan
memandang wajah-Mu (di Surga), rindu bertemu dengan-Mu
tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan.” (HR.
Nasa’i No. 1229)
Demi mewujudkan keinginan yang sungguh luar biasa
ini, patut kiranya kita sadari bahwa sesuatu yang terbesar yang bisa
menghalangi memandang wajah Allah adalah tindak kemaksiatan, maka jika kita berharap
dapat berjumpa dengan Allah SWT niscaya kita tidak akan melakukan kemaksiatan
itu selama-lamanya. Marilah kita sadari bahwa kedudukan ahli maksiat
sebagaimana Allah Ta’ala n,yatakan dalam firman-Nya:
كَلَّآ اِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَىِٕذٍ
لَّمَحْجُوْبُوْنَۗ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada
hari itu benar-benar terhalang dari memandang wajah Rabb-nya.” (QS. Al-Muthaffifin: 15)
Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan
anggota keluarga kita melakukan tindakan yang bodoh dan sia-sia yang bisa
mencelakakan dirinya dan menggelincirkannya ke neraka, sehingga memupuskan asa
atau harapan bersama kembali berkumpul di Surga-Nya, apalagi memandang
wajah-Nya Yang Sangat Indah dan Mulia.
Meskipun Ramadhan telah berlalu, kita
tidak akan merusak prestasi amaliah Ramadhan yang telah kita usahakan
sebaik-baiknya, rusak karena godaan memperturutkan syahwat duniawi. Sampai kita
hanya mengetahui bahwa Ramadhan terakhir kita adalah yang terbaik. Wallahu’alam
bisshowab.
Komentar
Posting Komentar